Tampilkan di aplikasi

Buku Citra Aditya hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia Dari Masa Ke Masa

1 Pembaca
Rp 50.000 50%
Rp 25.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 75.000 13%
Rp 21.667 /orang
Rp 65.000

5 Pembaca
Rp 125.000 20%
Rp 20.000 /orang
Rp 100.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Sengketa merek terkenal di Indonesia mulai banyak terjadi pada tahun 80-an dan mencapai puncak pada awal tahun 90-an, salah satu alasannya karena sistem Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961 cukup banyak mengandung kelemahan. Di samping juga karena etika bisnis yang buruk pada sebagian kalangan pengusaha di tanah air, dan sikap legalistis beberapa hakim. Walaupun, sebenarnya ada juga beberapa hakim yang masih mengutamakan moral justice, dan tetap melindungi pemilik merek terkenal yang sebenarnya.

Buku berjudul "PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DI INDONESIA DARI MASA KE MASA" merupakan catatan peristiwa perlindungan merek terkenal di Indonesia yang dimulai pada tahun 1972 hingga akhir tahun 1997 yang dipilih secara acak, ketika Indonesia menerapkan sistem ekonomi terbuka yang berdampak pada pelanggaran terhadap merekmerek terkenal (asing) yang didaftar lebih dulu oleh para pengusaha lokal. Akibat pendaftaran tersebut, para pemilik merek terkenal (asing) harus mengajukan gugatan pembatalan untuk memperoleh kembali hak atas mereknya, namun disayangkan beberapa gugatan itu kandas. Sehingga memberi kesan, Indonesia tidak memberi perlindungan terhadap para pemilik merek terkenal (asing) dan surga bagi pembajak merek-merek terkenal.

Kelemahan dalam sistem Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961 yang tidak mencantumkan perlindungan terhadap merek terkenal telah dicoba diperbaiki, dan diatasi melalui Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992 yang mulai berlaku efektif tanggal 1 April 1993, dan revisinya melalui Undang-Undang Merek No. 14 Tahun 1997 yang disahkan pada tanggal 7 Mei 1997. Meskipun, secara teoretis, undang-undang itu terlihat telah memberikan perlindungan terhadap pemilik merek terkenal, namun realitanya upaya untuk melindunginya masih menghadapi bermacam kendala.

Sesungguhnya, pelanggaran terhadap pemilik merek terkenal tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain misalnya: merek "CHANEL 5", untuk produk parfum terkenal yang dimiliki perusahaan Prancis telah digunakan oleh perusahaan Jepang untuk "love hotel", atau kasus merek SEVEN UP vs. 8 UP yang terjadi di Australia, dan kasuskasus merek terkenal yang terjadi di beberapa negara lainnya.

Buku ini merupakan bagian dari disertasi Insan Budi Maulana untuk meraih gelar doktor dari Fakultas Hukum Universitas Kobe, Jepang, dan merupakan buku ke keempat yang diterbitkan oleh PT. CITRA ADITYA BAKTI yang masih merupakan rangkaian serial Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Diharapkan, melalui buku ini, kajian terhadap merek-merek terkenal akan semakin bertambah, serta memberi manfaat bagi kalangan akademis, praktisi hukum, para penegak hukum, pemeriksa merek dan para pengusaha.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Insan Budi Maulana, Prof. Dr. S.H., LL.M.

Penerbit: Citra Aditya
ISBN: 9794147966
Terbit: Maret 1999 , 286 Halaman










Ikhtisar

Sengketa merek terkenal di Indonesia mulai banyak terjadi pada tahun 80-an dan mencapai puncak pada awal tahun 90-an, salah satu alasannya karena sistem Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961 cukup banyak mengandung kelemahan. Di samping juga karena etika bisnis yang buruk pada sebagian kalangan pengusaha di tanah air, dan sikap legalistis beberapa hakim. Walaupun, sebenarnya ada juga beberapa hakim yang masih mengutamakan moral justice, dan tetap melindungi pemilik merek terkenal yang sebenarnya.

Buku berjudul "PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DI INDONESIA DARI MASA KE MASA" merupakan catatan peristiwa perlindungan merek terkenal di Indonesia yang dimulai pada tahun 1972 hingga akhir tahun 1997 yang dipilih secara acak, ketika Indonesia menerapkan sistem ekonomi terbuka yang berdampak pada pelanggaran terhadap merekmerek terkenal (asing) yang didaftar lebih dulu oleh para pengusaha lokal. Akibat pendaftaran tersebut, para pemilik merek terkenal (asing) harus mengajukan gugatan pembatalan untuk memperoleh kembali hak atas mereknya, namun disayangkan beberapa gugatan itu kandas. Sehingga memberi kesan, Indonesia tidak memberi perlindungan terhadap para pemilik merek terkenal (asing) dan surga bagi pembajak merek-merek terkenal.

Kelemahan dalam sistem Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961 yang tidak mencantumkan perlindungan terhadap merek terkenal telah dicoba diperbaiki, dan diatasi melalui Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992 yang mulai berlaku efektif tanggal 1 April 1993, dan revisinya melalui Undang-Undang Merek No. 14 Tahun 1997 yang disahkan pada tanggal 7 Mei 1997. Meskipun, secara teoretis, undang-undang itu terlihat telah memberikan perlindungan terhadap pemilik merek terkenal, namun realitanya upaya untuk melindunginya masih menghadapi bermacam kendala.

Sesungguhnya, pelanggaran terhadap pemilik merek terkenal tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain misalnya: merek "CHANEL 5", untuk produk parfum terkenal yang dimiliki perusahaan Prancis telah digunakan oleh perusahaan Jepang untuk "love hotel", atau kasus merek SEVEN UP vs. 8 UP yang terjadi di Australia, dan kasuskasus merek terkenal yang terjadi di beberapa negara lainnya.

Buku ini merupakan bagian dari disertasi Insan Budi Maulana untuk meraih gelar doktor dari Fakultas Hukum Universitas Kobe, Jepang, dan merupakan buku ke keempat yang diterbitkan oleh PT. CITRA ADITYA BAKTI yang masih merupakan rangkaian serial Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Diharapkan, melalui buku ini, kajian terhadap merek-merek terkenal akan semakin bertambah, serta memberi manfaat bagi kalangan akademis, praktisi hukum, para penegak hukum, pemeriksa merek dan para pengusaha.

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Salah satu alasan mengapa memilih tema "PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DI INDONESIA DARI MASA KE MASA" (PROTECTION OF WELL-KNOWN TRADEMARK IN INDONESIA: FROM THE OLD {TRADEMARK LAW NUMBER 21 OF 1961} TO THE PRESENT LEGAL SYSTEM {TRADEMARK LAW NUMBER 19 OF 1992 AS REVISED ON TRADEMARK LAW NUMBER 14 OF 1997} atau INDONESIA NI OITE CHOMEI SHOOHYOO NO HOGO adalah karena sejak dekade 80-an telah cukup banyak kasus merek terkenal yang terjadi pada lembaga peradilan di Indonesia. Kasus merek terkenal ini dipilih karena dalam berbagai putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri (Jakarta Pusat) atau Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Indonesia terdapat bipolarisasi putusan, yang satu hanya berdasarkan pada ketentuan perundang- undangan saja atau bersifat legalistis sehingga pemilik merek terkenal asing cenderung "kalah" dan yang bersifat pragmatis dengan bersendikan pada moral justice yang pada umumnya memenangkan pemilik merek terkenal (asing). Dan putusan-putusannya dilakukan dengan memberi penafsiran dan interpretasi baru yang didasarkan pada fakta dan realita kebenaran yang sesungguhnya.

Kedua pandangan hukum dari Hakim-hakim Agung itu ternyata, baik disadari atau tidak, telah berdampak luas terhadap pelaksanaan sistem hukum merek di Indonesia selama lebih kurang tiga dekade. Sehingga menempatkan sistem merek Indonesia dalam pelaksanaan perlindungan merek terkenal ke persimpangan jalan. Apakah Indonesia, dalam implementasinya, benar-benar telah memberi perlindungan hukum yang memadai terhadap pemilik merek terkenal ataukah tidak? Jika kita memperhatikan dua kasus paling menarik atas merek terkenal yaitu Pierre Cardin dan Levi’s yang "kalah" di tingkat Mahkamah Agung maka dapat menimbulkan kesan bahwa Indonesia telah tidak memberi perlindungan terhadap merek-merek terkenal asing.

Tetapi, seandainya saja kita mau memperhatikan hal-hal yang menyebabkan kedua merek terkenal asing itu kalah yaitu dengan cara menelaah kembali seluruh berkas putusan tersebut, barangkali kita tidak akan sepenuhnya menyalahkan Indonesia dengan menyatakan bahwa tidak ada perlindungan hukum terhadap pemilik merek terkenal (asing). Karena, adalah hak seorang hakim berdasarkan bukti-bukti, dasar hukum, penafsiran hukumnya, hati nurani, dan keyakinan hukumnya untuk menentukan putusan dengan memenangkan atau mengalahkan penggugat atau tergugat.

Penulis

Insan Budi Maulana, Prof. Dr. S.H., LL.M. - Prof. Dr. Insan Budi Maulana, S.H., LL.M. menyelesaikan program sarjana hukum (S-1) dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1986 dan memperoleh beasiswa monbusho dari pemerintah Jepang sebagai research student di Fakultas Hukum Universitas Kagawa, Takamatsu, Jepang (September 1998—Maret 1990). Lalu, menyelesaikan program Lex Legibus Master/LL.M. (S-2) dari Fakultas Hukum Universitas Kobe, Jepang, pada tahun 1992. Pada tahun 1998, penulis menyelesaikan program doktor (S-3) juga dari Fakultas Hukum Universitas Kobe (Kobe Daigaku).

Penulis juga beberapa kali menerima beasiswa dari Max Planck Institut, Munich, Jerman sebagai guest researcher dibidang hak kekayaan intelektual dan anti-monopoli pada tahun 1994, 1996, dan 1997. Penulis pernah menjadi Staf Khusus Menkumham dan anggota Tim Pakar Depkumham untuk bidang hak kekayaan intelektual dari tahun 1998 sampai tahun 2005.Pada kurun waktu tersebut, ia juga pernah menjadi anggota Tim Perancang RUU Rahasia Dagang, RUU Desain Industri, dan RUU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang kemudian menjadi UU Rahasia Dagang Nomor 29 Tahun 2000, UU Desain Industri Nomor 30 Tahun 2000, dan UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Nomor 31 Tahun 2000. Beliau pun pernah menjadi anggota Tim Perancang Revisi UU Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997, UU Paten Nomor 13 Tahun 1997, dan UU Merek Nomor 14 Tahun 1997. UU itu kemudian menjadi UU Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, UU Paten Nomor 14 Tahun 2001, dan UU Merek Nomor 15 Tahun 2001.

Daftar Isi

Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
Bab II Pembangunan Ekonomi dan Sistem Merek
     A. Situasi Ekonomi dari Zaman Penjajahan Hingga Orde Baru
          1. Reglement Industrieele Eigendom Kolonien 1912
          2. Tiga Macam Golongan Masyarakat dan Hukum
          3. Pertumbuhan Industri dan Perdagangan Hingga 1945
          4. Pertumbuhan Industri dan Perdagangan 1945 - 1966
          5. Era Perekonomian Terbuka Sejak 1967
     B. Pelaksanaan Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961
          1. Definisi dan Arti Merek
          2. Kriteria dan Ruang Lingkup Merek Terkenal
          3. Tidak Ada Sanksi Pidana
          4. Merek yang Dapat Didaftar dan Tidak Dapat Didaftar
          5. Kelemahan "Sistem Pemakai Pertama"
          6. Prosedur Gugatan Pembatalan, Penghapusan dan Persaingan Curang
               a. Gugatan Pembatalan
               b. Gugatan Penghapusan
               c. Gugatan Anti Persaingan Curang ("Perbuatan Melanggar Hukum")
          7. Gugatan Pembatalan Diajukan dalam Waktu Sembilan Bulan
          8. Perlindungan Jenis Barang: Interpretasi Pasal 2 ayat (1)
          9. Hak-hak Jaksa Penuntut Umum
          10. Kebijakan Pemerintah Tahun 1987 dan Tahun 1991: Perlindungan Merek Terkenal
               a. Keputusan Menteri Kehakiman Tahun 1987
               b. Keputusan Menteri Kehakiman Tahun 1991
                    1. Perluasan Perlindungan Merek Terkenal
                    2. Hierarki Perundang-undangan
Bab III Sistem Undang-Undang Merek Sekarang dan Mendatang
     A. Undang-Undang Merek Baru No. 19 Tahun 1992
          1. Definisi dan Arti Merek
          2. Merek yang Dapat dan Tidak Dapat Didaftar
          3. Perubahan Sistem
               a. Prosedur Pendaftaran Merek: Unik
               b. Prosedur yang Tidak Efektif dan Efisien
               c. Ketentuan Peralihan
          4. Pedoman Pemeriksaan Merek yang Tidak Memadai
          5. Prosedur Gugatan Pembatalan
          6. Ketentuan-ketentuan Pidana
          7. Arti Pelanggaran Merek
          8. Penegakan Hukum: Quo Vadis?
          9. Peranan Hubungan Cina-Indonesia dalam Kasus-kasus Merek
     B. Rancangan dan Revisi Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992 Hingga Undang-Undang Merek No. 14 Tahun 1997
          1. Konsekuensi TRIPS Agreement
          2. Rancangan Revisi, Usulan Perubahan, dan Pasal-pasal yang Direvisi
          3. Masalah-masalah yang Tersisa
               a. Masalah Prioritas dan Pengajuan Perpanjangan Merek
               b. Surat Edaran Direktur Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek
          4. Pasal-pasal Baru
          5. Lingkup dan Perlindungan Merek Terkenal
          6. Perkara-perkara Perdata dan Pidana Merek
Bab IV Kesimpulan
Appendix A: Kompilasi Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992 dan Undang-Undang Merek No. 14 Tahun 1997
Appendix B: Daftar Pustaka

Kutipan

Bab I Hal. 21
Undang-Undang Merek Inggris, Trademark Act 1994 yang menyatakan dalam Pasal 1:

trademark means any sign capable of being represented graphically which is capable of distinguishing goods or services of one undertaking from those of other undertakings.

Bab II Hal. 25
Pasal 382bis KUH Pidana menyatakan:

Barang siapa melakukan suatu perbuatan menipu untuk memperdayakan umum atau seorang dengan maksud untuk menetapkan, memelihara atau menambah hasil perdagangannya atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain, dipidana karena persaingan curang dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan, atau denda sebanyak-banyaknya tiga belas ribu lima ratus rupiah, jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi lawannya bersaing atau lawan bersaing lain itu.

Bab III Hal. 101
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992 menyatakan:

merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.