Tampilkan di aplikasi

Buku Citra Aditya hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Penyelesaian Pelanggaran HAM di Indonesia

Pilihan Upaya Hukum untuk Reparasi Terhadap Korban

1 Pembaca
Rp 62.000 50%
Rp 31.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 93.000 13%
Rp 26.867 /orang
Rp 80.600

5 Pembaca
Rp 155.000 20%
Rp 24.800 /orang
Rp 124.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Penulisan buku ini mengangkat isu sentral upaya-upaya hukum (legal remedies) penyelesaian pelanggaran HAM (hak-hak asasi manusia atau human rights) di Indonesia dalam rangka memenuhi hak korban pelanggaran HAM atas reparasi (reparation). Isu tersebut, karena merupakan isu hukum (legal issue atau question of law), akan dibahas atau didiskusikan atas dasar hukum yang berlaku, yang telah menyediakan dan mengatur upaya-upaya hukum penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia dalam rangka memenuhi hak korban pelanggaran HAM atas reparasi. Pembahasan atas isu hukum tersebut dibayangi oleh fakta kurang menggembirakan di mana sudah beberapa rezim berganti, sejak Reformasi 1998, tetapi belum satu pun yang mampu membuat satu keputusan politik yang melegakan bagi korban pelanggaran HAM terkait dengan kepastian untuk pemberian reparasi sebagai bentuk pertanggungjawaban negara.

Buku ini hanya akan berbicara tentang hukum, yaitu hukum yang mengatur dan menyediakan upaya-upaya hukum yang dapat diakses oleh korban pelanggaran HAM untuk memperoleh haknya atas reparasi. Ratione loci, cakupan dari kerangka hukum yang akan didiskusikan adalah Hukum Nasional Indonesia (upaya hukum nasional) dan Hukum Internasional (upaya hukum internasional). Dalam pembahasan, buku ini tidak sekadar mendeskripsikan 'hukum yang ada' secara bebas nilai; tetapi juga, lebih banyak, mengkritisi dan kemudian mengusulkan 'hukum yang seharusnya'. Buku ini dilengkapi pula dengan bab EPILOG yang hendak menanggapi secara khusus isu pelanggaran HAM masa lalu yang dikatagorikan sebagai historical injustice. Konsep historical injustice adalah katagori pelanggaran HAM masa lalu yang sifatnya lebih spesifik. Oleh karena itu, isu pelanggaran HAM yang sudah memasuki fase sebagai historical injustice perlu ditanggapi secara lebih serius, termasuk alternatif atau pilihan untuk upaya hukumnya.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Titon Slamet Kurnia, Dr. S.H., M.H.

Penerbit: Citra Aditya
ISBN: 9789794911013
Terbit: September 2017 , 282 Halaman










Ikhtisar

Penulisan buku ini mengangkat isu sentral upaya-upaya hukum (legal remedies) penyelesaian pelanggaran HAM (hak-hak asasi manusia atau human rights) di Indonesia dalam rangka memenuhi hak korban pelanggaran HAM atas reparasi (reparation). Isu tersebut, karena merupakan isu hukum (legal issue atau question of law), akan dibahas atau didiskusikan atas dasar hukum yang berlaku, yang telah menyediakan dan mengatur upaya-upaya hukum penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia dalam rangka memenuhi hak korban pelanggaran HAM atas reparasi. Pembahasan atas isu hukum tersebut dibayangi oleh fakta kurang menggembirakan di mana sudah beberapa rezim berganti, sejak Reformasi 1998, tetapi belum satu pun yang mampu membuat satu keputusan politik yang melegakan bagi korban pelanggaran HAM terkait dengan kepastian untuk pemberian reparasi sebagai bentuk pertanggungjawaban negara.

Buku ini hanya akan berbicara tentang hukum, yaitu hukum yang mengatur dan menyediakan upaya-upaya hukum yang dapat diakses oleh korban pelanggaran HAM untuk memperoleh haknya atas reparasi. Ratione loci, cakupan dari kerangka hukum yang akan didiskusikan adalah Hukum Nasional Indonesia (upaya hukum nasional) dan Hukum Internasional (upaya hukum internasional). Dalam pembahasan, buku ini tidak sekadar mendeskripsikan 'hukum yang ada' secara bebas nilai; tetapi juga, lebih banyak, mengkritisi dan kemudian mengusulkan 'hukum yang seharusnya'. Buku ini dilengkapi pula dengan bab EPILOG yang hendak menanggapi secara khusus isu pelanggaran HAM masa lalu yang dikatagorikan sebagai historical injustice. Konsep historical injustice adalah katagori pelanggaran HAM masa lalu yang sifatnya lebih spesifik. Oleh karena itu, isu pelanggaran HAM yang sudah memasuki fase sebagai historical injustice perlu ditanggapi secara lebih serius, termasuk alternatif atau pilihan untuk upaya hukumnya.

Ulasan Editorial

Terhambatnya ide rekonsiliasi nasional itu mempersulit proses demokratisasi dalam era pasca-Soeharto. Sebab, kepedulian publik pada kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu dan rekonsiliasi antara para pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia masa lalu dalam banyak hal merupakan bagian yang diperlukan dalam proses demokratisasi. Hal ini untuk meyakinkan bahwa masa lalu tidak lagi merupakan beban, dalam arti tidak lagi menghantui masa kini. Selain itu, diharapkan tidak ada lagi kelompok sosial yang diperlakukan secara diskriminatif karena (tuduhan) kesalahan masa lalunya itu

PT Citra Aditya Bakti / Budiawan

Isu sentral penulisan buku ini adalah upaya-upaya hukum (legal remedies) penyelesaian pelanggaran HAM (hak-hak asasi manusia atau human rights) di Indonesia dalam rangka memenuhi hak korban pelanggaran HAM atas reparasi (reparation). Isu tersebut, karena merupakan isu hukum (legal issue atau question of law), akan dibahas atau didiskusikan atas dasar hukum yang berlaku, yang telah menyediakan, dan mengatur, upaya-upaya hukum penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia dalam rangka memenuhi hak korban pelanggaran HAM atas reparasi. Dan sebagai pra-pemahaman atau pengetahuan awal, pembahasan ini tidak hanya sekadar bersifat deskriptif, tetapi juga normatif.

Titik tolak pembahasan buku ini menggunakan sudut pandang pendekatan kepentingan korban dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Oleh karena itu, sebagai implikasinya, hak korban pelanggaran HAM atas reparasi harus lebih diprioritaskan. Karena penekanannya pada pemenuhan hak korban pelanggaran HAM atas reparasi maka, a fortiori, isu tentang aspek prosedural, yaitu upaya-upaya hukum, menjadi keniscayaan. Hal itu yang akan menjadi fokus utama dalam penulisan

PT Citra Aditya Bakti

Pendahuluan / Prolog

Bab I Pendahuluan
Penulisan buku ini mengangkat isu sentral upaya-upaya hukum (legal remedies) penyelesaian pelanggaran HAM (hak-hak asasi manusia atau human rights) di Indonesia dalam rangka memenuhi hak korban pelanggaran HAM atas reparasi (reparation). Isu tersebut, karena merupakan isu hukum (legal issue atau question of law), akan dibahas atau didiskusikan atas dasar hukum yang berlaku, yang telah menyediakan, dan mengatur, upaya-upaya hukum penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia dalam rangka memenuhi hak korban pelanggaran HAM atas reparasi. Pembahasan atas isu hukum tersebut dibayangi oleh fakta kurang menggembirakan di mana sudah beberapa rezim berganti, sejak Reformasi 1998, tetapi belum satupun yang mampu membuat satu keputusan politik yang melegakan bagi korban pelanggaran HAM terkait dengan kepastian untuk pemberian reparasi sebagai bentuk pertanggungjawaban negara.

Buku ini hanya akan berbicara tentang hukum, yaitu hukum yang mengatur dan menyediakan upaya-upaya hukum yang dapat diakses oleh korban pelanggaran HAM untuk memperoleh haknya atas reparasi. Ratione loci, cakupan dari kerangka hukum yang akan didiskusikan adalah Hukum Nasional Indonesia (upaya hukum nasional) dan Hukum Internasional (upaya hukum internasional). Dalam pembahasan, buku ini tidak sekadar mendeskripsikan 'hukum yang ada' secara bebas nilai; tetapi juga, lebih banyak, mengkritisi dan kemudian mengusulkan 'hukum yang seharusnya'. Buku ini dilengkapi pula dengan bab EPILOG yang hendak menanggapi secara khusus isu pelanggaran HAM masa lalu yang dikatagorikan sebagai historical injustice. Konsep historical injustice adalah katagori pelanggaran HAM masa lalu yang sifatnya lebih spesifik. Oleh karena itu, isu pelanggaran HAM yang sudah memasuki fase sebagai historical injustice perlu ditanggapi secara lebih serius, termasuk alternatif atau pilihan untuk upaya hukumnya.


Penulis

Titon Slamet Kurnia, Dr. S.H., M.H. - Lahir 29 November 1978. Memperoleh gelar Sarjana Hukum tahun 2001 dari Fakultas Hukum Univ. Kristen Satya Wacana (Salatiga). Mendapat gelar Magister Hukum tahun 2004 dari Program Pascasarjana Univ. Airlangga (Surabaya) dan gelar Doktor tahun 2014 dari Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Univ. Airlangga (Surabaya). Menjadi staf pengajar di Fakultas Hukum Univ. Kristen Satya Wacana sejak tahun 2005 (akhir) sampai sekarang. Mata kuliah yang diampu: Hukum Tata Negara, Hak Asasi Manusia dan Penemuan Hukum.

Daftar Isi

Tentang Penulis
Kata Pengantar
Daftar Peraturan
Daftar Putusan
Daftar Isi
Bab 1  Pendahuluan
     1.  Latar Belakang
     2.  Penjelasan Konsep
          2.1.  Pengertian reparasi terhadap korban
               2.1.1.  Pengertian reparasi
               2.1.2.  Pengertian korban
          2.2.  Pengertian pelanggaran HAM
     3.  Landasan Teoretis
          3.1.  HAM sebagai hukum
          3.2.  Reparasi dan upaya hukum atas pelanggaran HAM
     4.  Metode
     5.  Sistematika Penulisan
Bab 2  Upaya Hukum Nasional dalam Rangka Reparasi kepada Korban Pelanggaran HAM
     1.  Upaya Hukum Nasional Indonesia
          1.1.  Upaya hukum menurut UU HAM
               1.1.1.  Komnas HAM
               1.1.2.  Pengadilan HAM
          1.2.  Upaya hukum di luar UU HAM
               1.2.1.  Peradilan umum
               1.2.2.  Peradilan TUN
               1.2.3.  Praperadilan
               1.2.4.  Mahkamah Konstitusi
               1.2.5.  Mahkamah Agung
               1.2.6.  Ombudsman Republik Indonesia
          1.3.  Anotasi
     2.  Komparasi dengan Hukum Nasional Negara Lain
          2.1.  Jerman
          2.2.  Amerika Serikat
          2.3.  Chile
          2.4.  Argentina
          2.5.  Afrika Selatan
          2.6.  Australia
          2.7.  Anotasi
Bab 3  Upaya Hukum Internasional dalam Rangka Reparasi kepada Korban Pelanggaran HAM
     1.  Upaya Hukum Internasional
          1.1.  Tanggung jawab internasional negara atas pelanggaran HAM
          1.2.  Upaya hukum dalam Coventional International Law
               1.2.1.  Pengaduan oleh korban
               1.2.2.  Pengaduan dan gugatan antar-Negara Pihak
               1.2.3.  "Yurisprudensi" Treaty Monitoring Body
          1.3.  Upaya hukum dalam Customary International Law
               1.3.1.  Pengaduan/gugatan oleh korban
               1.3.2.  Gugatan antarnegara
     2.  Sanksi Internasional terhadap Negara Pelanggar HAM
     3.  Hubungan antara Upaya Hukum Nasional Indonesia dan Upaya Hukum Internasional
          3.1.  Harmonisasi hukum nasional Indonesia dengan kewajiban hukum internasional di bidang HAM
          3.2.  Penyeragaman penggunaan konsep hukum
          3.3  Sifat konsensual dan komplementer upaya hukum internasional
          3.4.  Peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan
          3.5.  Anotasi
Bab 4  Penutup
Epilog
     1.  Pengantar
     2.  Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Historical Injustice
     3.  Justifikasi Reparasi untuk Historical Injustice
     4.  Hak untuk Tahu
     5.  Memperkuat Institusi Pertanggungjawaban Komando dan Pertanggungjawaban Atasan
Daftar Bacaan
Blank Page

Kutipan

Bab I Pendahuluan h. 3
Selain sebagai implikasi dari tanggung jawab atau tanggung gugat negara, kewajiban reparasi oleh negara terhadap korban juga sangat signifikan karena kesulitan dalam melakukan proses hukum terhadap pelaku (perpetrator). Berdasarkan asas atau prinsip keadilan dan dalam rangka mencegah agar pelanggaran serupa tidak terulang, kesulitan demikian harus diimbangi dengan kewajiban negara untuk memberikan reparasi kepada korban meskipun tidak menutup kemungkinan adanya kewajiban serupa pada diri pelaku individual (terutama untuk pelanggaran HAM yang berupa pendiaman atau omisi) yang lazimnya dilakukan setelah adanya proses peradilan pidana (terbukti sangat sukar) yang memvonis pelakunya bersalah.

HAM adalah hak yang dilindungi oleh hukum nasional Indonesia dan hukum internasional. Oleh karena itu, diskusi mengenai isu upaya hukum penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia dalam rangka reparasi terhadap korban dilakukan dengan mengacu atau berdasarkan, baik pada kerangka hukum nasional maupun kerangka hukum internasional. Penggunaan kerangka hukum internasional ini secara spesifik didukung oleh pendapat hakim Max Huber dalam Spanish Zone of Morocco Claims (1924) yang menyatakan: “Responsibility is the necessary corollary of a right. All rights of an international character involve international responsibility. If the obligation in question is not met, responsibility entails the duty to make reparation.”

Bab I Pendahuluan h. 10
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power mendefinisikan korban (victims):
"Persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power (Sect. A, Art. 1); atau … through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights (Sect. B, Art. 18)."

Seseorang dianggap sebagai korban menurut pengertian deklarasi ini terlepas apakah pelaku “is identified, apprehended, prosecuted or convicted and regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim”.

Dengan begitu, konsep korban sangat luas pengertiannya, tidak hanya seseorang yang mengalami langsung akibat dari suatu kejahatan – pelanggaran HAM, melainkan juga keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi (Sect. A, Art. 2).

Dengan pengertian yang senada, Pasal 1 angka 3 PP No. 3 Tahun 2002 mendefinisikan korban:
"Orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya."


Bab II Upaya Hukum Nasional dalam Rangka Reparasi kepada Korban Pelanggaran HAM
Secara historis, kewajiban reparasi oleh negara terhadap korban pelanggaran HAM telah menjadi salah satu topik bahasan, kendati kurang komprehensif, dalam penyusunan undang-undang dasar baru menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) oleh Konstituante hasil Pemilu 1955. Kesadaran pada masa itu bahwa isu ini merupakan preskripsi konstitusi bukti pemikiran yang sangat maju. Yap Thiam Hien (Baperki) menyatakan bahwa ketentuan konstitusional bagi HAM akan tetap menjadi huruf mati apabila undang-undang dasar tidak memuat ketentuan untuk menjamin pelaksanaan hak-hak ini, mencegah pelanggaran hak-hak ini dan menertibkan pelanggaran serta memberikan ganti rugi karena pelanggaran jika perbaikan menyeluruh tidak dimungkinkan.

Hermanu Adi Kartodiredjo (PKI) mengemukakan bahwa undang-undang dasar baru harus memuat ketentuan: pasal-pasal yang mengatur soal HAM harus dilengkapi dengan peraturan mengenai asas-asas yang melandasi pelaksanaan hak-hak tersebut serta pasal-pasal mengenai HAM yang menetapkan bahwa pelaksanaannya harus diatur lebih lanjut oleh undang-undang organik serta harus menyebutkan pembatasan yang tidak boleh dilampaui oleh badan legislatif.  Sjafiudin (Penyaluran) berpendapat: “Dengan undang-undang diatur supaya warga negara dapat menuntut pelanggaran seorang pejabat atau penguasa terhadap hak-hak warga negara. Maksud dari rumusan-rumusan ini bukan penggantian kerugian sebagai yang kita dapati dalam rumusan yang sudah ada.”