Tampilkan di aplikasi

Menebar asa di tengah banjirnya daging India

Majalah Agrina - Edisi 293
19 November 2018

Majalah Agrina - Edisi 293

Sarjono bersiasat menekan biaya produksi. / Foto : SYAFNIJAL

Agrina
Benny Soekarno, peternak skala menengah di Pekon (desa-red) Tulung Agung, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung, menilai, iklim usaha peternakan sapi sepanjang 2018 ini tidak begitu menggembirakan.

Menurut Benny, penyebabnya adalah permintaan konsumen rendah seiring menurunnya daya beli masyarakat dan langkah pemerintah yang jor-joran melakukan impor daging kerbau beku dari India.

Efek Impor Daging Kerbau

“(Pemerintah daerah) Lampung melarang masuknya daging beku kerbau India, tapi malah ada pengusaha di Jl. P. Antasari, Bandarlampung yang terang-terangan menjual daging impor di tokonya. Sementara di pasar tradisional, daging beku banyak dioplos dengan daging lokal,” keluh Benny ketika ditemui di farm miliknya, baru-baru ini.

Belum lagi di Sumsel, Jambi, Riau, dan Bangka Belitung yang selama ini menjadi pasar utama sapi lokal dari peternak di Lam pung. Pasar-pasar tradisional di daerah-daerah tersebut juga dimasuki daging kerbau India Ketika pasar dibanjiri daging impor, Benny menduga, feedloters (perusahaan peng gemukan sapi) besar juga banting harga jual sapi hidup. Akibatnya, pedagang daging di provinsi-provinsi itu lebih memilih sapi BX (eks impor) karena lebih murah.

Ia mengaku, dari empat orang mitra pedagang daging di Bangka Belitung yang membeli sapi dari dia, kini tinggal satu orang. Itu pun hanya minta dikirimi sapi lokal sekali sebulan. Pada kuartal pertama 2018, harga sapi hidup sempat jatuh di bawah Rp40 ribu/ kg hidup. “Bahkan pernah ada feedloters yang menawarkan sapi BX (dari bakalan im por) Rp37 ribu/kg sehingga menekan harga sapi lokal,” cetus peternak yang juga memiliki Rumah Potong Hewan (RPH) di Pringsewu ini.
Majalah Agrina di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI