Data yang akurat dan terpercaya. Data pangan berperan sangat vital dalam pemba - ngunan nasional karena menyangkut hajat hi - dup bangsa. Berbekal data itu pemerintah me - nyu sun kebijakan. Berdasarkan data itu pula pemerin - tah membuat perencanaan produksi pangan di kemen - te rian terkait. Tanpa akurasi data, bisa jadi kebijakan yang dilahirkan tidak tepat.
Sudah lama data pangan kita dikeluhkan banyak pihak karena dinilai tidak valid. Mulai dari pakar pertanian, ekonom, Menko Perekonomian, hingga Wapres Jusuf Kalla pun mempertanyakan akurasi data pangan sejak 2015.
Sekadar menyebut contoh, Badan Ketahanan Pangan secara resmi merilis ada surplus beras sebanyak 17,6 juta ton pada 2017. Namun di pasaran harga beras mulai September 2017 naik terus. Sementara di lapangan, khususnya di pantura Jawa Barat, terjadi serangan hama wereng batang cokelat yang dahsyat dibarengi virus kerdil hampa dan kerdil rumput dengan kerusakan 25%- 60%. Virus ini mengakibatkan gabah tanaman padi hampa. Produktivitas pun bisa anjlok dari 5 ton menjadi hanya beberapa ratus kilogram per hektar.
Kondisi yang kontradiktif itu memicu “kegaduhan”.
Apalagi mulai 2016 Badan Pusat Statistik (BPS) yang meng gawangi data nasional tidak lagi mengeluarkan data pangan lantaran mengakui ada indikasi kelebihan estimasi (overestimate).
Akhirnya pemerintah Jokowi – JK berani memutuskan untuk melakukan pembenahan data pangan. Dengan melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga Badan Pertanahan Nasional (BPN), BPS menerapkan metode Kerangka Sampel Area (KSA). KSA adalah salah satu pendekatan statistik yang dikembangkan FAO, USDA, dan Eurostat (Uni Eropa).
Hasilnya dilansir Oktober 2018 di kantor Wapres. Data produksi beras memang berbeda signifikan dari yang dirilis Kementerian Pertanian. Produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 56,54 juta ton, beras 32,42 juta ton, dan surplus beras 2,85 juta ton. Angka Kementan 80 juta ton, 46,5 juta ton, dan surplus 13,03 juta ton.
Data baru itu berdasarkan luas lahan baku sawah yang telah dikoreksi sekitar 650 ribu ha. Berdasarkan data BPN April 2013, lahan baku sawah kita berjumlah 7.750.999 ha dan setelah dikoreksi menjadi 7.105.145 ha pada 8 Oktober 2018.
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Hermato dalam diskusi terbatas AGRINA 2 Mei 2019 di Jakarta, mengakui data luas lahan bersifat dinamis. Artinya masih bisa berubah berdasarkan masuk - an dari lapangan. Pasalnya, data lahan dari 34 provinsi baru 16 provinsi yang terverifikasi. Jadi, masih ada 18 pro vinsi yang belum terverifikasi. Tak mengherankan bila masih ada data yang belum sinkron dengan kondisi riil lapangan.
Data pangan lain yang juga bikin bingung adalah jagung. Sejak tahun 2000-an kalangan pengusaha pakan ternak acap kali kesulitan mendapatkan pasokan jagung untuk bahan baku pakan ternak. Memang, ada dua syarat jagung yang bisa digunakan para pabrikan itu, yakni la - yak secara kualitas dan layak secara harga.
Pemerintah yakin produksi jagung melimpah sampaisampai sebagian jagung dilempar ke mancanegara. Na - mun di sisi lain pengusaha pabrik pakan tidak bisa mendapatkan jagung dengan jumlah sesuai kebutuhan. Ta - hun lalu peternak ayam petelur sekitar Blitar yang biasa mencampur sendiri sampai menggelar demo gegara tidak memperoleh pasokan jagung untuk ternak mereka.
Kalau pun ada, harganya mencekik kantong. Akhirnya Bu log ditugasi mengimpor jagung khusus untuk me - menuhi kebutuhan para peternak tersebut. Kasus tersebut tentu bisa diminimalkan bila data ja - gung akurat. BPS tengah berupaya keras membenahi da - ta jagung. Prosesnya tengah berjalan dan perlu upaya yang lebih keras karena tidak ada luas baku jagung . Di - harapkan akhir tahun ini data yang lebih akurat bisa dirilis ke publik.
Untuk mewujudkan data pangan yang akurat dan terpercaya, BPS membutuhkan kerja sama dengan instansi terkait. Tanpa kerja sama dan saling bersinergi, tujuan mu lia mempersembahkan data terbaik bagi bangsa tak akan terwujud.