Tampilkan di aplikasi

Buku Al Mawardi Prima hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Sekolah Untuk Kehidupan

Gagasan Awal untuk Berpikir Ulang Tentang Sistem Pendidikan Kita dan Memahami Posisi Kurikulum

1 Pembaca
Rp 30.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 90.000 13%
Rp 26.000 /orang
Rp 78.000

5 Pembaca
Rp 150.000 20%
Rp 24.000 /orang
Rp 120.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Sekolah adalah masa-masa persiapan untuk menghadapi hidup di dunia nyata. Oleh karenanya, segala sesuatu yang dipelajari di sekolah haruslah sesuatu yang akan dialami dalam dunia nyata. Dunia yang akan dihadapi anak, bukanlah masa kini, melainkan masa depan. Oleh karena itu, sekolah selayaknya mempersiapkan anak untuk siap hidup di dunia nyata pada masa depan. Apakah sekolah kita selama ini sudah melakukan semua itu? Apakah sekolah membelajarkan segala sesuatu untuk persiapan anak hidup di masa depan?

Buku ini berisi gagasan, ide, dan pikiran cerdas Bapak Zulfikri Anas, anggota tim pengembang dan narasumber kurikulum 2013 Kemendikbud, tentang dunia pendidikan saat ini yang dirasakan makin jauh dari makna hakiki pendidikan yang sesungguhnya. Keberantakan yang terjadi tentu bukan salah guru, bukan salah sekolah, bukan salah siswa, bukan salah cara belajar otak, melainkan sistem pendidikan yang amburadul. Sistem pendidikan yang tidak selaras dengan makna pendidikan bagi manusia. Penulis menyodorkan berbagai gagasan segar sebagai bahan pemikiran untuk mencoba berpikir ulang tentang dunia pendidikan kita saat ini.

Kepada Bapak Zulfikri Anas kami ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga dengan buku ini pembaca mendapat pencerahan dan inspirasi dalam mengimplimentasikan pendidikan karakter akhlak mulia bagi murid-murid di sekolah. Karena akhlak adalah akumulasi dari kecerdasan dan sikap yang dibentuk melalui proses belajar dari apa yang dialami.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Zulfikri Anas
Editor: Akhmad Supriyatna

Penerbit: Al Mawardi Prima
ISBN: 9786029247268
Terbit: Agustus 2013 , 226 Halaman










Ikhtisar

Sekolah adalah masa-masa persiapan untuk menghadapi hidup di dunia nyata. Oleh karenanya, segala sesuatu yang dipelajari di sekolah haruslah sesuatu yang akan dialami dalam dunia nyata. Dunia yang akan dihadapi anak, bukanlah masa kini, melainkan masa depan. Oleh karena itu, sekolah selayaknya mempersiapkan anak untuk siap hidup di dunia nyata pada masa depan. Apakah sekolah kita selama ini sudah melakukan semua itu? Apakah sekolah membelajarkan segala sesuatu untuk persiapan anak hidup di masa depan?

Buku ini berisi gagasan, ide, dan pikiran cerdas Bapak Zulfikri Anas, anggota tim pengembang dan narasumber kurikulum 2013 Kemendikbud, tentang dunia pendidikan saat ini yang dirasakan makin jauh dari makna hakiki pendidikan yang sesungguhnya. Keberantakan yang terjadi tentu bukan salah guru, bukan salah sekolah, bukan salah siswa, bukan salah cara belajar otak, melainkan sistem pendidikan yang amburadul. Sistem pendidikan yang tidak selaras dengan makna pendidikan bagi manusia. Penulis menyodorkan berbagai gagasan segar sebagai bahan pemikiran untuk mencoba berpikir ulang tentang dunia pendidikan kita saat ini.

Kepada Bapak Zulfikri Anas kami ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga dengan buku ini pembaca mendapat pencerahan dan inspirasi dalam mengimplimentasikan pendidikan karakter akhlak mulia bagi murid-murid di sekolah. Karena akhlak adalah akumulasi dari kecerdasan dan sikap yang dibentuk melalui proses belajar dari apa yang dialami.

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Puji syukur ke hadirat Ilahi Rabbi, akhirnya ketakutan yang selalu menggelayut dalam pikiran menjadi sirna sehingga buku kecil ini bisa hadir di hadapan pembaca. Bagi kita sebagai orang biasa, betapa sulitnya untuk mengatakan sepatah kata yang terlintas dalam pikiran dan tercetus dalam hati ketika melihat dan mengalami sesuatu, apalagi itu terkait dengan persoalan pendidikan yang selalu debatable. Setiap orang bisa mengklaim bahwa dialah yang paling benar, jika ada persoalan, yang salah selalu orang lain. Hal ini juga sering melintas dalam pikiran penulis dan sejumlah pertanyaan yang selalu muncul, di antaranya “apa betul yang penulis katakan ini adalah sebuah kebenaran?” Apalagi ini bukan hasil riset, melainkan hasil refleksi, sementara manusia itu belum tentu benar, namun juga belum tentu salah karena antara kebenaran dan kesalahan adalah dua sisi yang saling melengkapi sehingga kehidupan manusia menjadi bermakna bagi sesama manusia dan bagi alam yang rela ditempatinya.

Ketika kita menyadari telah melakukan sebuah kesalahan, kebenaran akan datang menghampiri dan akan masuk ke dalam diri kita jika kita mau menjemput dan meraihnya. Kekuatan inilah yang meyakinkan penulis untuk berani menerbitkan catatan kecil ini. Semua yang dituangkan di sini merupakan hasil refleksi setelah penulis mendengar, menyaksikan, dan merasakan sesuatu. Semua itu lahir dari rasa takjub kepada Ilahi yang telah menciptakan semua ini demi kemuliaan manusia. Persoalan hadir dalam hidup kita sebagai pemantik kekuatan endogen yang ada dalam diri setiap manusia, dengan demikian setiap manusia terlahir sebagai penyelesai masalah (problem solver) bukan pembuat masalah (problem maker), namun kemampuan itu tetap tersimpan dalam diri ketika manusia tidak dihadapkan pada persoalan. Nah, pada hakikatnya persoalanlah yang membuat kita bangkit. Ini juga yang mendorong saya untuk segera menuntaskan tulisan ini.

Jika tidak ada persoalan berkaitan dengan kekhawatiran penulis terhadap apa yang ditulis ini, tulisan ini tidak akan pernah jadi, dan itu artinya apa yang penulis alami, pikirkan, rasakan, tidak akan pernah diketahui orang lain. Dengan niat yang tulus, coretan-coretan yang penulis buat sesaat setelah penulis alami dan merasakan sesuatu, lalu penulis lempar ke publik lewat media online seperti blog dan facebook untuk melihat bagaimana reaksi dari para pembaca yang budiman. Syukur alhamdulillah, para sahabat setia memberikan tanggapan luar biasa, ini menjadi pemicu semangat bagi penulis bahwa coretan-coretan ini perlu diperluas lagi dan dibukukan karena tidak semua orang suka dan bisa memiliki akses ke dunia maya.

Buku kecil yang sebetulnya layak disebut sebagai kumpulan catatan perjalanan penulis ke seluruh penjuru negeri ini untuk berinteraksi dengan anak-anak, guru, pengawas, masyarakat, dan dilengkapi dengan pengalaman pada saat mengikuti rapat-rapat formal maupun berbagai forum ilmiah ataupun forum santai. Atas semua itu, penulis ucapkan ribuan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung telah menyumbangkan pemikirannya terhadap buku ini.

Harapan penulis, catatan kecil ini dapat membantu para pembaca, terutama masyarakat umum yang selama ini hanya bisa bersuara dalam hati bahwa “saya tidak paham apa yang telah terjadi di dunia pendidikan kita, kenapa masyarakat Indonesia yang dulunya terkenal sebagai orang-orang yang ramah, santun, saling menghormati satu sama lain, jujur, peduli pada sesama, religius, tiba-tiba menjadi bringas, sepertinya sifat-sifat humanisme yang menjadi dasar dari penciptaan manusia justru makin menjauh.” Orang yang dikenal sebagai orang jujur, religius, dan dihormati, tiba-tiba diberitakan terlibat perbuatan yang melanggar hukum. Forum-forum ilmiah, diskusi, seminar dan talk-show di media massa seringkali berubah menjadi ajang “tawuran”, saling lempar tanggung jawab dan saling hujat. Semua ini merupakan produk sistem pendidikan dan sekaligus menjadi kontraproduktif bagi dunia pendidikan itu sendiri. Perilaku yang terjadi adalah hasil dari sebuah sistem. Semua itu tidak terlepas dari apa yang disebut dengan ”dunia pendidikan.” Kita semua jadi mempertanyakan, apa sesungguhnya yang telah terjadi di dunia pendidikan kita!

Sesungguhnya jawaban yang paling valid untuk semua persoalan yang kita hadapi itu, ada dalam diri kita masing-masing. Tulisan kecil ini mencoba memberikan beberapa jawaban sederhana yang selama ini hanya terpendam dalam hati penulis, tentunya jawaban di sini bukanlah jawaban yang komprehensif, setidaknya, jawaban yang ada di sini mampu memicu dan mengungkap jawaban-jawaban yang jauh lebih bermakna yang selama ini hanya tersimpan dalam hati pembaca. Jika ini terjadi, Insya Allah sebuah revolusi dalam dunia pendidikan akan terjadi, jika memang itu jawabannya. Semoga!

Tentang judul “Sekolah untuk Kehidupan, Gagasan Awal untuk Berpikir Ulang tentang Sistem Pendidikan Kita dan Memahami Posisi Kurikulum” lahir dari sebuah pertanyaan yang sulit penulis jawab sejak dua dasawarsa selama penulis menjadi pekerja di bidang pendidikan, pertanyaan itu adalah “apakah benar sekolah itu bermanfaat bagi kehidupan karena dalam kenyataannya koq tidak seperti itu.” Banyak hal yang membawa kita untuk menjawab “tidak.” Di samping itu, judul tersebut sekaligus memberikan apresiasi kepada teman-teman pengelola Sekolah Semesta Hati di Cimahi Bandung yang menjadikan “Sekolah untuk Kehidupan” sebagai motto-nya.

Setiap episode dalam buku ini ditulis dengan semangat yang sama, yaitu memperjuangkan inklusifisme pendidikan untuk menjauhkan dunia pendidikan kita dari ekslusifisme atau elitisme yang sudah terlanjur mewabah. Oleh karena itu, ada beberapa kalimat yang berulang dan muncul di beberapa episode, hal ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan, itulah jiwanya. Semoga pengulangan itu tidak membosankan pembaca.

Akhir kata, kritik, saran, support dari pembaca sangat ditunggu demi kesempurnaan yang bisa kita perbuat. Terima Kasih.

Daftar Isi

Sampul
Pengantar Penerbit
Prakata
Daftar Isi
Bagian Satu: Belajardari Kehidupan Nyata
     Anakku, Jagat Raya ini Tanpa Batas
     Alam Takambang JadiGuru: Menyatunya Ilmu, Adat, dan Agama
     Cerita Dari Negeri Impian
     Kisah Dua Bocah Anak Pulau
     Belajar Adalah Rekreasi
     Sekolah Ramah Anak
     Sekolah yang Menyenangkan
     Sebuah Ajaran yang Humanis
Bagian: Dua Sekolah Kehidupan
     Manusia Adalah Misteri
     Melempar Jala
     Kisah Pedagang Buah
     Hari Keempatbelas
     Selamat Tinggal Mufakat dengan Cara Berpikir Linier
     Kurikulum Sebagai Integrator
     Sekolah Terbaik
Bagian Tiga:  Sekolah Tempat Bermain, Belajar untuk Mengamalkan
     Kembali Ke Surau
     Hukum Kekekalan Energi
     Jernihkan Dari Hulunya
Bagian Empat: Ketika Kita Salah Melangkah
     Kenaifan Tes IQ
     Rangking yang Mematikan
     Curhat Anak:Apakah Salah Saya?
Bagian Lima: Kembali ke Pangkal
     Menjadi Guru: Pilihan yang Jenius dan Amanah
     Merajut Kembali
     Pendidikan Formal, Informal, Non Formal
     Pendidikan dalam Budaya
     Pembelajaran Sejarah: Merencanakan Masa Depan
     Pendidikan: Kemerdekaan dalam Harapan
Daftar Pustaka
Tentang Penulis

Kutipan

Bagian 1 / Belajar dari Kehidupan Nyata
Anakku, Jagat Raya ini Tanpa Batas

Somahekai Kehage Sekali layar terkembang pantang untuk mundur --Pepatah Masyarakat Sangihe-Talaud

Anakku, dunia ini seluas apa yang ada di pikiran kita. Alam raya yang luas ini akan berubah jadi sempit ketika kamu mempersempit cakrawala pikiranmu. Gunung itu terasa semakin tinggi dan sulit didaki ketika pikiranmu mengatakan “betapa tingginya puncak gunung itu, dan aku tidak bakal sanggup sampai di sana.” Kamu betul-betul tidak akan pernah sampai ke sana.

Kesulitan itu selalu lebih kecil dari kemampuan kita. Itulah janji Allah melalui firman-Nya. Janji ini tidak akan pernah diingkari, “tidak Aku berikan persoalan kecuali manusia sanggup mengatasinya.” Allah tidak pernah salah dalam memberi, termasuk persoalan. Persoalan besar akan datang pada kita ketika menurut Ilahi kita sanggup mengatasinya. Dan kemampuan selalu lebih dulu diberikan-Nya dari pada persoalan.

Anakku, alam raya ini tanpa batas. Sebagaimana otak manusia juga tanpa batas, positifnya tanpa batas, negatifnya juga tanpa batas. Gunakanlah ia untuk memecahkan karang yang keras, mendaki gunung yang tinggi, mengarungi lautan luas dan bebas.

Bebaskan pikiranmu dari anggapan bahwa “semua itu hanya teori, hanya indah dan mudah diucapkan, tetapi pahit dan sulit dilaksanakan.” Pikiran itu justru akan mengunci pikiranmu sendiri dan akan mempersempit ruang gerakmu. Bahkan akan menghentikan langkahmu. Sekarang saatnya membalik pikiran. Semua itu mudah dilakukan dan sulit diucapkan. Buktikan bahwa pelaksanaan jauh lebih mudah daripada bicara!.

Nak, kamu harus berhati-hati dalam belajar. Angka 10 yang ada di rapormu akan menjebak dirimu dan akan mempersempit cakrawalamu. Angka itu akan membawa kamu ke zona nyaman. Lama kelamaan kamu akan enggan ke luar dari zona nyaman itu. Angka 10 berpotensi menghentikan langkah belajarmu karena tidak ada lagi angka yang lebih tinggi dari itu. Panjang langkahmu akan semakin pendek ketika kamu mendapatkan angka 10 untuk semua mata pelajaran, karena ini akan membawamu ke dunia semu yang menggambarkan seolah-olah kamu orang super dan serba bisa. Kondisi ini akan memperkokoh kamu untuk mempertahankan diri di zona nyaman itu. Itu artinya kamu akan “berhenti” belajar dalam artian yang sesungguhnya. Kamu juga akan terjebak dalam belajar yang “semu” karena untuk mempertahankan posisi kamu, kamu akan berusaha melakukan segala cara, termasuk cara-cara instan, seperti latihan menjawab soal-soal, strategi memilih jawaban, bahkan mungkin kamu tidak segan-segan mencari jalan pintas, apapun bentuknya. Lambat laun di dalam dirimu akan tumbuh rasa takut pada kegagalan. Kamu akan takut tersaingi. Kamu akan takut penghargaan orang lain berkurang. Dan kamu akan memandang orang-orang di sekitarmu sebagai pesaing, sehingga kamu akan menjadi egois, tidak mau berbagi, apalagi berbagi ilmu.

Kondisinya akan semakin parah ketika kamu lebih memilih melakukan hal-hal yang “mudah” untuk memperbesar peluang menang, dan memperkecil peluang kalah. Inilah yang akan menjebakmu sehingga kamu terperangkap pada cara-cara instan. Untuk itu belajarlah menguasai sesuatu yang terbaik yang bisa dilakukan. Bukan belajar untuk mendapatkan angka sempurna (10). Nilai akan berhenti di angka 10, sementara kemampuanmu tanpa batas, dan tidak bisa diukur dengan angka.

“Cintailah kemudahan, takutilah kesulitan, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa”(Yasadipura, kakek Ronggoworsito).

Apapun bentuk perlombaan, olimpiade, atau yang lainnya, itu adalah sebuah permainan. Jika kamu ikut di situ, nikmatilah itu sebagai sebuah permainan yang menyenangkan, yang membebaskan kamu sementara waktu dari berbagai persoalan dan kejenuhan. Lakukan itu sebagai rekreasi yang paling indah. Gunakan waktu perlombaan itu untuk bergembira, seperti kata Thomas Armstrong: “kejeniusan itu dilahirkan dari kegembiraan.” Tunjukkan hasil terbaik yang kamu bisa pada saat itu, lepaskan dirimu dari bayang-bayang menang atau kalah. Ketika kamu menang, kamu harus menghargai dan menghormati lawanmu. Dia menjadi orang terpenting bagimu saat itu, dan dia sesungguhnya sahabat sejatimu yang “legowo” menerima kekalahan darimu. Itu sebuah perjuangan berat baginya. Oleh karenanya, kita wajib mengapresiasi itu dan yang lebih penting, tanpa dia kamu tidak akan meraih kemenangan itu. Dialah orang pertama yang akan menolong mu jika tiba-tiba kamu terjatuh. Itu artinya, kemenangan itu milik kamu berdua.

Jika kamu kalah, kuatkan dirimu untuk menghadapinya. Kehidupan akan menjadi indah ketika perjalanan yang kita tempuh itu berliku, menanjak, dan menurun. Alam ini tidak akan memberikan cerita apa-apa jika ia hanya berupa dataran yang datar. Dan kekalahan adalah sumber energi terbesar bagimu yang akan membawamu terbang menggapai titik tak terhingga yang tak pernah terbayangkan oleh kita sebelumnya. Itulah rahasia Ilahi.