18 Tahun Setelah Amerika …
Pembaca yang terhormat,
Suatu pagi, dalam sebuah perjalanan ke tempat kerja, otak saya tampaknya ingin iseng sembari mencoba lepas dari emosi akibat macet. Pilihannya kepada aplikasi Go-jek yang sedang jadi superstar, tak cuma di Indonesia. Benak kemudian mengkhayal, mencari-cari profit sang start up dalam hitungan bulanan. Kebetulan tak punya data tentang modal, investasi dan cash flow perusahaan pemula ini. Tetapi otak saya “melarikan” ke parameter penghasilan yang diperoleh oleh sang pengendara ojek.
Matematika sederhananya begini, jika satu bulan rata-rata tukang ojek bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp 4 juta, di mana nominal ini adalah 80 persen dari persentase yang jadi hak si pengendara. Sementara sisanya, yang 20 persen masuk ke saku manajemen atau sekitar Rp 1 juta. Jika sekarang Go-jek punya 10.000 pengendara maka total jendral rupiah yang mendarat ke rekening Go-jek sebesar tak kurang dari Rp 10 miliar.
Jadi tidak heran jika aplikasi berbasis sharing economy alias sosial-economy ecosystem ini disebut-sebut start up lokal dengan pertumbuhan nomor satu di Indonesia (Kompas.com, 1 Juli 2015).
Bisnis kreatif digital Indonesia tumbuh dan berkembang. Masing-masing memilih segmennya dan tidak sedikit yang mencari bentuk. Pun ada iklim kompetisi tengah terjadi. Pemerintah lalu menyiagakan aparatnya melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) agar situasi ini mampu menjadi jalan keluar bagi ekonomi makro yang sedang terpuruk. Kreativitas produk peranti lunak ini masuk dalam sub-sektor layanan komputer dan peranti lunak. Salah satu dari 15 sub-sektor industri kreatif yang dicanangkan pemerintah.
Apakah kita tertinggal?
Tidak. Amerika saja, baru mendengungkan ekonomi kreatif sejak 1997. Ketika John Hawkins (penulis buku The Creative Economy: How People Make Money from Ideas) melihat lahirnya gelombang ekonomi berbasis kreativitas. Sementara industri Hollywood, fesyen, dan periklanan sudah memberi kontribusi besar pada ekonomi negeri Paman Sam. Tetapi sejak isu HKI (Hak Kekayaan Intelektual) dihembuskan apalagi mengandung nilai dolar sebesar 414 miliar, maka alasan atas kreativitas dan ide harus dikemas dan wujudnya adalah sektor ekonomi kreatif.
Kita baru mulai.
Ekonomi kreatif kemudian tak hanya jadi madu bagi pebisnis pemula. Beberapa perusahaan raksasa ikut terjun membikin bentuk bisnis diferensiasi. Dulu perusahaan multinasional memilih industri agro, sekarang ramai-ramai ke industri digital. Sama-sama industri padat modal, tetapi industri agro lebih mudah menakar untung dan break event point (BEP). Namun, unsur kreativitas tingkat tinggi tak se-intens industri digital.
Seorang teman start up bilang, “Tak Anda harus berpikir kreatif selama 24 jam sehari.” Sebab, dalam bisnis ini selalu ada hal baru, peluang baru dan butuh eksekusi cepat tanpa perlu rapat berjam-jam. Ranumnya industri digital menarik minat investor. Grup-grup raksasa memilih jadi venture capital (VC). Sebagian memilih jadi seed fund untuk sementara. Artinya, jutaan dolar siap mengalir. Meski di sisi lain, ketika sebuah start up atau perusahaan mendapat injek modal tambahan, risiko kerja keras itu juga harus melengkapi etos kerja.
Siapa sangka pada manisnya perusahaan e-commerce dengan segenap investasi jutaan dolarnya (bahkan MatahariMall menduduki perusahaan digital dengan capital terbesar di Asia Tenggara) orang-orang di dalamnya harus siaga setiap saat untuk mengontrol arus barang dari merchan yang layak jual dan sebaliknya. Sebuah pilihan yang harus dibayar, kendati tampaknya mudah saja menghamburkan uang lewat iklan.
Kini 18 tahun setelah Amerika mencanangkan ekonomi kreatif, negeri kita sedang merangkak dengan ekonomi kreatifnya. Agar tak hanya merangkak, genap pula CHIP berusia 18 tahun, melihat peluang untuk men-encourage para start up agar kelak jadi pelaku produktif di industri kreatif yang berlari seperti Go-jek. Sebab Go-jek hanya satu dari ikan di lautan biru.