Babak Lanjutan Taksi Online, Memperdebatkan Taksi online bagaikan topik tiada habisnya. Baru kemarin rasanya kita dihebohkan demonstrasi dilakukan sopir taksi yang merasa periuk dapurnya terancam. Pro kontra bermunculan, entah dari pihak merasa diuntungkan, hingga mengangkat isu sosial kehidupan sopir taksi. Waktu bergulir dan celakanya seperti tidak ada ketegasan dari pihak regulator. Kondisi memang lebih adem ayem, tetapi bukan berarti isu keberadaan taksi online telah dituntaskan. Karena sampai sekarang sejatinya hal itu masih abu-abu.
Sejatinya, isu utama bukanlah online vs of ine. Karena ada taksi konvensional telah memanfaatkan kecanggihan dunia digital untuk menghubungkannya dengan konsumen. Melainkan armada resmi (bayar pajak, logo terpampang, etc) versus tidak resmi, dalam hal ini mobil pribadi digunakan sebagai taksi. Kewajiban uji kir merupakan syarat mutlak. Tanpa itu, pihak berwajib berhak melakukan penindakan. Inilah saringan pertama dalam menjamin kendaraan layak secara keselamatan dipakai sebagai angkutan umum.
Dari sini muncul isu baru. Melalui Pasal 18 Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, pemerintah hanya membolehkan mobil bermesin diatas 1.300 cc untuk ikut uji kir. Agak heboh karena sebelumnya, kemunculan duet Toyota Calya – Daihatsu Sigra telah menginspirasi banyak orang untuk berbisnis “taksi online”. Saya tentu tidak akan berdebat mengenai tepat atau tidaknya landasan peraturan menteri tersebut. Satu hal pasti, kepentingan konsumen harus diutamakan. Lebih baik fokus ke isu mengenai siapa penanggung-jawab apabila “taksi online” tersebut mengalami kecelakaan, misalnya. Atau hal-hal prinsip lain agar menjamin tersedianya transportasi aman, nyaman dan terjangkau bagi warga.