Toleransi umat Islam terhadap pemeluk agama lain di Indonesia, bahkan di dunia, sebenarnya sudah teruji selama berabad-abad. Namun, masih ada upaya-upaya untuk mengajari umat Islam bagaimana bertoleransi. Seakan-akan, kerukunan beragama adalah barang baru, yang bahkan tidak pernah ada di negeri ini.
Mau diakui atau tidak, jualan toleransi yang semakin santer itu sebenarnya tak lebih dari komoditas politik. Buktinya, cap intoleran begitu mudah ditempelkan pada mereka yang berseberangan secara politik.
Padahal katanya, dalam pertarungan politik ala demokrasi, soal dipilih atau tidak dipilih adalah hal biasa. Maka dari itu, sebenarnya, siapa pun yang naik ke panggung politik, tidak perlu membawa-bawa “toleransi”, demi ambisi politik semata. Apalagi, di kalangan muslim juga tidak sedikit yang mengikuti pendapat ulama yang mengharamkan demokrasi, yang artinya sekadar memilih pun tidak diperbolehkan.
Toleransi dalam Islam sejatinya demikian terang. Rambu-rambunya sudah jelas. Tak perlu diteriakkan apalagi menjadi slogan. Tak perlu ada perasaan paling toleran, lantas menuduh yang lain intoleran. Sebab, jika seseorang menaati syariat Islam, secara otomatis dia akan menjadi pribadi yang teramat toleran.
Toleransi semestinya tercermin dalam praktik. Ia bukan alat politik untuk mengajak memilih tokoh nonmuslim. Toleransi juga bukan alat propaganda untuk menekan orang-orang yang berpegang teguh dengan agamanya. Tak mau menghadiri perayaan natal atau mengucapkan selamat natal, disebut intoleran. Tidak menyetujui tradisi larung sesaji dituduh fanatik, antikearifan lokal, dan seterusnya.
Toleransi semestinya juga dua arah. Bukan toleransi namanya jika lantang diteriakkan ke satu pihak, tetapi begitu lembut untuk pihak lain. Ketika "oknum” muslim meneriakkan ujaran kebencian ke nonmuslim, ada yang begitu galak. Namun, ketika terjadi sebaliknya, mendadak mulutnya membisu.
Maka dari itu, toleransi harus berlandaskan akidah dan akal sehat. Terlampau sempit namanya jika toleransi hanya dilihat dari perkara mengucapkan selamat natal atau tidak. Terlampau banyak ruang interaksi dengan nonmuslim secara baik dan adil, seperti membantu mereka ketika ditimpa musibah, menjenguk ketika sakit, memberi hadiah, bertetangga dengan baik, larangan mengganggu peribadahan mereka, larangan berbuat zalim dan membunuh mereka tanpa hak, jual beli, utang piutang, dan sebagainya.
Toleransi tanpa didasari prinsip al-wala’ wal bara’, bisa menjadi sikap liar tanpa arah. Toleransi yang bakal memupus keimanan, kesalehan, dan ketakwaan karena tidak memedulikan kekufuran, kebatilan, kemungkaran, dan kesesatan.
Jadi, jangan sampai seruan toleransi menjadi bungkus dari seruan intoleransi, atau menjadi upaya mencegah isu SARA yang justru menjadi senjata berkedok antiSARA. Tak perlu share foto-foto “bertema” toleransi seolah-olah menegasikan bahwa toleransi seperti barang mahal. Sudah terlampau banyak setting-an di negeri ini, karena sejatinya negeri ini lebih membutuhkan kejujuran diri.