Tampilkan di aplikasi

Buku Al Mawardi Prima hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Karakter Guru Profesional

Melahirkan Murid Unggul Menjawab Tantangan Masa Depan

1 Pembaca
Rp 30.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 90.000 13%
Rp 26.000 /orang
Rp 78.000

5 Pembaca
Rp 150.000 20%
Rp 24.000 /orang
Rp 120.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Arus globalisasi hadir tidak bisa kita bendung, sebagian menabrak dan menghancurkan nilai-nilai tradisional yang selama ini kita agungkan. Pergaulan antarindividu dalam sebuah komunitas manusia semakin renggang dan berjarak, padahal pada saat yang sama sekat-sekat jarak telah dihapuskan oleh adanya jejaring sosial semisal Facebook, Twitter atau Koprol. Yang dekat jadi tidak hangat, yang jauh justru terasa di depan mata. Manusia menjadi teralienasi dengan lingkungannya. Mereka seperti para autis yang asyik dengan dirinya sendiri. Di sisi lain, dampak buruk globalisasi telah mengakibatkan dekadensi moral yang demikian hebat. Pergaulan bebas manusia yang berlainan jenis membuat sebagian kita hanya mampu mengelus dada.

Dalam keadaan seperti itulah pendidikan karakter menjadi sangat penting dan urgen saat ini. Sudah terlalu lama dunia pendidikan kita hanya fokus menggarap sisi intelektual peserta didik. Tujuannya jelas, menyediakan tenaga kerja siap pakai sebanyak-banyaknya. Walaupun volume lapangan pekerjaan berkembang tidak berbanding lurus dengan pertambahan tenaga kerja. Akibatnya terjadi penumpukan tenaga kerja produktif. Bapak Bangsa kita, Bung Karno, telah mewanti-wanti akan bahaya kehilangan karakter ini. Kalau sebuah negara kehilangan karakter bangsanya, maka negara itu hanya akan menjadi bulan-bulanan negara-negara besar dalam pergaulan internasional.

Buku ini, Karakter Guru Profesional karya Dr. Hamka Abdul Aziz, MSi., seorang praktisi pendidikan dari Kalimantan Selatan, memberikan kontribusi nyata bagi dunia pendidikan kita berkaitan dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter tidak akan berhasil kalau orang yang diamanatkan untuk mendidik itu bukan orang-orang yang berkarakter. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus dimulai dari guru. Guru yang profesional.

Kalau harus menggunakan satu kata untuk menyikapi pemikiran Dr. Hamka Abdul Aziz, MSi., tentang karakter, maka kata itu adalah: Revolusioner. Oleh karena itu kami menyambut baik terbitnya buku ini, dan terima kasih kepada Dr. Hamka Abdul Aziz, MSi., yang telah mempercayakan buku ini kami terbitkan. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu referensi yang berharga bagi semua guru, lembaga pendidikan dan para pemangku kebijakan, termasuk orang tua. Dan dengan ketulusan hati, kami juga menyampaikan “selamat” atas buku pertama Dr. Hamka Abdul Aziz, MSi., Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati yang telah ditetapkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Puskurbuk Kemendikbud) sebagai salah satu buku pengayaan/panduan pendidikan.

Kami berharap, semoga Dr. Hamka Abdul Aziz, MSi. terus memberikan kontribusi pemikiran bagi dunia pendidikan di Indonesia. Dan terakhir, selamat menikmati pemikiran yang revolusioner tentang pendidikan karakter....

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Hamka Abdul Aziz, Dr. MSi
Editor: Al-Mawardi Prima

Penerbit: Al Mawardi Prima
ISBN: 9786029247107
Terbit: Juni 2013 , 248 Halaman










Ikhtisar

Arus globalisasi hadir tidak bisa kita bendung, sebagian menabrak dan menghancurkan nilai-nilai tradisional yang selama ini kita agungkan. Pergaulan antarindividu dalam sebuah komunitas manusia semakin renggang dan berjarak, padahal pada saat yang sama sekat-sekat jarak telah dihapuskan oleh adanya jejaring sosial semisal Facebook, Twitter atau Koprol. Yang dekat jadi tidak hangat, yang jauh justru terasa di depan mata. Manusia menjadi teralienasi dengan lingkungannya. Mereka seperti para autis yang asyik dengan dirinya sendiri. Di sisi lain, dampak buruk globalisasi telah mengakibatkan dekadensi moral yang demikian hebat. Pergaulan bebas manusia yang berlainan jenis membuat sebagian kita hanya mampu mengelus dada.

Dalam keadaan seperti itulah pendidikan karakter menjadi sangat penting dan urgen saat ini. Sudah terlalu lama dunia pendidikan kita hanya fokus menggarap sisi intelektual peserta didik. Tujuannya jelas, menyediakan tenaga kerja siap pakai sebanyak-banyaknya. Walaupun volume lapangan pekerjaan berkembang tidak berbanding lurus dengan pertambahan tenaga kerja. Akibatnya terjadi penumpukan tenaga kerja produktif. Bapak Bangsa kita, Bung Karno, telah mewanti-wanti akan bahaya kehilangan karakter ini. Kalau sebuah negara kehilangan karakter bangsanya, maka negara itu hanya akan menjadi bulan-bulanan negara-negara besar dalam pergaulan internasional.

Buku ini, Karakter Guru Profesional karya Dr. Hamka Abdul Aziz, MSi., seorang praktisi pendidikan dari Kalimantan Selatan, memberikan kontribusi nyata bagi dunia pendidikan kita berkaitan dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter tidak akan berhasil kalau orang yang diamanatkan untuk mendidik itu bukan orang-orang yang berkarakter. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus dimulai dari guru. Guru yang profesional.

Kalau harus menggunakan satu kata untuk menyikapi pemikiran Dr. Hamka Abdul Aziz, MSi., tentang karakter, maka kata itu adalah: Revolusioner. Oleh karena itu kami menyambut baik terbitnya buku ini, dan terima kasih kepada Dr. Hamka Abdul Aziz, MSi., yang telah mempercayakan buku ini kami terbitkan. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu referensi yang berharga bagi semua guru, lembaga pendidikan dan para pemangku kebijakan, termasuk orang tua. Dan dengan ketulusan hati, kami juga menyampaikan “selamat” atas buku pertama Dr. Hamka Abdul Aziz, MSi., Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati yang telah ditetapkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Puskurbuk Kemendikbud) sebagai salah satu buku pengayaan/panduan pendidikan.

Kami berharap, semoga Dr. Hamka Abdul Aziz, MSi. terus memberikan kontribusi pemikiran bagi dunia pendidikan di Indonesia. Dan terakhir, selamat menikmati pemikiran yang revolusioner tentang pendidikan karakter....

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pertama-tama penulis mengucapkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa, karena telah memberikan kesempatan dan kesehatan kepada penulis untuk menyelesaikan buku ini. Tanpa petunjuk dan bimbingan-Nya, buku ini tidak bisa penulis selesaikan.

Yang melatarbelakangi disusunnya buku ini adalah realitas di lapangan yang penulis temui. Banyak guru yang masih kebingungan dan tidak mengetahui secara jelas, bagaimana sebenarnya dan seperti apa pendidikan karakter itu. Semakin didengungkan secara luas masalah pendidikan karakter ini, semakin bertambah-tambah kebingungan guru-guru. Hal ini dapat dimaklumi karena pendidikan karakter berkaitan erat dengan persoalan hati manusia. Bukan persoalan otak (akal) semata, yang dapat diukur dengan angka-angka seperti yang selama ini mereka lakukan. Di samping itu, pendidikan karakter_tidak bisa tidak_membutuhkan figur yang dapat dijadikan rujukan untuk dicontoh. Dan celakanya kita belum mempunyai figur itu. Ketiadaan figur membuat pendidikan karakter semakin abstrak, kalau tidak boleh dibilang absurd.

Pada dasarnya, menurut penulis, pendidikan karakter adalah pendidikan tentang mengelola hati. Artinya, titik berat pendidikan karakter adalah bagaimana para guru memberikan pencerahan hati kepada murid-murid mereka. Oleh karena itu, mau tidak mau, guru menjadi sasaran utama (dan pertama!) bagi pendidikan karakter ini. Sebab, bagaimana guru akan mendidik murid-muridnya agar mempunyai karakter yang kuat, kalau dia sendiri bukanlah seorang yang berkarakter kuat dan berkepribadian tangguh.

Dalam kondisi bangsa dan negara kita yang seperti ini, dibutuhkan guru-guru yang berkarakter kuat dan tangguh. Guru-guru yang mampu menjawab tantangan globalisasi, yang dampaknya tidak selalu positif bagi generasi muda kita. Memang, kita tidak bisa menghalangi arus globalisasi yang sudah menjadi keharusan sejarah. Dan kita juga menyadari betapa globalisasi telah menggerus sebagian dari nilai-nilai kebaikan yang secara inheren berada dalam diri kita. Bahkan nilai-nilai tradisional yang ada dalam masyarakat kita pun akhirnya harus “kompromi” dengan terjangan dahsyat globalisasi.

Dalam banyak hal, globalisasi menawarkan nilai-nilai baru yang secara kasat mata sangat menggiurkan dan menggoda. Tapi kalau kita tidak bisa menyikapinya dengan cerdas, maka kita hanya akan menjadi objek dan bukan subjek yang “mengendalikan” globalisasi. Kata “mengendalikan” jangan dimaknai sebagai sikap arogan, yang seolah-olah globalisasi berada di dalam genggaman tangan kita. Maksud penulis, kita mengendalikan globalisasi dengan cara menyiapkan dan membekali diri kita melalui pendidikan. Pendidikan karakter yang berpusat pada hati. Sedangkan sumber pendidikan karakter adalah wahyu Ilahi. Inilah sumber yang masih asli, original, dan tidak mungkin terkontaminasi oleh pikiran manusia. (Walaupun upaya untuk itu terus dilakukan banyak pihak, agar wahyu Ilahi dianggap tidak suci lagi!).

Dalam buku ini penulis mengelaborasi karakter guru profesional dari sudut pandang yang mungkin tidak lazim bagi sebagian orang. Tapi penulis berkeyakinan kuat, bahwa karakter adalah fitrah manusia yang berkaitan erat dengan persoalan hati. Dan hati adalah “makrokosmos” di dalam diri manusia yang tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh manusia itu sendiri, yang oleh karenanya memerlukan “bantuan” Allah untuk memahaminya. Karena kita memang berasal dari Allah, dan pada akhirnya kita juga akan kembali kepada-Nya.

Penulis optimis, dengan memprioritaskan pendidikan karakter bagi guru, maka kita akan mempunyai guru-guru yang berkarakter kuat. Guru-guru yang akan melahirkan murid-murid unggul. Merekalah putra-putri harapan bangsa dan negara, yang kita harapkan menjadi pemimpin dan pengelola Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Tentu saja kita dambakan mereka menjadi pemimpin yang berkarakter kuat, yaitu pemimpin yang: berakhlak mulia, cerdas, sehat jasmani-ruhani, cinta damai, penegak keadilan, dan senantiasa tunduk patuh kepada Allah.

Terakhir, terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Dan kepada Pembaca Budiman, penulis harapkan saran dan kritikannya, untuk perbaikan isi buku ini. Karena tidak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan hanya milik Allah. Segala saran dan kritik silakan kirimkan ke alamat e-mail penulis: karakterhati@gmail.com. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah selalu merahmati kita semua.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Daftar Isi

Sampul
Daftar Isi
Pengantar Penerbit
Pengantar Penulis
Bab 1: Mengenal Jiwa Pendidik
     A. Siapa Guru itu?
     B. Tugas Utama Guru
     C. Fungsi Guru
     D. Guru; Profesi Yang Berbeda Dengan Profesi Lainnya
     E. Profesi Guru Tidak Lagi Diminati
     F. Guru Lulusan Lembaga Pendidikan “Gua Hira”
     G. Guru Karakter Model “Luqmanul Hakim”
Bab 2: Guru Sebagai Pemimpin
     A. Antara Nabi, Ulama dan Guru
     B. Fungsi Guru Sebagai Pemimpin Murid
     C. Ciri-Ciri Guru Yang Berperan Sebagai Pemimpin
     D. Guru yang Pemimpin = Guru yang Visioner
Bab 3: Mengenal Jiwa Murid
     A. Murid, Siapakah Dia?
     B. Adab Murid
     C. 10 Jiwa Murid
     D. Murid; Sang Kanvas Putih
Bab 4: Guru Profesional vs Amatir
     A. Hidup Adalah Pilihan-Pilihan
     B. Guru Profesional
     C. Guru Amatir
     D. Ciri Guru Profesional
     E. Guru Profesional Sang Idola yang KEREN
     G. Ciri Guru Bertangan Dingin
Bab 5: Hasil Pendidikan Berkarakter
     A. Memahami Kembali Tujuan Pendidikan
     B. Dari Mana Memulai Pendidikan?
     C. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter
     D. Malapraktik Pendidikan
Bab 6: Service Excellent
     A. Pelayan, Melayani, dan Pelayanan
     B. Kualitas Pelayanan
     C. Service Excellent Guru Profesional
Bab 7: Guru: Sang Teladan Sejati
     A. Menjadi Teladan Jangan Diniatkan
     B. Mempunyai Prinsip Hidup Yang Kuat
     C. Selalu Berpikir Positif
     D. Menjauhkan Pikiran Negatif
     E. Teladan Dua Nabi Besar
Bab 8: Kualitas Murid Dalam Genggaman Guru Profesional
     A. Meningkatkan Kompetensi Guru
     B. Meningkatkan Kualitas Ruhani
     C. Menularkan Optimisme dan Rasa Percaya Diri
     D. Siap Menerima Perubahan Yang Cepat
     E. Guru: Idealis, Pragmatis dan Utopis
     F. Menggenggam Masa Depan Murid!
     G. Pendidikan Karakter Adalah Pendidikan Hati
Bab 9: Guru Berkarakter-Murid Berkarakter
     A. Pentingnya Pendidikan Karakter
     B. Strategi Pendidikan Karakter
     C. Pendidikan Karakter Melahirkan Orang Profesional
     D. Guru Berkarakter-Murid Berkarakter
Daftar Pustaka
Tentang Penulis

Kutipan

Bab 1 / Mengenal Jiwa Pendidik
A. Siapa Guru itu?

Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Digugu artinya diindahkan atau dipercayai. Sedangkan ditiru artinya dicontoh atau diikuti. Ditilik dan ditelusuri dari bahasa aslinya, Sanskerta, kata “guru” adalah gabungan dari kata gu dan ru. Gu artinya kegelapan, kejumudan atau kekelaman. Sedangkan ru artinya melepaskan, menyingkirkan atau membebaskan. Jadi, guru adalah manusia yang “berjuang” terus-menerus dan secara gradual, untuk melepaskan manusia dari kegelapan. Dia menyingkirkan manusia dari kejumudan (kebekuan, kemandekan) pikiran. Dia berusaha membebaskan manusia dari kebodohan yang membuat hidup mereka jauh dari ajaran Tuhan. Dia berikhtiar melepaskan manusia dari kekelaman yang mengungkung, yang membuat perilaku mereka buruk layaknya hewan.

Dari makna yang dikandung sebutan atau julukannya, jelas guru bukan sekadar profesi yang mendatangkan uang sebagaimana lazimnya sebuah profesi. Bukan pula profesi yang dapat mendatangkan gemerlap dunia kepada yang melakoninya. Guru adalah profesi di mana seseorang menanamkan nilai-nilai kebajikan ke dalam jiwa manusia. Membentuk karakter dan kepribadian manusia. Lebih dari itu, guru adalah sosok mulia. Seseorang yang berdiri di depan dalam teladan tutur kata dan tingkah laku, yang di pundaknya melekat tugas sangat mulia: menciptakan sebuah generasi yang paripurna.

Menciptakan sebuah generasi yang paripurna bukanlah pekerjaan bermodalkan mantra, “simsalabim!”. Artinya tidak semudah membalikkan telapak tangan, waktu yang diperlukan juga bukan sekejapan mata. Boleh dibilang, menciptakan sebuah generasi yang paripurna adalah pekerjaan yang selalu berproses. Seolah-olah dia tidak akan menemukan atau sampai pada titik kesudahan. Di dalam pekerjaan itu, tergambar rintangan dan halangan yang bisa membuat guru frustrasi berat ketika mengalami kegagalan. Ini sangat beralasan, karena “nasib” sebuah bangsa atau komunitas manusia seakan-akan sepenuhnya bergantung pada para guru! Guru adalah salah satu tiang utama bangsa atau negara. Guru juga yang menjadi ujung tombak dalam sebuah perubahan. Harapan akan munculnya sebuah generasi yang tangguh bagi sebuah bangsa atau negara dipercaya oleh masyarakat luas akan lahir dari sentuhan tangan para guru.

Lepas dari semua kontroversi yang sering ditimbulkan oleh beberapa oknum guru, kita tidak bisa menafikan peran penting guru dalam hidup kita. Penulis sepakat bila dikatakan mereka adalah pelita dalam kegelapan. Kegelapan ilmu dan pengetahuan, serta kekelaman hati dan kejumudan pikiran. Bisa dibayangkan, betapa berat tugas guru dan betapa besar perannya. Peran guru adalah kombinasi dari peran orang tua, pendidik, pengajar, pembina, penilai dan pemelihara. Karena itulah, sudah selayaknya kalau kita memberikan apresiasi yang tinggi kepada mereka dan profesi mereka. Oleh karena itu, seseorang yang berniat menjadi guru maka dia harus menyadari tugas pertama (dan utama) seorang guru.

B. Tugas Utama Guru

Tugas adalah tanggungjawab yang diamanahkan kepada seseorang untuk dilaksanakan atau dikerjakan. Semua profesi pasti mempunyai tugas, dan tugas itu bersifat sangat spesifik. Profesi guru, sama seperti profesi lainnya, juga mempunyai tugas. Tapi ada yang sangat unik dari tugas guru. Kalau tugas profesi lain tidak atau belum terbayangkan sebelum ditentukan, sedangkan tugas guru sudah sangat jelas, bahkan ketika seseorang masih menempuh pendidikan untuk calon guru. (Penulis bedakan antara “tugas” dan “fungsi” guru).

Berikut ini adalah tugas pertama—dan utama—seorang guru:

1. Membaca

Sebagai pendidik, maka guru tidak boleh merasa “sudah selesai” belajar setelah dia menempuh pendidikan formal di perguruan tinggi, misalnya. Rasa haus ingin selalu belajar harus selalu ditumbuhsuburkan di dalam hatinya. Agar dia bisa lebih rendah hati, karena merasa tidak banyak mengetahui. Karenanya tugas pertama guru adalah membaca. Hanya dengan membaca maka guru bisa disebut sebagai manusia pembelajar. Dan hanya dengan begitu maka dia bisa disebut guru dengan jiwa pendidik.

Tapi, dalam konteks pendidikan karakter, membaca di sini tidak berarti sekadar merangkai huruf menjadi kata, dari kata ditaut menjadi kalimat, dan dari kalimat diberi pengertian dan muatan pemahaman. Bukan itu maksudnya. Membaca dalam konteks pendidikan karakter adalah membaca dengan ismu Allah. Membaca dengan sifat Allah.

Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun kepada Rasulullah Saw tertera dalam Surat Al-‘Alaq (96) ayat 1-5.

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

Seorang guru harus belajar membaca dengan sifat Allah, agar seluruh kepentingannya lebur dengan “kehendak” Allah. Bukan mengedepankan keinginan dirinya sendiri. Membaca dengan sifat Allah juga mengandung pengertian menganalisis dan mengevaluasi. Ini artinya, guru boleh bersikap kritis sepanjang itu untuk kebaikan banyak orang dan tidak keluar dari koridor (syariat) yang telah Allah tetapkan, juga tidak mencederai integritasnya sebagai seorang guru dan pendidik. Justru ketika seorang guru diam saja di saat seharusnya dia bersikap kritis, maka integritasnya sebagai guru patut dipertanyakan.

Apakah manusia bisa membaca dengan sifat Allah? Tentu saja bisa, karena dalam diri manusia terdapat alat yang diberikan Allah untuk membaca dengan sifat Allah itu. Apakah alat itu? Alat itu adalah sifat Allah yang juga ada dalam diri manusia. Karena, disadari atau tidak, sebenarnya Allah telah membenamkan beberapa sifat-Nya sebagai software (perangkat lunak) untuk digunakan oleh manusia dalam rangka mengenal-Nya, juga mendekatkan diri kepada-Nya. Adanya sifat Allah di dalam diri manusia itulah yang membuat manusia dapat membaca ciptaan Allah dengan benar.

Sifat Allah yang ada dalam diri manusia adalah sifat kasih sayang. Manusia pada umumnya cenderung berkasih sayang. Sifat inilah yang harus dimunculkan oleh seorang guru. Maka, ketika dia bersosialisasi dengan murid-murid, berinteraksi dengan Al-Qur’an, atau berhadapan dengan segala ciptaan Allah lainnya, dia mampu memaksimalkan potensi sifat Allah yang ada di dalam dirinya itu. Inilah tugas pertama guru.

2. Mengenal

Setelah membaca, maka tugas guru berikutnya adalah mengenal. Mengenal secara sederhana kita artikan sebagai mengetahui dengan tepat, pasti, jelas dan benar. Jadi bukan sekadar mengetahui, tapi juga harus tepat, pasti, jelas dan benar. Seorang ibu pasti mengenal anak kandungnya sendiri, karena dialah yang melahirkannya. Artinya, si ibu mengetahui dengan tepat, pasti, jelas dan benar.

Dari tugas kedua ini, yaitu mengenal, guru diharapkan menggunakan semua potensi kemanusiaannya untuk mencurahkan ilmunya kepada murid. Dia akan mendekati murid-muridnya dengan hatinya, bukan dengan mulutnya. Dia akan mengenali murid-muridnya dengan kelembutan seorang ibu yang penuh kasih sayang. Bukan dengan kekuatan (power), tidak juga dengan kekuasaannya yang tanpa batas, yang membuat dia menjadi otoriter. Dan di atas semuanya, guru yang mengenal menganggap tugasnya sebagai wujud nyata pengabdiannya kepada Allah, bukan untuk mengukuhkan eksistensinya (keberadaannya) atau untuk menunjukkan kehebatannya.

Guru yang mengenal menjadikan interaksinya dengan murid-murid atau lingkungannya sebagai hubungan batin. Sedangkan batin manusia yang dapat melahirkan sifat-sifat Allah, yang mengejawantah dalam perilaku luhur manusia, adalah qalbun (hati). Qalbun-lah yang memiliki kemampuan “bertujuan” hanya kepada Allah. Qalbun-lah satu-satunya potensi batin manusia yang dapat memahami tujuan hidup manusia secara tepat dan benar hanya kepada Allah.

"Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya...." (QS. Al-Ahzab 33 : 4)

Allah tidak akan menciptakan dua hati dalam rongga dada manusia. Ini mempunyai nilai strategis yang sangat tinggi, yaitu bahwa Allah hanya menghendaki hamba-hamba-Nya berkhidmat kepada-Nya, tentu saja dengan berbagai talenta dan profesi yang dimilikinya. Adanya hanya satu qalbun (hati) dalam rongga dada manusia menunjukkan bahwa manusia memang selayaknya mengarahkan keinginan pengabdiannya hanya kepada Allah. Meskipun pengabdian itu melalui profesi guru, atau profesi lainnya.

Bila guru membaca atau mengenali murid dengan dua qalbun, maka akan terjadi kerancuan tujuan. Karena boleh jadi qalbun (hati) yang satu bertolak belakang dengan qalbun satunya, karena kepentingannya yang berbeda. Guru yang “mempunyai dua hati” bisa dipastikan hanya membaca sebatas teks saja, membaca kata-kata atau kalimat, dan apa yang dilihatnya secara fisik. Dia juga akan mengenali muridnya hanya secara fisik saja; latar belakang ekonomi, status sosial, bahkan sebatas ukuran IQ-nya saja. Tetapi bila guru membaca murid dengan satu qalbun, maka guru tersebut dapat membaca dengan sifat Allah yang Rahman dan Rahim. Bila guru mampu mengenali murid dengan qalbun-nya, maka dia telah menjadikan murid sebagai abdi Allah sebagaimana dirinya. Abdi Allah yang sedang “menuju” Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia tidak akan membeda-bedakan murid yang satu dengan murid lainnya. Sebagaimana sifat Rahman dan Rahim Allah yang tidak membedakan abdi-abdi-Nya berdasarkan parameter yang dibuat manusia, tapi semata-mata berdasarkan ketaatan dan ketakwaannya.