Tampilkan di aplikasi

Buku Al Mawardi Prima hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Mendaki Jalan Kemuliaan

Bunga Rampai Catatan Kebajikan II

1 Pembaca
Rp 60.000 40%
Rp 36.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 108.000 13%
Rp 31.200 /orang
Rp 93.600

5 Pembaca
Rp 180.000 20%
Rp 28.800 /orang
Rp 144.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Tidak berbeda dengan buku pertamanya, Karunia Tak Ternilai, buku kedua karya Dr. H. Hasan Basri Tanjung, MA yaitu Mendaki Jalan Kemuliaan, juga merupakan kumpulan dari materi-materi ceramah dan khutbah beliau yang termuat dalam buletin Dinamika News yang kemudian beliau menjadikannya sebagai sebuah buku.

Buku ini memuat beragam tema yang mewakili concern penulis yang juga praktisi pendidikan karakter Islami dan tasawuf sosial dalam menyikapi beragam persoalan dan fenomena yang terjadi di masyarakat. Kepeduliannya terhadap pendidikan anak dalam Islam tercermin ketika mengelaborasi peranan keluarga dalam pendidikan anak. Menurutnya, penanaman pondasi akidah, ibadah, dan akhlak harus berawal dari pendidikan keluarga yang didukung oleh lingkungan sosial dan sekolah.

Realitas umat Islam dewasa ini dan sikap keberagamaannya juga tak luput dari perhatiannya. Penulis tak jarang menyentil perilaku umat Islam yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Namun tidak sekadar mengkritik tapi juga memberikan pencerahan. Memberikan arahan dan tuntunan untuk mendaki jalan kemuliaan. Mengajak kita untuk merenungi perjalanan kehidupan di dunia yang pasti akan berakhir pada cerita kematian. Kupasannya dalam menyikapi beragam persoalan selalu dipertegas dengan nash-nash yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Karena itu, penerbit menyambut baik buku yang ditulis ustadz yang meraih gelar doktor Pendidikan Islam di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor ini. Karena buku ini fokus terhadap persoalan-persoalan yang sering dijumpai di masyarakat. Dengan hadirnya buku ini diharapkan kesulitan mencari jawaban dari persoalan-persoalan kehidupan dapat teratasi.

Karena itu, penerbit menyambut baik buku yang ditulis ustadz yang meraih gelar doktor Pendidikan Islam di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor ini. Karena buku ini fokus terhadap persoalan-persoalan yang sering dijumpai di masyarakat. Dengan hadirnya buku ini diharapkan kesulitan mencari jawaban dari persoalan-persoalan kehidupan dapat teratasi.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Hasan Basri Tanjung, H. MA
Editor: Imam Fathurrohman / Abdul Hanan Al-Hasany / Muhaemin Bahnadi

Penerbit: Al Mawardi Prima
ISBN: 9786029247732
Terbit: Februari 2016 , 253 Halaman










Ikhtisar

Tidak berbeda dengan buku pertamanya, Karunia Tak Ternilai, buku kedua karya Dr. H. Hasan Basri Tanjung, MA yaitu Mendaki Jalan Kemuliaan, juga merupakan kumpulan dari materi-materi ceramah dan khutbah beliau yang termuat dalam buletin Dinamika News yang kemudian beliau menjadikannya sebagai sebuah buku.

Buku ini memuat beragam tema yang mewakili concern penulis yang juga praktisi pendidikan karakter Islami dan tasawuf sosial dalam menyikapi beragam persoalan dan fenomena yang terjadi di masyarakat. Kepeduliannya terhadap pendidikan anak dalam Islam tercermin ketika mengelaborasi peranan keluarga dalam pendidikan anak. Menurutnya, penanaman pondasi akidah, ibadah, dan akhlak harus berawal dari pendidikan keluarga yang didukung oleh lingkungan sosial dan sekolah.

Realitas umat Islam dewasa ini dan sikap keberagamaannya juga tak luput dari perhatiannya. Penulis tak jarang menyentil perilaku umat Islam yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Namun tidak sekadar mengkritik tapi juga memberikan pencerahan. Memberikan arahan dan tuntunan untuk mendaki jalan kemuliaan. Mengajak kita untuk merenungi perjalanan kehidupan di dunia yang pasti akan berakhir pada cerita kematian. Kupasannya dalam menyikapi beragam persoalan selalu dipertegas dengan nash-nash yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Karena itu, penerbit menyambut baik buku yang ditulis ustadz yang meraih gelar doktor Pendidikan Islam di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor ini. Karena buku ini fokus terhadap persoalan-persoalan yang sering dijumpai di masyarakat. Dengan hadirnya buku ini diharapkan kesulitan mencari jawaban dari persoalan-persoalan kehidupan dapat teratasi.

Karena itu, penerbit menyambut baik buku yang ditulis ustadz yang meraih gelar doktor Pendidikan Islam di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor ini. Karena buku ini fokus terhadap persoalan-persoalan yang sering dijumpai di masyarakat. Dengan hadirnya buku ini diharapkan kesulitan mencari jawaban dari persoalan-persoalan kehidupan dapat teratasi.

Ulasan Editorial

Membaca (IQRA’) merupakan pesan dan perintah pertama dalam Islam. Membaca yang kontributif jika dituangkan dalam tulisan (QALAM) dan disempurnakan dengan pengajaran (TA’LIM). Saudara Dr. H. Hasan Basri Tanjung, MA terus berupaya melakukan gerakan pendidikan dan dakwah secara simultan dan komprehensif. Selamat atas terbitnya buku ini, semoga tambah manfaat umat Islam. Aamiin

Direktur Pascasarjana UIKA Bogor / Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc

Ustadz Tuan Guru Dr. H. Hasan Basri Tanjung salah satu Pembangunan Karakter Islami Sejati yang kami kenal, menulis buku “Karunia Tak Ternilai” ini memiliki nilai yang sangat tinggi, dikemas dengan sangat menarik dan sederhana, ringan dibaca tanpa meninggalkan unsure ilmiahnya yang merupakan cerminan karakter penulisnya, very recommended!

Pendiri & Pengasuh Majelis Al-Mawarits / Mhd Jabal Alamsyah, Lc, MA

Subhanallah, ketika membaca buku perdana berjudul “Karunia Tak Ternilai” serasa langsung bertemu dan berdialog dengan sang penulis. Nasihat tentang hidup dan kehidupan yang berlandaskan tauhid mengalir bagaikan air yang bening dan sejuk terasa begitu sangat menghilangkan dahaga dan kekeringan serta kegersangan spiritual, tersirami kembali dengan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Kini, goresan penulis yang baru saja meraih gelar Doktor Pendidikan Islam ini akan terbit kembali. Sungguh buku ini adalah karya yang fenomenal dari seorang da’i yang memiliki motto “nikmat berbagi, bahagia memberi” dan sangat pantaslah buku ini dibaca oleh semua kalangan. Horas!

Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Labusel Sumatera Utara / Drs. Sahrul Tanjung, M.Pd

Pembangunan karakter (character buiding) sangat penting dalam membangun Indonesia ke depan. Karena itu buku karya Dr. H. Hasan Basri, MA ini penting dibaca, isinya banyak memberikan sumbangsih pemikiran tentang pembangunan karakter

Kepala Bappeda Kabupaten Labusel Sumatera Utara / Dr. H. Munir Tanjung, MM

Sudah 25 tahun saya menjadi dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta, tepatnya sejak tahun 1990. Selama menjadi dosen, ada ribuan mahasiswa/i yang telah saya ajar, ratusan mahasiswa yang skripsinya saya bimbing dan uji. Dari sekian banyak yang saya kawal menjadi sarjana, ada satu orang mahasiswa yang selalu saya ingat karena kecerdasan, kerajinan dan keaktifan serta vokal dalam berdiskusi, selain itu bakat ceramahnya sudah menonjol sejak masih menjadi mahasiswa di tahun 1994, namanya Hasan Basri Tanjung. Setelah menyelesaikan studi S1-nya saya mendengar bahwa dia mengamalkan ilmu yang didapat dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta dengan menjadi penceramah dan pengajar. Belakangan, pada hari Jumat, 1 Mei 2015 saya mendapat undangan dari Pengurus Masjid Roudotushshalihin Parung (red. Damanhuri Zuhri, wartawan senior REPUBLIKA, teman satu angkatan di Gontor – Lapinggo-82) sebagai pembicara dalam Bedah buku berjudul “KARUNIA TAK TERNILAI” terbitan AMP Press (PT. Al- Mawardi Prima). Rupanya pengarang buku tersebut adalah mantan mahasiswa saya yang bicara logat Medannya sangat kental. Sebagai dosennya tentu saya merasa bangga dan lebih salut lagi manakala dia bersikap santun dan menunjukkan rasa hormat kepada saya. Maksud saya, kendatipun dia sudah sukses sebagai mubaligh dan menjadi doktor namun masih tetap hormat pada dosennya. Buku yang ditulis olehnya “Karunia Tak Ternilai” ternyata direspon positif oleh masyarakat luas, terutama jamaah tempat beliau mengisi pengajian dan ceramah. Karenanya buku ini dilanjut dengan buku keduanya ini, yang diberi judul “Mendaki Jalan Kemuliaan.” Saya yakin, bahwa buku lanjutan ini akan kembali diminati masyarakat luas karena isi buku yang merupakan kumpulan tulisan beliau di harian Republika sangat menyejukkan hati dan sekaligus menggugah untuk menyikapi hidup dengan optimis, mengajak pembacanya untuk menjadi pribadi yang bersyukur ketika diberi limpahan rezeki, sabar dan tawakal ketika terkena musibah dan mendapat ujian hidup. Buku ini kaya dengan sugesti dan inspirasi yang berguna bagi pembacanya. Sekali lagi, buku ini memiliki “roh” dan daya “magis” bagi umat Islam yang ingin membangun masa depan dunia dan akhirat dengan selamat.Bacalah buku ini sampai tuntas, hidup anda akan barokah, akhir hayat husnul khatimah, insya Allah

Dosen, Praktisi Dakwah, Trainer Muhasabah dan Public Speaking, Pembimbing Ibadah Haji dan Umrah / Dr. H. Sunandar Ibnu Nur, M.Ag.

Bacaan ringan, dengan bahasa yang sederhana, namun penuh makna, yang mudah dicerna oleh semua kalangan dan mampu menginspirasi serta memotivasi pembaca untuk mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah kesan saya terhadap buku “Karunia Tak Ternilai.” Dan saya rasa buku seperti inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Mulai dari amaliah yang sederhana namun memiliki efek langsung terhadap kebutuhan jiwa masyarakat, ibarat setitik air yang menetes pada batu yang keras, lambat laun dapat melubangi batu tersebut. Begitulah dahsyatnya tulisan sederhana yang penuh makna ini. Semoga segera lahir karyakarya terbaru dari penulis yang menjadi penyejuk kalbu, penguat iman bagi umat negeri ini

Dekan FKIP Universitas Djuanda Bogor. / Hj. Siti Pupu Fauziyah, M.Pd.I

Saya sudah mengenal Ustadz Hasan Basri Tanjung saat masih menjabat Ketua PN Jakarta Selatan. Tausiahnya yang ringan dengan gaya khas Medan membuat materi mudah dicerna. Apalagi materi tausiah selalu ditulis dalam bulletin yang dibagikan kepada jamaah. Kini, tulisan-tulisan ringan tapi sarat makna tersebut telah terbit menjadi buku kedua. Buku perdana berjudul “Karunia Tak Ternilai” pun sudah kami baca di lingkungan Mahkamah Agung. Selamat dan sukses, semoga karya beliau menjadi pencerah bagi umat Islam. Aamiin

Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI / Dr. H. Heri Swantoro, SH, MH

Dakwahnya selalu aktual dan mengena. Sangat cocok untuk masyarakat modern yang butuh siraman spiritual yang inspiratif

Wartawan Senior Harian Umum Republika / Irwan Kelana

Bagi yang merenungkan makna hidup akan lebih mencintai kebaikan-kebaikan demi mempersiapkan kematian yang pasti akan menjemput kita. Buku ini menyingkap jalan-jalan kemuliaan hidup ini. Selamat dan sukses, semoga menjadi media dakwah yang mencerahkan umat. Aamiin

Wakil Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah / Prof. Dr. H. Didin Saefuddin, MA

Banyak orang ingin menulis, lebih banyak orang yang ingin menulis rutin, dan jauh lebih banyak orang yang berhasrat tulisannya dimuat di surat kabar harian sekaliber Harian Umum Republika. Banyak asatidz dan asatidzah yang sanggup dan mampu berkhutbah dan memberikan pencerahan kepada ummat dari masjid ke masjid, dari majelis ke majelis, dan dari masa ke masa. Hanya sedikit asatidz dan asatidzah yang berhasil merangkum bahan dakwahnya dalam bentuk buku. Alhamdulillaah wa syukrulillah, Ustadz Dr. H. Hasan Basri Tanjung, MA termasuk yang sedikit itu. Buku “Mendaki Jalan Kemuliaan” ini sungguh adalah sebuah rujukan bagi kita yang dahaga siraman rohani di tengah-tengah masyarakat yang sedang resah dan galau dengan fenomena sosial masa kini. Empat tema utama dalam buku ini sangat relevan bagi siapapun yang ingin mendapatkan “qalbun salim” pada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, bahkan bangsanya. Informasi dan pelajaran yang terkandung dalam buku ini sangat layak disebarluaskan sebagai sajian rohani bagi umat. Semoga buku ini sampai ke haribaan Anda pada saat yang tepat sehingga dapat mempersembahkan manfaat yang sebanyak-banyaknya

Rektor Universitas Mataram 2001-2009, Anggota Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi 2012-2017. / Prof. Dr. Mansur Ma’shum, MA

Dr. H. Hasan Basri Tanjung, MA adalah seorang mubaligh, guru, dosen dan penulis buku produktif. Tidak banyak orang seperti beliau, yang memiliki kemampuan berdakwah di atas mimbar bagaikan orator, dan berdakwah melalui buku bagaikan seorang sastrawan dengan rangkaian kata-kata yang menyentuh pembacanya. Pantunpantunnya membuat kita semua terhibur. Inilah gaya khas yang menjadi kelebihan beliau dalam berdakwah, mengajak umat untuk menjalankan agama dengan benar dan menyenangkan. Semoga dengan kehadiran buku-buku karya Dr. H. Hasan Basri Tanjung di tengah-tengah masyarakat akan menjadi inspirasi dan motivasi bagi para mubaligh yang lain untuk menulis buku dan diterbitkan oleh penerbit anggota IKAPI

Ketua IKAPI DKI Jakarta / H.E. Afrizal Sinaro

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Bismillaahir rahmaanir rahiim. Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin wash-shalaatu was salaamu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa ash-haabihii ajma’iin. Ammaa ba’du.

Dalam hidup ini yang paling penting itu niat. Rugi sekali datang ke majelis ilmu tanpa niat yang benar. Kita harus pasang niat yang baik dan benar, agar Allah ridha. Niat itu penting sekali bagi seorang muslim. Seorang yang berniat mau shalat malam misalnya, belum sempat ngelakuin eh.. sudah meninggal dunia duluan. Kira-kira sudah dapat belum pahalanya? Ya sudah, karena ia sudah niat. Shalat malam walaupun belum terlaksana, menjadi amal terakhir baginya.

Seorang laki niat shalat shubuh berjamaah di masjid, niatnya sudah bagus. Ternyata belum terlaksana ia meninggal dunia. Nah, shalat shubuh itu menjadi amal terakhir yang dicatat buat dia. Rugi seorang Muslim yang tidak niat shalat shubuh. Contoh lagi. Pada hari Ahad sudah pasang niat puasa sunnah Senin-Kamis. Malam harinya pukul 22.00 WIB malaikat Izrail datang mencabut nyawanya. Apakah dia sudah dianggap sudah puasa Senin-Kamis? Sudah dicatat sempurna dan itu amal terakhir buat dia. Rugi nggak niat puasa Senin-Kamis.

Saya juga terus perbaharui niat. Niat ingin membangun Rumah Tahfizh di setiap Desa di seluruh Indonesia. Niat bangun masjid sendiri. Jika belum terwujud sudah meninggal dunia, maka niat itu amal terakhir yang dicatat sama Allah Swt. Bapak/Ibu niat hafalin Surat Yasin. Baru sampe 5 ayat meninggal dunia. Kira-kira dicatatnya 5 ayat atau 83 ayat? Ya dicatat sempurna 83 ayat. Rugi juga kalau cuma niat hafalin Surat Yasin. Kenapa nggak niat hafalin 1 Quran sekalian? Walau pun baru 1-2 ayat, terus meninggal dunia, maka dianggap hafal 1 Quran. Nanti di akhirat, yaumul hisab, Malaikat akan disuruh mencari keluarganya untuk masuk surga bareng. Jika meninggal dunia belum hafal Quran, insya Allah dibangkitkan sebagai Hafizh Quran sempurna. Aamiin.

Selain pasang niat yang benar, juga luaskan cakupan niatnya. Kalau cuma hafal Quran untuk sendiri, itu tanggung. Kenapa nggak ajak semua orang muslim di Indonesia dan sedunia hafal Quran, masya Allah. Bagi yang belum naik haji ke Baitullah, ayo pasang niat. Berniat itu beda sama gertakan. Niat itu harus diucapkan dan dibuktikan. Bohong namanya kalau niat shalat malam tapi tidurnya sudah tengah malam sambil nonton bola. Itu tidak disebut niat. Niat itu mahal, ada judulnya, ada gerakannya. Saya niat bikin Indonesia dan dunia hafal Quran, lalu keliling Indonesia dan negara-negara di dunia. Berangkat ke AS, China, Korea, Jepang dan lain-lain. Usaha atau ikhtiar namanya.

Niat tidak dihitung jika tidak ada kesiapan, tindakan atau upaya sungguh-sungguh. Saya bimbing untuk hafalin Quran bareng-bareng, ikutin; ”Bismillahirrahmanirrahim, sebutkan nama masing-masing, insya Allah saya niat hafalin Quran 30 juz, sesampainya, aamiin.” Jika niat tidak disertai karya dan usaha, bisa disebut kadzib (pendusta). Hari ini atau besok kita meninggal sudah baik, di akhirat dijemput Rasulullah Saw. Karena Hafizh itu Ahlullah (keluarga Allah). Subhanallah.

Saya pesan sama Ust. Hasan Basri Tanjung, beliau ini bisa nulis buku. Bukunya Karunia tak Ternilai cakep. Terima kasih ane sudah dikasih hadiah. Tulis nih materi ceramah ane, kasih tahu sama semua orang. Kalau ingin dapat pahala harus niat. Tapi jangan hanya untuk diri sendiri doang, ajak orang lain juga. Misalnya, “saya niat hajikan se kampung ini semua.” Jangan hanya niat untuk diri sendiri, tapi harus digedein sekalian. Meskipun tahu nggak bakalan sampe.

Niatlah yang benar dan sertai dengan usaha. Misalnya, sudah niat haji lalu mulai dah beli hadiah oleh-oleh haji ke Tanah Abang, seperti kurma, air zamzam, tasbih lalu sedekahin. Harus ada tandanya. Orang kalau mau bangun rumah, bikin pancang tiang dulu. Itu tandanya. Rumah mau dijual, ada tulisannya. Harus ada dulu karya sebelumnya, baru niat punya kekuatan. Harus punya nama baik, amal banyak dan dipercaya orang.

Jangan salah niat. Misalnya niat ngintip orang mandi. Niat ngomingin orang, adu domba atau niat ngerusakin keluarga orang lain. Jika kita mati, maka itu amal terakhir untuknya. Untungnya, niat buruk tidak dinilai sampai dilakukan. Jika kejadian, maka dihitung dosanya satu. Tapi kalau niat baik, jika terlaksana pahalanya sepuluh. Maka berniat yang baik dan benar, sehingga menjadi amal terbaik dan terakhir kita saat menghadap Allah Swt. Aamiin. Jazakumullah khairan katsiran.

Wa billahi taufiq wal hidayah Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Daftar Isi

Sampul
Testimoni
Kata Pengantar
Sekapur Sirih
Pengantar Penerbit
Daftar Isi
Bagian Pertama - Tak Sempat Berbakti
     Pendidikan Anak dalam Islam
     Amanah Terbesar
     Melahirkan Generasi Saleh
     Birrul Wálidain
     ’Uqúqul Wálidain
     Dzurriyyatan Dhi’áfan
     Dzurriyyatan Thayyibah
     Petuah Seorang Ayah
     Tak Sempat Berbakti
Bagian Kedua - Mendaki Jalan Kemuliaan
     Islam Fatamorgana
     Jangan Salahkan Islam
     Janganlah Bersedih!
     Apa Kata Orang?
     Mendaki Jalan Kemuliaan
     Keberkahan
     Bencana Terbesar
     Allah Tak Sudi Menyapa
Bagian Ketiga - Menjadi Orang Baik
     Makan Paling Nikmat
     Pendakian Spiritual
     Allah Pun Tak Suka
     Allah Pun Suka
     Satu Kata dan Perbuatan
     Memaknai Kesalehan
     Mudah Lupa
     Menolong Allah
     Merasa Paling Benar
Bagian Keempat - Semua Akan Berakhir
     Haji, Kurban, dan Bencana
     Tersenyumlah!
     Kesempatan
     Semua Akan Berakhir
     Kematian Semakin Dekat
     Pandai Berkaca
     Nilai Segelas Air
     Di Ujung Tanduk
Tentang Penulis
Profil Singkat

Kutipan

Bagian Kedua: Mendaki Jalan Kemuliaan
Islam Fatamorgana

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada- Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.“ (QS. An-Nashr [110]: 1-3).

Judul ini, tidak dimaksudkan untuk men-generalisasi sikap keberagamaan umat Islam dan menafikan gairah keagamaan yang muncul di kalangan eksekutif perkotaan. Tapi sebuah kerisauan dan kegundahan hati melihat fenomena kehidupan masyarakat Islam di setiap lapisan. Negeri tercinta Indonesia adalah negara terbesar di dunia yang beragama Islam, namun semakin semu akan nilai-nilai keislaman. Terkadang, muncul pesimisme untuk melakukan perubahan dan dakwah di tengah sistem yang Mendaki Jalan Kemuliaan 61 korup, perilaku hedonis dan materialistis, prostitusi, dan pornografi yang menyelusup hingga ke ruang kelas murid dan keluarga.

Demikianlah realitas dan fenomena yang nyata. Belum lagi kerusuhan, anarkisme, pembantaian terjadi di berbagai belahan dunia Islam. Ribuan nyawa melayang seperti terjadi di negara Timur Tengah akhir-akhir ini. Nyaris hilang kedamaian dan kelembutan di negeri orang Islam. Kenapa dan siapa yang bertanggung jawab? Apa yang mestinya kita lakukan untuk memperbaiki kualitas umat Islam? Dengan kapasitas dan ruang yang terbatas, saya hendak berbagi keresahan. Kiranya menggugah hati dan pikiran kita, amin.

Realitas Umat Islam Kini Sejarah Islam telah mencatat dengan tinta emas, bahwa umat Islam pernah menjadi umat terbaik dalam kancah kehidupan sebagaimana pada masa Nabi Saw., Khulafaurrasyidin dan beberapa dinasti berikutnya. Hal ini merupakan wujud dari deklarasi Allah bahwa umat Islam adalah khairu umat (umat terbaik): “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..,” (QS. Ali Imran [3]: 110).

Dakwah Islam adalah untuk melakukan transformasi sosial dengan gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran). dakwah ini menjadi kewajiban setiap muslim, baik pribadi maupun kelompok sesuai kemampuan (QS. Ali Imran [3]: 104). Tanpa kesadaran tersebut, bukan kemenangan yang diraih tapi justru kehancuran umat.

Khairu ummah (umat berkualitas) dapat terwujud jika telah terbentuk khairul jamá’ah (masyarakat berkualitas). Khairul jamá’ah dapat terwujud jika telah terbangun khairul usrah (keluaga berkualitas), dan khairul usrah terbentuk dari pribadi berkualitas (khairul bariyyah) (QS. Al-Bayyinah [98]: 7).

Bagaimana realitas umat Islam saat ini? Hal inilah yang memilukan. Hampir-hampir tidak tampak lagi nilai keislaman di negeri orang Islam. Lihatlah pada bulan Ramadhan, seperti layaknya bukan bulan puasa. Pergantian tahun baru Islam sepi dan senyap dari perhatian. Sementara hari besar non muslim semarak bahkan orang Islam pun “dipaksa” untuk memakai simbol agama mereka.

Demikian pula dengan hukum yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Orang yang benar bisa dibuat salah dan yang salah seakan benar. Pencuri sandal jepit, semangka, pisang, dan sejenisnya, begitu cepat dapat hukuman. Tapi kasus besar yang melibatkan orang-orang berpengaruh secara politk dan ekonomi, seringkali kandas dan menguap tak jelas ujung-pangkalnya. Korupsi telah merajalela. Sistem yang korup telah melahirkan masyarakat yang korup pula. Kata Buya Syafi’i Ma’arif, kalaulah bukan karena agama melarang pesimis, tentulah kita sudah putus asa melihat bobroknya sistem pemerintahan saat ini.

Jangan Salahkan Islam “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam,” (QS. Al-Anbiyâ [21]: 107).

Kini, kita telah melampaui separuh dari bulan Rajab yang mulia dan Sya’ban pun segera tiba. Itu artinya, bulan suci penuh berkah Ramadhan tak lama lagi. Nabi Saw. menuntun agar kita perbanyak doa: “Allahumma bâriklanâ fî rajâb wa sya’bâna wa ballighnâ ramadhâna” (Ya Allah, berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikan kami ke bulan suci Ramadhan), Âmîn Yâ Rabbal’âlamîn. Untuk edisi kali ini, saya ungkapkan kegundahan hati dan pikiran dengan munculnya sayembara karikatur Nabi Saw. di Texas, Amerika Serikat. Tentu saja kontes ini bermula dari kebencian dan ketakutan kepada Islam (Islamophobia). Begitu pun pembakaran masjid di Tolikara Papua saat umat Islam mengadakan Shalat Idul Fitri 1436 H/2015 lalu. Apa yang salah dengan Islam sehingga dibenci dan ditakuti? Semoga tulisan ini membangkitkan ghirah kita dalam menegakkan syiar Islam yang damai. Âmîn.

Janganlah Bersedih! ”Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih. Dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah,” (QS. Fushshilat [41]: 30).

Lá takhaf wa lá tahzan (jangan takut dan jangan bersedih). Dalam Al-Qur’an al-Karim, dua kata ini seringkali disandingkan, baik dalam bentuk larangan maupun menggambarkan kondisi batin manusia, yakni khauf/ takhaf dan huzn/tahzan dalam berbagai bentuk kata dan arti yang berbeda. Beberapa ayat yang berkaitan dengan hal ini patut direnungi. Selain ayat di atas, juga dorongan kepada Nabi Adam As. dan Hawa (QS. Al-Baqarah [2]: 38), seruan mesra Allah kepada hamba-hamba-Nya (QS. Az-Zukhruf [43]: 68), menenteramkan hati Ibunda Musa As. (QS. Al-Qashash [28]: 7), kemuliaan para Waliyullah (QS. Yunus [10]: 62), seruan kepada penghuni surga kelak (QS. Al-A’ráf [7]: 49), balasan kepada orang beriman dan melakukan perbaikan (QS. Al-An’ám [6]: 48), jaminan kepada siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal saleh (QS. Al- Máidah [5]: 69), dan lain-lain.

Ada perbedaan antara takhaf (takut/khawatir) dan tahzan (sedih). Takut atau khawatir berkaitan dengan sesuatu yang belum terjadi di masa depan. Sementara, sedih berhubungan dengan sesuatu di masa lampau. Orang yang yang takut menghadapi masa depan, tidak berani merekayasa atau merencanakan sesuatu yang besar untuk melakukan perubahan. Sebab, setiap tindakan menimbulkan risiko. Padahal, modal utama keberhasilan bukan kapital (uang), tapi keberanian. Demikian kata Mario Teguh, Sang Trainer The Golden Way.

Sementara, orang yang larut dalam kesedihan, hanya akan duduk termenung dan menyalahkan nasib yang ujungnya putus asa. Keduanya memiliki kesamaan ekspresi, yakni diam, termenung, cemas, mengeluh, menyalahkan orang lain, ragu, dan tidak berani melakukan sesuatu. Berbahaya kawan!

Takut dan sedih adalah naluri manusia sejak lahir. Rasulullah Saw juga ketakutan ketika Jibril menghampirinya di Gua Hira. Beliau juga sedih ketika ditinggal pergi istri tercinta Khadijah Ra dan pamannya Abu Thalib pada tahun ke-10 kenabian. Bahkan karena kesedihan itu pulalah, Allah Swt menghiburnya dengan “rekreasi spritual” Isra’ Mi’raj dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, naik ke Sidhratil Muntaha.

Boleh takut dan bersedih, tapi jangan berlebihan. Jika berlebihan, ia menjadi penyakit hati yang membahayakan. Justru, kehebatan seseorang teruji ketika dihadapkan dengan tantangan masa depan dan beban masa lalu yang tidak selalu menyenangkan. Masa depan adalah kemungkinan. Mungkin berhasil atau gagal, baik atau buruk dan seterusnya. Kalau berhasil bersyukurlah, tapi jika gagal bersabarlah. Selalu ada hikmah yang menyertainya. Di sinilah pentingnya tauhid sebagai pandangan dunia (tauhid word view), mata hati dan pikiran positif (husnuzhzhan atau positif thinking) dalam menyikapi segala kejadian.

Apa Kata Orang? ”Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu,” (QS. Al-Baqarah [2]: 147).

Pelaksanaan Ibadah Haji dan Kurban usai sudah. Jamaah haji sedang bersiap-siap meninggalkan Tanah Suci Makkah al-Mukarramah. Doa nan tulus setelah Thawaf Wada’ dipanjatkan: ”Ya Allah, jangan jadikan kunjunganku ini yang terakhir ke Rumah-Mu. Jika ini kunjunganku terakhir, maka gantikan bagiku surga.” Sementara itu, kaum kerabat, handai tolan dan tetangga menunggu dengan suka cita di Tanah Air. Doa mengalir tiada henti, kiranya mereka menjadi haji mabrur. Pribadi yang mencerahkan dan menebar kebaikan dalam masyarakat. Pemimpin dan panutan yang istiqamah dan teguh pendirian dalam menjalani kehidupan meski penuh godaan dan jebakan.

Kiranya, mereka tetap menjaga komitmen dengan nilainilai haji yang telah disepakati bersama Pemilik Rumah Tua, Baitullah. Teguh pendirian dalam kebenaran meski digoncang tipu daya yang menggiurkan ataupun cemoohan orang yang meremehkan. Tidak menjadi oportunis yang hanya mencari keuntungan sesaat. Amiin yaa Rabbal ’aalamiin.

Mendaki Jalan Kemuliaan “(Muttaqin yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan,” (QS. Ali Imran [3]: 134).

Tak terasa, Ramadhan yang dinanti sedemikian cepat berlalu. Rasanya, belum cukup mengisinya dengan ibadah yang bermakna, ia kini pergi. Baginda Rasul dan sahabatnya banyak merenung dan menangis ketika Ramadhan akan berakhir. Boleh jadi, tahun depan tak bersua lagi. Nabi Muhammad Saw pernah melukiskan betapa mulianya bulan ini dengan ungkapan optimis, ”Sekiranya umatku mengetahui makna dan hikmah yang terkandung dalam Ramadhan, niscaya mereka akan mengharap agar sepanjang tahun sebagai Ramadhan.” Sungguh Ramadhan ini akan melahirkan orang-orang bertakwa, yakni orang-orang yang memiliki akhlak mulia. Semoga Ramadhan kali ini dapat menghantarkan kita untuk mendaki jalan-jalan kemuliaan, yakni jalan yang ditempuh para nabi, syuhada, dan shálihin. Ámín.

Keberkahan “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya,” (QS. Al-A’ráf [7]: 96).

Dalam kehidupan ini, kita sering mohon keberkahan kepada Allah Swt. Berkah dalam usaha, umur, rezeki, ilmu dan lainnya. Kita minta doa kepada orang tua dan para guru. Ada pula orang yang rela menempuh perjalanan jauh atau berziarah ke kuburan para wali atau tempat suci untuk mencari berkah. Tidak jarang, berkah dimaknai dengan hasil yang instan dan pragmatis (materi).

Tulisan ini hendak mengulas makna dan implikasi berkah dalam kehidupan. Jangan sampai kita mohon keberkahan, namun melakukan perbuatan yang menghilangkannya. Memaknai keberkahan, baik dalam tatanan hidup pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa. Semoga amal saleh kita dalam mencari keridhaan Ilahi mendatangkan keberkahan. Ámín.

Bencana Terbesar “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus,” (QS. An-Nisá [4]: 137).

Dalam hidup ini, kita tidak bisa lepas dari sesuatu yang tidak disukai. Sesuatu yang menyulitkan, kita sebut musibah atau bencana dan yang menyenangkan sebagai nikmat atau karunia. Sejatinya, Allah Swt telah menciptakan segala sesuatu berpasangan (QS. Yásín [36]: 36, An-Nabá [78]: 8). Ada laki-laki-perempuan, siang-malam, kaya-miskin, senang-susah, hitam-putih dan seterusnya. Yang pasti, tidak ada sesuatu pun yang Allah ciptakan sia-sia.

Semuanya memiliki tujuan dan fungsi masing-masing (QS. Ali ‘Imran [3]: 191). Bencana seringkali dinilai sebagai keburukan semata dan datang bukan sebab perbuatan kita. Lalu menyalahkan Allah Swt atau alam semesta. Padahal, boleh jadi bencana yang dibenci membawa kebaikan, begitu pula sebaliknya, nikmat membawa sengsara (QS. Al-Baqarah [2]: 216). Namun, perlu ditelaah lebih dalam, bencanabencana besar yang menimpa akibat ulah manusia. Semoga kita pandai mengambil pelajaran. Ámín.

Allah Tak Sudi Menyapa ”Sesungguhnya orang-orang yang menukar janjinya (dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada Hari Kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih,” (QS. Ali ‘Imrán [3]: 77).

Esensi ajaran Islam berorientasi pada dimensi individual dan sosial secara bersamaan dan berkesinambungan. Oleh karena itu, Islam memberikan ruang yang besar untuk meningkatkan kualitas manusia, baik dari aspek individual (ritual dan spritual, ibadah mahdhah) dan sosial (mu’amalah, ibadah ghairu mahdhah). Kategori ini pula yang kemudian memunculkan terminologi ibadah ritual dan ibadah Mendaki Jalan Kemuliaan 105 sosial, dosa individual (berkaitan dengan Sang Khaliq) dan dosa sosial (berkaitan dengan orang lain). Dalam bahasa lain, Islam hendak membangun tiga hubungan yang harmonis antara seorang hamba dengan Allah (hablumminalláh), manusia (hablumminannás) serta lingkungan alam (hablumminal ‘álam).