Bulan September ini, secara bersamaan dua proyek terkait transportasi dimulai pengerjaannya. Pertama adalah ground breaking proyek Light Rapid Transport (LRT) yang akan menghubungkan jalur Bogor – downtown Jakarta via Sentul – Cibubur. Kedua, dilanjutkannya pembangunan tol Cinere – Cibitung.
Bagi warga di wilayah timur Jakarta, dimulainya kedua proyek akan memberikan dampak jangka pendek maupun panjang. Pada jangka pendek, sudah dipastikan akan banyak lahan terkena, serta collateral damage berupa kemacetan ekstra. Untuk jangka panjang, penduduk di wilayah ini memiliki alternatif transportasi untuk menuju ke arah barat (Jakarta dan sekitarnya).
Sehingga diharapkan, kemacetan dead lock yang mengancam Jabodetabek pada 2020 tidak akan terjadi karena bakal banyak warga beralih ke moda transportasi umum, khususnya LRT.
Apakah dengan begini lantas industri otomotif akan menerima dampaknya? Dalam artian penjualan mobil bakal menurun? Kami yakin tidak. Keinginan untuk memiliki kendaraan bermotor diprediksi akan tetap tinggi meski penggunaannya menurun. Lihat saja kota-kota besar seperti Tokyo, Los Angeles, ataupun London.
Apalagi, rasio kepemilikan kendaraan di Indonesia masih sangat rendah. Diperkirakan hanya ada sekitar 77 mobil untuk setiap 1.000 orang. Angka ini di bawah Thailand yang memiliki rasio 165 per 1.000. Ini membuat pasar Indonesia masih sangat menjanjikan di mata prinsipal dunia.
Hal terakhir kami butuhkan adalah upaya mengaitkan pertumbuhan pasar otomotif dengan kemacetan jalan. Please, deh! Utamakan perbaikan infrastruktur dan manajemen transportasi sebelum buru-buru menelurkan kebijakan kontraproduktif. Kami yakin pertumbuhan pasar otomotif dan kelancaran transportasi dapat berjalan paralel, selayaknya negara maju.