Sulit dibayangkan jika PT Pos Indonesia masih menjalankan bisnis antar-mengantar surat, sementara masyarakat jauh lebih kenal dan suka SMS, email, chatting, atau e-card. Untuk yang terakhir ini bahkan sudah muncul bisnis creative e-card untuk undangan pernikahan. Perusahaan BUMN ini bahkan ditantang pula oleh Tiki, JNE, FedEx, dan ratusan jasa pengiriman swasta di sektor pengiriman paket.
Namun, perusahaan yang kuartal I 2015 meraih pendapatan Rp 1,082 triliun itu melakukan pengembangan jenis antaran paket. Salah satunya pengiriman barang dari transaksi e-commerce. Pengiriman paket (baik tradisional maupun e-commerce) tumbuh 20 persen, Makanya PT Pos Indonesia menggenjot subsektor e-commerce delivery.
Pesaingnya, JNE buka data. Pada akhir tahun 2014, JNE yang punya 50 kantor cabang se-Indonesia membukukan pendapatan Rp 2,5 triliun. Dari angka itu, 60-70 persen di antaranya disumbangkan oleh kerjasama dengan berbagai perusahaan e-commerce, atau senilai Rp 2 triliun. Tahun ini, pada tutup buku nanti, JNE pasang target raih RP 3,9 triliun dari pengantaran produk e-commerce. Tak heran jika Asosiasi Logistik Indonesia meramal kontribusi e-commerce bisa menyumbang hingga Rp 70 triliun.
Pertumbuhan e-commerce di Indonesia sendiri sangat signifikan. Tahun 2011 meraih pendapatan 144 juta dolar. Tahun 2012 meraup 266 juta dolar. Tahun 2013 menembus angka 478 juta dolar. Dan 2014 sudah di angka 776 juta dolar. Masingmasing dengan jumlah transaksi yang naik pesat. Mulai tujuh juta (2011), 12 juta (2012), 19 juta ( 2013) dan 28 juta (2014).
Bisnis e-commerce sejatinya merupakan sebuah ekosistem yang saling berketergantungan. Retail, delivery service, banking dan payment system, media company, telekomunikasi dan internet provider, hingga advertising company ada di situ. Kita bisa melihat bagaimana seluruh komponen ini saling memberikan effort terbaiknya. Bahkan perusahaan telekomunikasi (operator, RED) tak bisa tinggal diam. Tiga besar di antaranya; Telkomsel punya blanja.com, Indosat pemilik cipika.co.id, XL empunya elevania.com. Masing-masing pula menyiapkan e-payment.
Mari kita lihat bisnis Djarum Group yang kian melesakkan digital business –yang jika merujuk pada Ansoff Matrix- sebagai diversifikasi untuk membuat produk baru dan meraih market baru. Blibli.com salah satu wujud yang sudah beroperasi sekitar lima tahunan. Perusahaan internet asal Jerman, Rocket Internet membidik pasar Asia Pasifik dengan membangun Zalora dan Lazada. Hasilnya, kini luar biasa jadi rujukan belanja.
Di sisi konsumen, saya punya sedikit cerita. Suatu kali teman saya hendak beli backpack brand Jansport yang kini bermunculan produk palsunya dengan harga hingga 75-90 persen lebih murah. Di toko rekanan brand asal Amerika ini saja seringkali kurang variasi. Sementara bila membeli lewat web Jansport, meski lebih murah, tetapi bisa kena ongkos kirim besar. Lagi pula tak melayani konsumen Indonesia.
Beruntung seusai browsing, ia mendapatkan di salah satu e-commerce. Seri barang dan warnanya persis yang dimau, tak kena ongkos kirim pula. Kendati jika dibandingkan harga asli sedikit lebih mahal. Urusan selesai, lebih cepat dan mudah. Mengapa Xiaomi selalu menggunakan jalur online shop sebelum dijual resmi di retail tradisional?
Hemat saya, mereka tak ingin buang uang lebih banyak untuk komponen promosi, space pajang dan sebagainya seperti di retail biasa. Cara on-line jelas lebih hemat biaya. Jika permintaannya tinggi, maka tolok ukur akan keberhasilan penerimaan produk oleh konsumen sudah diraih.
Nah, artinya, mereka pun mencoba untuk tes pasar. Diterima atau tidak. So, konsumen adalah bagian dari ekosistem itu juga.