Beberapa tempo hari, jurnalis CHIP sempat bersua tiga walikota muda di sebuah acara. Masing-masing Ridwal Kamil (Walikota Bandung), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), dan Bima Arya Sugiarto (Walikota Bogor). Ini pertemuan menarik, me ngingat ketiganya tengah membangun kotanya menjadi smart city. Dalam konteks ini, konsep gagasan Kang Emil dan Bu Risma, bisa jadi contoh bagaimana membuat sebuah konsep kota cerdas itu.
Risma, sebelum menjadi walikota adalah staf pemerintah kota. Dari dulu sudah menyiapkan ide efisiensi birokrasi. Khususnya birokrasi yang pro masyarakat. Cara paling mudah dan efisien itu misalnya dengan membuka proses pengurusan berbagai kebutuhan lewat jalur elektronik. Cara Risma jelas membalikkan pameo “jika bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?”.
Sementara Emil adalah arsitek yang cara bekerjanya sangat terstruktur. Ia mencoba membuat Bandung kokoh oleh infrastruktur yang bisa mengintegrasikan banyak hal. Jika prasarana bisa menjembatani seluruh keperluan bagi hajat hidup orang banyak, maka sebagian jalan menuju kota cerdas terlampaui.
Konsep Emil sangat berbau ICT. Salah satunya pembuatan Bandung Command Centre untuk memantau seluruh kawasan jelas membutuhkan perangkat yang tidak murah. Bahkan lebih jauh, pria berkacamata ini punya mimpi besar membangun kota baru pada sebuah kawasan di tenggara Bandung bernama Technopolis. Kira-kira kota tekno ini seperti Silicon Valley.
Antara Emil dan Risma, seolah mengawali perwujudan smart city dari pintu yang berbeda. Yang satu soal infrastruktur, satu lagi lebih ke pemangkasan birokrasi dan pemberdayaan masyarakat. Yang satu harus serba teknologi, sedang satu lagi lebih ke sisi aplikatif sembari memanfaatkan hal yang telah ada.
Bagi saya, cara membangun sebuah kota cerdas bisa diawali dari sisi mana saja dan menggunakan jalur apa saja. Tentu dengan segala mimpi apa saja. Sebab, ketika sebuah kota akan dibuat cerdas, sesungguhnya persoalan paling mendasar adalah bagaimana mengubah masyarakatnya untuk mulai sadar dan terbiasa dengan berbagai sarana dan aturan yang serbabaru. Misalnya mengurus KTP musti lewat e-formulir yang dapat diakses dari mana saja, dan mulai tidak mengandalkan calo. Atau, membayar parkir tak lagi ke tukang parkir, karena mesin sudah tersedia.
Warga –ya, kita-kita semua- terlibat dalam proses menuju keterbiasaan sebagai smart city society. Dimulai dari andil memberi pelaporan hal apapun yang dianggap perlu disampaikan melalui media sosial atau fasilitas elektronik lainnya. Pegawai pemerintah juga lebih terbuka, memberikan pelaporan secara transparan melalui web-nya.
Kepada Anda di kota lain, selain Bandung dan Surabaya, kirimkan ke kami, seberapa siap kota Anda akan menjadi kota cerdas. Kami tunggu.