Tanpa disadari, hoaks telah menjelma menjadi santapan sehari-hari. Media sosial terutama WhatsApp, menjadi media “mainstream” tempat bersilewerannya beragam jenis hoaks. “Mainstream” tidak berarti media sosial adalah “sarang” hoaks, tetapi karena media sosial memang mampu menampung segala jenis informasi sekecil apa pun yang itu berpotensi hoaks, yang tidak muncul di media mainstream. Lowongan pekerjaan, informasi kesehatan, meme, screen capture percakapan, dan sebagainya yang berbahan dasar hoaks, muncul bebas dan sering dibagikan dengan begitu cepat.
Selain itu, media sosial sering direpotkan dengan lahirnya pendatang-pendatang baru di jagat permedsosan yang dahulu gagap teknologi tetapi kini justru gegap gempita bermedsos ria. Superrajin posting dan share berbagai informasi tanpa pernah disaring, termasuk berita hoaks lama yang diproduksi sekian tahun lalu.
Intinya, hoaks memang bukan tentang medianya, melainkan siapa yang ada di baliknya. Media mainstream toh juga sering memproduksi hoaks, karena memang tidak ada media yang benar-benar objektif dan independen. Media mainstream tetap punya preferensi politik dan agama tertentu. Menyudutkan tokoh politik tertentu atau memproduksi opini negatif untuk menjelek-jelekkan agama lain (baca: Islam), walaupun dengan bahasa halus sekalipun, tetaplah fakta tak terbantahkan.
Karakter media mainstream kadang malah tak ubahnya seperti para pendatang baru permedsosan kalau sudah menyangkut berita yang menyudutkan Islam. Copas berantai dari sumber media asing yang tidak jelas dan tanpa cover both sides sering dilakukan media mainstream. Setelah ditelusuri, kadang berita itu bersumber hanya dari opini di media sosial. Miris, sering mengaku paling tepercaya, media mainstream justru kadang keadaannya lebih tragis.
Dalam Islam, budaya literasi sesungguhnya sangatlah kuat. Bagaimana hadits demi hadits tidak hanya diteliti nama pembawa riwayatnya, tetapi karakter perawinya pun ikut diperiksa. Makanya, kalau ada dari kalangan Islam yang lebih percaya berita media daripada hadits sahih, lebih percaya propaganda media kafir dibandingkan media Islam, patut diragukan keimanannya.
Tidak dimungkiri juga, memang banyak media Islam yang terpapar hoaks. Soal kekejaman kaum kafir, misalnya. Ini memang sebuah kebenaran. Akan tetapi, ketika yang ditampilkan adalah informasi yang tidak jelas, antara berita dan visualnya berbeda, misalnya kekejaman pada peristiwa A, ternyata menggunakan foto peristiwa B, akhirnya menjadi kontraproduktif. Sebutlah ketika ada pembantaian umat Islam di tempat tertentu, banyak pihak yang sudah nyinyir dahulu. Belum-belum mereka sudah memvonis bahwa berita itu adalah hoaks.
Maka, hoaks tetaplah harus kita tolak. Kebenaran niscaya akan mewujudkan kebaikan. Ketika semua pihak berbicara padahal bukan kapasitasnya, apalagi jika informasi itu menyangkut keamanan dan ketertiban sebuah tatanan masyarakat, tentu yang dihasilkan bukan ketenteraman, namun justru suasana yang mencekam.
Yang terpenting, bersikaplah secara bijak. Tidak perlu kita berkoar-koar paling antihoax, namun dalam kehidupan beragama menggunakan hoaks (baca: hadits palsu) sebagai dasar amalan ibadahnya. Dituduh bid’ah, menolak. Malah pasang tampang galak, menuding pihak yang menasihati sebagai anti ini itu, radikal, dan sejenisnya.
Semestinya kita malu, sebagai penganut agama yang menjunjung tinggi budaya literasi dan budaya ilmiah, jangan sampai kita menjadi orang yang bermudah-mudah menyebarkan berita atau melakukan amal ibadah dengan dasar yang tidak jelas. Jangan sampai kita, umat Islam, terstigmatisasi sebagai ahlul hoaks berjamaah. Mari bijak menolak hoaks!