Tampilkan di aplikasi

Buku Citra Aditya hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat

1 Pembaca
Rp 45.000 50%
Rp 22.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 67.500 13%
Rp 19.500 /orang
Rp 58.500

5 Pembaca
Rp 112.500 20%
Rp 18.000 /orang
Rp 90.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Salah satu ciri khas negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial power) yang merdeka. Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Karena itu, mengkaji kekuasaan kehakiman di Indonesia, pertama-tama harus didekati dari landasan konstitusional.

Pembagian Kompetensi (distributie van rechtsmacht) antara 4 (empat) lingkungan peradilan, menurut Philipus M. Hadjon berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah digariskan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Pertama, prinsip yang terkandung dalam Pasal 12: kekuasaan serta acara badan-badan peradilan diatur dengan undang-undang.

Kedua, bahwa peradilan khusus hanya menangani perkara tertentu yang ditetapkan dengan undang-undang. Beranjak dari prinsip-prinsip tersebut, lingkup kompetensi peradilan umum ditetapkan dengan menggunakan teori residu, yaitu bidang yang tidak diserahkan kepada peradilan khusus, dengan sendirinya termasuk lingkup kompetensi peradilan umum.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Z.A. Sangadji, S.H., M.H.
Editor: Retno Widiyani

Penerbit: Citra Aditya
ISBN: 9794148822
Terbit: Juni 2003 , 262 Halaman










Ikhtisar

Salah satu ciri khas negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial power) yang merdeka. Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Karena itu, mengkaji kekuasaan kehakiman di Indonesia, pertama-tama harus didekati dari landasan konstitusional.

Pembagian Kompetensi (distributie van rechtsmacht) antara 4 (empat) lingkungan peradilan, menurut Philipus M. Hadjon berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah digariskan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Pertama, prinsip yang terkandung dalam Pasal 12: kekuasaan serta acara badan-badan peradilan diatur dengan undang-undang.

Kedua, bahwa peradilan khusus hanya menangani perkara tertentu yang ditetapkan dengan undang-undang. Beranjak dari prinsip-prinsip tersebut, lingkup kompetensi peradilan umum ditetapkan dengan menggunakan teori residu, yaitu bidang yang tidak diserahkan kepada peradilan khusus, dengan sendirinya termasuk lingkup kompetensi peradilan umum.

Ulasan Editorial

Semua perselisihan mengenai hak milik, hutang-piutang atau warisan seperti tersebut di atas atau juga dinamakan perselisihan mengenai hak-hak perdata (artinya: hak-hak yang berdasarkan "hukum perdata" atau hukum sipil adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang Hakim atau Pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan Perdata

PT Citra Aditya Bakti / Subekti

Pendahuluan / Prolog

Bab I Pendahuluan hh.1-2
BAB I PENDAHULUAN A. KEWENANGAN MENGADILI (KOMPETENSI)

Salah satu ciri khas negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial power) yang merdeka. Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)1.

Karena itu, mengkaji kekuasaan kehakiman di Indonesia, pertama-tama harus didekati dari landasan konstitusional. Pendekatan konstitusional tersebut bertumpu pada ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang- Undang Dasar 1945.

Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang; Pasal 24 ayat (2): Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang; Pasal 25: Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

Dari muatan kedua pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dapat disimak 2 (dua) hal penting. Pertama, mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menentukan berapa jumlah badan kehakiman (peradilan) di Indonesia, kecuali mengenai Mahkamah Agung: hanya ada sebuah Mahkamah Agung. Kedua, mengenai susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan, syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim, semuanya diatur dan ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan melalui perangkat hukum demikian menunjukkan peranan undang-undang sebagai instrumen negara hukum.2

Dewasa ini, undang-undang organik yang mengatur ketentuan pokok kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sejumlah pasal diamandemen melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mengatur dan menjabarkan lebih lanjut asas-asas kekuasaan kehakiman yang telah digariskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: 1. peradilan umum; 2. peradilan agama; 3. peradilan militer; 4. peradilan tata usaha negara.

Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1 (satu) lingkungan peradilan umum dan 3 (tiga) lingkungan peradilan khusus (agama, militer dan tata usaha negara) tersebut masing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan banding. Badan-badan peradilan tersebut berpuncak pada sebuah Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi [Pasal 10 ayat (2)]. Pembagian tersebut tidak menutup kemungkinan dilakukan diferensiasi atau spesialisasi dalam masingmasing lingkungan peradilan.3

1) Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945.

2) Philipus M. Hadjon, Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah diolah kembali dari makalah: "Perlindungan Hukum Dalam Negara Hukum Pancasila" disampaikan pada Simposium tentang Politik Hak Asasi dan Pembangunan dalam rangka Dies Natalis XL/Lustrum VIII Universitas Airlangga, Surabaya 3 November 1994, hal. 5.

3) Misalnya: Spesialisasi Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga dan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri dalam lingkungan peradilan umum.

Penulis

Z.A. Sangadji, S.H., M.H. - Zainal Abidin Sangadji, lahir di Larantuka (Flores Timur), 13 Desember 1957.

Lulus SDN (1969) di Lamahala (Flores Timur). Luulus SMP Islam di Surabaya (1972), SMA Katholik Giovani (1976) di Kupang (NTT). Memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya (1982) dan Magister Hukum (M.H.) di Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (1999).

Bertugas sebagai Hakim di sejumlah pengadilan negeri, antara lain di Pengadilan Negeri Barru, Pengadilan Negeri Tuban, Pengadilan Negeri Kabupaten Probolinggo (Wakil Ketua) dan sejak tahun 2001 sebagai Ketua Pengadilan Negeri Magetan. Aktif menulis puluhan artikel hukum yang dimuat di Harian Jawa Post, Surya, Surabaya Post, Surabaya News, Pedoman Rakyat dan lain-lain.

* * * * * *

Daftar Isi

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I   Pendahuluan
     A.   Kewenangan Mengadili (Kompetensi)
     B.   Macam Kompetensi
     C.   Kompetensi Sengketa Tata Usaha Negara dan Sengketa Perdata
          1.   Kompetensi Sengketa Tata Usaha Negara
          2.   Kompetensi Sengketa Perdata
Bab II   Kompetensi Badan Peradilan Umum dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah
     A.   Tertib Acara dan Dasar Pemeriksaan Gugatan Perdata
          1.   Tertib Acara Pemeriksaan Gugatan Perdata
          2.   Dasar Pemeriksaan Gugatan Perdata
     B.   Sertifikat Tanah sebagai Objek Gugatan Perdata
          1.   Sertifikat Tanah sebagai Tanda Bukti Hak Keperdataan
          2.   Aspek Tata Usaha Negara dalam Gugatan Perdata Pembatalan Sertifikat Tanah
     C.   Putusan Perdata Mengenai Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah
          1.   Putusan Kasus Sertifikat Hak Milik Nomor 10737/1989
          2.   Putusan Kasus Sertifikat HGB Nomor 19/Srengganan
Bab III   Kompetensi Badan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah
     A.   Tertib Acara dan Dasar Pemeriksaan Gugatan Tata Usaha Negara
          1.   Tertib Acara Pemeriksaan Gugatan Tata Usaha Negara
          2.   Dasar Pemeriksaan Gugatan Tata Usaha Negara
     B.   Sertifikat Tanah sebagai Objek Gugatan Tata Usaha Negara
          1.   Sertifikat Tanah sebagai Keputusan Tata Usaha Negara
          2.   Aspek Perdata dalam Gugatan Tata Usaha Negara Pembatalan Sertifikat Tanah
     C.   Putusan Tata Usaha Negara Mengenai Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah
          1.   Putusan Kasus Sertifikat Hak Pakai Nomor 31/K.Kebonsari
          2.   Putusan Kasus Sertifikat HGB Nomor 788/K. Dr. Soetomo
Bab IV   Kajian Khusus Kaidah Hukum Putusan
     A.   Tentang Kewenangan Mengadili
          1.   Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 88 K/TUN/1993 Tanggal 7-9-1994
          2.   Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 144 K/TUN/1998 Tanggal 29-9-199
          3.   Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2995 K/Pdt/1993 Tanggal 16-10-19974
          4.   Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 620 K/Pdt/1999 Tanggal 29-12-1999
          5.   Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 14 K/TUN/1993 Tanggal 12-7-1994
          6.   Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 47 K/TUN/1997 Tanggal 26-1-1998
     B.   Tentang Pembatalan Sertifikat Tanah
          1.   Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1080 K/Sip/1973 Tanggal 20-10-1976
          2.   Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 701 K/Pdt/1997 Tanggal 24-3-1999
          3.   Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1816 K/Pdt/1989 Tanggal 22-10-1992
          4.   Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 84 K/TUN/1999 Tanggal 14-12-2000
Daftar Pustaka
Lampiran I   Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1991
Lampiran II   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986
Lampiran III   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986

Kutipan

Bab I Pendahuluan h. 1
BAB I  PENDAHULUAN A. KEWENANGAN MENGADILI (KOMPETENSI)

Salah satu ciri khas negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial power) yang merdeka. Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)1.

Karena itu, mengkaji kekuasaan kehakiman di Indonesia, pertama-tama harus didekati dari landasan konstitusional. Pendekatan konstitusional tersebut bertumpu pada ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang- Undang Dasar 1945.

Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang; Pasal 24 ayat (2): Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang; Pasal 25: Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

Dari muatan kedua pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dapat disimak 2 (dua) hal penting. Pertama, mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menentukan berapa jumlah badan kehakiman (peradilan) di Indonesia, kecuali mengenai Mahkamah Agung: hanya ada sebuah Mahkamah Agung. Kedua, mengenai susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan, syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim, semuanya diatur dan ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan melalui perangkat hukum demikian menunjukkan peranan undang-undang sebagai instrumen negara hukum.2

Dewasa ini, undang-undang organik yang mengatur ketentuan pokok kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sejumlah pasal diamandemen melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mengatur dan menjabarkan lebih lanjut asas-asas kekuasaan kehakiman yang telah digariskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: 1. peradilan umum; 2. peradilan agama; 3. peradilan militer; 4. peradilan tata usaha negara.

Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1 (satu) lingkungan peradilan umum dan 3 (tiga) lingkungan peradilan khusus (agama, militer dan tata usaha negara) tersebut masing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan banding. Badan-badan peradilan tersebut berpuncak pada sebuah Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi [Pasal 10 ayat (2)]. Pembagian tersebut tidak menutup kemungkinan dilakukan diferensiasi atau spesialisasi dalam masingmasing lingkungan peradilan.3



1) Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945.

2) Philipus M. Hadjon, Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah diolah kembali dari makalah: "Perlindungan Hukum Dalam Negara Hukum Pancasila" disampaikan pada Simposium tentang Politik Hak Asasi dan Pembangunan dalam rangka Dies Natalis XL/Lustrum VIII Universitas Airlangga, Surabaya 3 November 1994, hal. 5.

3) Misalnya: Spesialisasi Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga dan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri dalam lingkungan peradilan umum.




Bab II Kompetensi Badan Peradian Umum dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah hh. 25-26
BAB II KOMPETENSI BADAN PERADILAN UMUM DALAM GUGATAN PEMBATALAN SERTIFIKAT TANAH
A. TERTIB ACARA DAN DASAR PEMERIKSAAN GUGATAN PERDATA
1. Tertib Acara Pemeriksaan Gugatan Perdata

Dewasa ini acuan utama tertib acara pemeriksaan gugatan perdata dalam peradilan tingkat pertama (pengadilan negeri) dalam lingkungan peradilan umum adalah HIR untuk daerah Jawa Madura dan RBg untuk kepulauan lain di Indonesia. Kedua ketentuan hukum acara perdata produk sebelum kemerdekaan yang berlaku berdasarkan Undang-Undang Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tersebut, pada prinsipnya sama. Kecuali, penempatan angka pasal dan perbedaan Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg. Muatan Pasal 142 HIR 1 (satu) ayat lebih banyak dengan pengaturan prioritas untuk gugatan dengan objek sengketa benda tidak bergerak - gugatan diajukan melalui pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat benda bergerak berada. RBg juga mengatur tertib acara banding untuk daerah luar Jawa dan Madura.

Selain HIR dan RBg, beberapa ketentuan hukum acara perdata lain produk sebelum kemerdekaan, seperti Reglement op de burgerlijk rechtsvordering (RV), untuk kebutuhan praktek masih diberlakukan. Menurut Subekti:1

"dengan tidak menghiraukan larangan dalam Pasal 393 HIR untuk memakai bentuk-bentuk acara lain, selainnya yang telah diberikan oleh HIR itu sendiri, yurisprudensi dan praktek pengadilan sudah mengintrodusir berbagai bentuk acara yang tidak dikenal oleh HIR ....";

1) Subekti, R., Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal. 12.


Bab III Kompetensi Badan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah hh. 59-60
BAB III KOMPETENSI BADAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM GUGATAN PEMBATALAN SERTIFIKAT TANAH
A. TERTIB ACARA DAN DASAR PEMERIKSAAN GUGATAN TATA USAHA NEGARA
1. Tertib Acara Pemeriksaan Gugatan Tata Usaha Negara

Ketentuan hukum acara yang diatur dalam Bab IV Pasal 53 sampai dengan Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menjadi dasar acuan tertib acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Tertib acara peradilan Tata Usaha Negara juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991, berbagai Yurisprudensi Tetap, SEMA dan PERMA.

Tertib acara pemeriksaan gugatan Tata Usaha Negara pada prinsipnya sama dengan tertib acara pemeriksaan gugatan perdata. Kecuali, sejumlah karakteristik pembeda, antara lain:

a. Tenggang waktu menggugat
Hak menggugat seseorang atau badan hukum perdata terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), selain harus menurut tertib acara yang telah ditentukan [Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5] Tahun 1986, juga dibatasi elemen waktu. Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterima atau diumumkan Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).

Bab IV Kajian Khusus Kaidah Hukum Putusan h. 95
BAB IV KAJIAN KHUSUS KAIDAH HUKUM PUTUSAN A. TENTANG KEWENANGAN MENGADILI 1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 88 K/TUN/1993 Tanggal 7-9-1994 1

"Meskipun sengketa itu terjadi akibat dari adanya Surat Keputusan Pejabat, tetapi jika dalam perkara tersebut menyangkut pembuktian hak kepemilikan atas tanah, maka gugatan atas sengketa tersebut harus diajukan terlebih dahulu ke Peradilan Umum karena merupakan sengketa perdata".

Catatan: Pengujian keabsahan Surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara dari segi kewenangan dan atau prosedural adalah wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi jika dalam sengketa Tata Usaha Negara terdapat sengketa perdata pembuktian hak kepemilikan atas tanah, maka sengketa perdata tersebut harus diselesaikan lebih dahulu dalam Peradilan Umum".

1) Himpunan Putusan Mahkamah Agung tentang Kewenangan Mengadili, Hasil Kerja Sama Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan The Asia Foundation, 1995, hal. 126.



2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 144 K/TUN/1998 Tanggal 29-9-1999 2

"Karena pembongkaran dilakukan tanpa surat perintah/surat pemberitahuan terlebih dahulu, maka pembongkaran tersebut merupakan perbuatan faktual dan bukan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan menyelesaikannya, tetapi harus digugat berdasarkan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) di Pengadilan Umum".

Catatan: Tidak semua perbuatan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara.

2) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2000, hal. 495.



Perbuatan faktual (feitelijke handeling) tanpa surat perintah/surat pemberitahuan bukan merupakan objek sengketa Tata Usaha Negara dan bukan wewenang Badan Peradilan Tata Usaha Negara, melainkan wewenang Badan Peradilan Umum. Sebaliknya, meskipun hanya surat atau memo atau nota yang dikeluarkan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara, dapat merupakan objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara, asalkan tertulis – konkret – individual dan final serta mempunyai akibat hukum (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 219 K/TUN/2001 tanggal 28 Februari 2002).

3 Surat atau memo atau nota yang dimaksud - yang penting isinya, bukan bentuknya (Penjelasan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).