Ikhtisar
Menulis buku merupakan sebuah proses dialektika yang bermula dari pemahaman sebuah tesis kemudian muncul antitesis dan selanjutnya muncul sintesis baru. Proses dialektika yang mewujud dalam penulisan buku tentu tidak akan pernah berhenti karena penjelajahan kebenaran dalam keilmuan tidak pernah berhenti.
Bukan berhenti pada titik tertentu seperti digambarkan Georg Wilhelm Friederick Hegel dalam filsafat dialektika materialisnya. Demikianlah penulisan buku seharusnya disikapi sebagai sebuah proses pergulatan pemikiran dialektika yang bisa saja merupakan antitesis pada penulisan-penulisan sebelumnya, baik oleh penulis sendiri maupun penulis yang lain. Demikianlah maka buku ini pasti akan dilanjut oleh buku berikut-berikutnya.
Pendahuluan / Prolog
Pendahuluan
Pemikiran ilmu hukum dalam kajian buku ini dikonsepsikan sebagai pemikiran hukum yang tumbuh dari Eropa Barat sekalipun dalam perkembangannya terlihat bahwa ilmu hukum juga dipengaruhi perkembangan pemikiran dari Amerika Serikat. Pemikiran ilmu hukum dari Eropa Barat pada abad sembilan telah melahirkan apa yang dikenal sebagai sistem hukum modern.
Pemikiran yang dibangun dalam sistem hukum modern merupakan hasil perkembangan dan reaksi terhadap pemikiran yang dibangun pada Abad Pertengahan. Selanjutnya, bisa dikatakan bahwa pemikiran ilmu hukum pada Abad Pertengahan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran ilmu hukum pada Era Aristotelian yang sangat dipengaruhi pemikiran keilahian. Era Aristotelian yang sangat berpengaruh di Eropa bersumber dari ajaran-ajaran Aristoteles (862—822 SM) filosof dari Yunani.
Pemikiran-pemikiran Aristoteles sesungguhnya bersumber dari pemikiran Plato sebagai guru Aristoteles. Sumbangan pemikiran dari Era Yunani bagi perkembangan ilmu hukum adalah pendekatan keilahian dalam hukum alam. Keyakinan akan kebenaran hukum alam (karena bersumber dari keilahian) itu melahirkan pendekatan deduksi seperti yang dikenal dalam aliran pemikiran positivisme hukum.
Pemikiran yang didominasi keilahian berpengaruh pada aliran pemikiran hukum Skolastik. Hal itu tercermin dari pandangan Thomas Aquinas (1225 —1275 M), yang mendefinisikan hukum alam sebagai hukum yang berasal dari Tuhan dan mewujudkan diri dalam akal manusia (devine law).
Hukum alam yang terletak pada akal budi manusia disebut Thomas Aquinas sebagai partisipasi aturan yang berasal dari Tuhan, yaitu hukum yang abadi yang mewujudkan diri dalam rasio makhluk hidup. Menurut pendapatnya, prinsip-prinsip hukum alam mengikat setiap masyarakat. Oleh karena itu, syarat yang dibutuhkan untuk eksistensi suatu sistem hukum adalah bahwa hukum tersebut harus memuat prinsip-prinsip hukum alam yang keteraturannya selalu berlangsung abadi.
Dalam perkembangan kemudian, filsafat positivisme mendekonstruksi pandangan-pandangan yang muncul, baik sebagai dogma maupun keyakinan yang muncul dari semangat keilahian yang dianggap sangat abstrak dan terlalu hipotetik sebagaimana telah dikembangkan sejak zaman Plato dan Aristoteles di Yunani. Dalam pandangan positivisme, yang benar adalah yang konkret. Positivisme tidak membahas esensi, tidak membahas hal-hal yang tidak tampak.
Apabila dibahas konteks hukum, positivisme dalam hukum yang akhirnya melahirkan apa yang kita sebut sebagai hukum positif, lahir sebagai respons terhadap hukum alam. Positivisme dalam hukum yang mengonsepsikan hukum sebagai seperangkat ketentuan tertulis (konkret); dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan mengandung perintah; menolak keberadaan hukum alam (natural law) karena keberadaan hukum alam didasarkan hanya pada, baik pikiran keilahian maupun akal manusia; yang ada pada tataran abstrak (tidak konkret); dan sangat hipotetis sifatnya.
Kritik terhadap positivisme terutama terjadi di Amerika Serikat. Para pemikir Amerika Serikat merupakan pemikir pragmatis, tidak terlalu mau terikat pada logika-logika berbasis pengetahuan. Bagi para pemikir ini adalah sulit bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan teoretik yang benar. Kebenaran ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang mudah dicapai manusia dan tidak mudah bisa diterima secara common sense.
Oleh karena itu, bagi pemikir-pemikir pragmatis ini, yang perlu dilakukan adalah memahami dan menemukan ide-ide yang bersumber dari kehidupan nyata atau pengalaman hidup nyata (experience). Pemikiran pragmatis yang berbasis realitas ini di Amerika Serikat melahirkan aliran pemikiran hukum realis (legal realism). Jadi, dalam pandangan legal realism, kebenaran ada dalam realitas itu sendiri. Demikianlah maka jelas bahwa legal realism adalah respons terhadap positivisme hukum.
Ilmu hukum, bagaimanapun, tidak boleh menutup diri terhadap perkembangan-perkembangan pemikiran dalam ilmu sosial. Pemahaman-pemahaman terhadap perkembangan dalam ilmu sosial penting bagi ilmu hukum agar hukum dapat semakin mampu mewujudkan tujuannya, yaitu menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kestabilan hidup.
Penulis
FX. Adji Samekto, Dr. S.H., M.H. - Dr. FX. Adji Samekto, S.H., M.H.
Lahir di Yogyakarta, 18 Januari 1962. Alamat sekarang:
Jl. Gombel Permai VI.114 Semarang
Menempuh pendidikan formalnya (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang tahun 1981-1986.
Menekuni dunia pendidikan hukum dengan menjadi dosen di almamaternya sejak tahun 1987 di bidang kajian hukum internasional.
Menempuh pendidikan Magister (S-2) di Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1991-1995 pada bidang kajian utama hukum internasional. Pengkajian hukum secara komprehensif dengan melibatkan faktor di luar ranah kajian positivistik, diperdalam ketika menempuh pendidikan Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro tahun 1999-2004.
Aktif dalam penulisan masalah hukum internasional dan hukum lingkungan yang dituangkan, baik dalam buku maupun tulisan di media massa.
Mengajar di Program S-1 dan S-2 di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa Tengah .
Daftar Isi
Sampul
Biodata
Kata pengantar
Daftar Isi
Pendahuluan
Pengantar pendahuluan: Perspektif historis - filodofis hukum dalam pendekatan normatif
Pengantar bahasan: Perspektif historis - filodofis hukum dalam pendekatan normatif
A. Pengonsepsian Hukum dalam Pendekatan Normatif (Doktrinal)
B. Peran Ajaran Metayuridis dalam Hukum Doktrinal
Bab 1: Pergeseran pemikiran dari era Yunani menuju era rasionalisme
A. Pemikiran Filsafat Era Yunani
B. Krisis Pemikiran Filsafat Era Imperium Romawi
C. Pemikiran Filsafat Era Abad Pertengahan
D. Pemikiran Filsafat Era Renaissance
1. Rasionalisme dan Empirisme sebagai Produk Pemikiran Era Renaissance
2. John Locke (1632—1704)
3. Adam Smith (1723—1790) dan Pemikiran Pasar Bebas
Glossarium
Pengantar bahasan: Hukum dalam kerangka moderenisme
Bab II: Filsafat positiveme dan pengaruhnya terhadap hukum
A. John Austin (1790—1859)
B. Gustav Radbruch (1878—1949)
C. Hans Kelsen (1881—1973)
D. H.L.A. Hart (1907—1992)
Glossarium
Bab III: Tradisi hukum Civil Law dan Common Law: Implikasinya pada ajaran hukum
A. Relasi Civil Law, Legal Positivism, dan Kepastian Hukum
B. Legal Realism sebagai Tanggapan Terhadap Legal Positivism
C. Tradisi Hukum Common Law dan Peran Hakim
Glossarium
Pengantar bahasan: Hukum dalam kerangka Post-Modernisme
Bab IV: Pengaruh Kapitalisme pada sistem hukum moderenisme: Perspektif Sosio - Legal
A. Kapitalisme: Sejarah dan Implikasinya
B. Sistem Hukum Modern
C. Liberal Legal Justice
Glossarium
Bab V: Studi hukum kritis: Kritik terhadap sistem hukum modern
A. Critical Theory sebagai Landasan Studi Hukum Kritis
B. Studi Hukum Kritis: Tesis-Tesis Utama
Glossarium
Bab VI: Pengaruh ilmu sosial terhadap ilmu hukum
A. Hukum dalam Perspektif Sosiologi: Max Weber
B. Sistem Hukum Modern dalam Kajian Sosiologi
C. Hukum dalam Perspektif Sosiologi: Eugen Erlich
Bab VII: Penelitian hukum dengan paradigma penelitian sosial
A. Paradigma Positivisme
B. Paradigma Post-Positivisme
C. Paradigma Kritikal
D. Paradigma Konstruktivisme
Penutup
Daftar pustaka