Tampilkan di aplikasi

Buku Citra Aditya hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

1 Pembaca
Rp 95.000 50%
Rp 47.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 142.500 13%
Rp 41.167 /orang
Rp 123.500

5 Pembaca
Rp 237.500 20%
Rp 38.000 /orang
Rp 190.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital.

myedisi library

Sejak tahun 1955 sesudah berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi 1955 (Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955; UUTPE 1955), hingga saat ini tidak satu pun korporasi dijatuhi pidana. Sementara itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen 1999 (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999; UUPK 1999) juga membebani pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas tindak pidana (laku pidana) perlindungan konsumen. Akan tetapi, hal yang sama masih juga terjadi dalam masa rezim perlindungan konsumen. Sebanyak 36 kasus tindak pidana perlindungan konsumen telah dikaji dengan menggunakan desain penelitian (hukum) normatif. Tidak ada korporasi yang dijatuhi pidana. Isu kontroversial tersebut tidak membuat penulis kecewa. Argumentasi-argumentasi pengadilan terkait ke-36 kasus tersebut dicermati dengan teliti. Hasilnya bahwa sejumlah argumentasi memberi ruang yang lebih luas bagi pertanggungjawaban pidana korporasi. Sehubungan dengan hal ini, pengadilan masih tetap berperan memberikan argumentasi hukum tentang teori pelaku fungsional dalam tindak pidana. Penjelasan teoretis ini berpijak pada pandangan bahwa mens rea (schuld) pelaku fisik dapat diatribusikan kepada pelaku fungsional.

Pada tahap-tahap selanjutnya mens rea (schuld) tersebut diatribusikan kepada korporasi dengan menggunakan doktrin agregasi. Dengan pendekatan teoretis ini, korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal ini tidak berarti bahwa penjatuhan sanksi seyogianya selalu dilakukan pengadilan. Ketika pengadilan menerapkan undang-undang dalam suatu kasus, pengadilan mengonkretkan norma-norma umum menjadi norma individual. Teknik hukum pidana menentukan bahwa suatu perilaku pidana (tindak pidana; laku pidana) diancamkan penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya. Menurut pandangan hukum yang sanksionis, jika pelaku melanggar suatu larangan atau keharusan yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan pidana, seyogianya unsur-unsur sistem peradilan pidana dengan kekuasaan paksaan yang dimilikinya, melakukan penilaian terpenuhi tidaknya unsur-unsur suatu tindak pidana perlindungan konsumen. Penjatuhan sanksi, apakah perdata, administratif, ataupun pidana, dilakukan oleh pengadilan secara konsisten. Preskripsi berupa sanksi memang tidak selalu dijatuhkan, bergantung pada kondisi-kondisi tertentu, dalam hal suatu perangkat paksaan semestinya diterapkan. Pengadilan seyogianya menjatuhkan sanksi kepada korporasi jika suatu tindak pidana (laku pidana) menguntungkan korporasi.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Yusuf Shofie, Dr. S.H., M.H.
Editor: Retno Widiyani / Rusmanto

Penerbit: Citra Aditya
ISBN: 9789794149959
Terbit: Oktober 2011 , 751 Halaman










Ikhtisar

Sejak tahun 1955 sesudah berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi 1955 (Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955; UUTPE 1955), hingga saat ini tidak satu pun korporasi dijatuhi pidana. Sementara itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen 1999 (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999; UUPK 1999) juga membebani pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas tindak pidana (laku pidana) perlindungan konsumen. Akan tetapi, hal yang sama masih juga terjadi dalam masa rezim perlindungan konsumen. Sebanyak 36 kasus tindak pidana perlindungan konsumen telah dikaji dengan menggunakan desain penelitian (hukum) normatif. Tidak ada korporasi yang dijatuhi pidana. Isu kontroversial tersebut tidak membuat penulis kecewa. Argumentasi-argumentasi pengadilan terkait ke-36 kasus tersebut dicermati dengan teliti. Hasilnya bahwa sejumlah argumentasi memberi ruang yang lebih luas bagi pertanggungjawaban pidana korporasi. Sehubungan dengan hal ini, pengadilan masih tetap berperan memberikan argumentasi hukum tentang teori pelaku fungsional dalam tindak pidana. Penjelasan teoretis ini berpijak pada pandangan bahwa mens rea (schuld) pelaku fisik dapat diatribusikan kepada pelaku fungsional.

Pada tahap-tahap selanjutnya mens rea (schuld) tersebut diatribusikan kepada korporasi dengan menggunakan doktrin agregasi. Dengan pendekatan teoretis ini, korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal ini tidak berarti bahwa penjatuhan sanksi seyogianya selalu dilakukan pengadilan. Ketika pengadilan menerapkan undang-undang dalam suatu kasus, pengadilan mengonkretkan norma-norma umum menjadi norma individual. Teknik hukum pidana menentukan bahwa suatu perilaku pidana (tindak pidana; laku pidana) diancamkan penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya. Menurut pandangan hukum yang sanksionis, jika pelaku melanggar suatu larangan atau keharusan yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan pidana, seyogianya unsur-unsur sistem peradilan pidana dengan kekuasaan paksaan yang dimilikinya, melakukan penilaian terpenuhi tidaknya unsur-unsur suatu tindak pidana perlindungan konsumen. Penjatuhan sanksi, apakah perdata, administratif, ataupun pidana, dilakukan oleh pengadilan secara konsisten. Preskripsi berupa sanksi memang tidak selalu dijatuhkan, bergantung pada kondisi-kondisi tertentu, dalam hal suatu perangkat paksaan semestinya diterapkan. Pengadilan seyogianya menjatuhkan sanksi kepada korporasi jika suatu tindak pidana (laku pidana) menguntungkan korporasi.

Ulasan Editorial

“Saya sependapat dengan Dr. Yusuf Shofie bahwa sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia belum sempurna. Karena itu, harus segera dibenahi. Pembenahan tersebut terutama menyangkut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia. KUHAP tersebut tidak memuat ketentuan yang mengatur mengenai acara untuk dapat mengajukan dan memeriksa suatu korporasi sebagai pelaku tindak pidana. KUHAP hanya mengatur ketentuan acara dalam hal manusia sebagai pelaku tindak pidana. Untuk terobosan sebelum KUHAP di-amandemen, saya mengimbau Mahkamah Agung agar segera mengeluarkan fatwa yang dapat dijadikan pedoman bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk dapat mengajukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Apabila sebelumnya Mahkamah Agung pernah mengeluarkan fatwa tentang tata cara melakukan gugatan class actions yang tidak diatur dalam Hukum Acara Perdata atau HIR, seyogianya Mahkamah Agung mengeluarkan pula fatwa mengenai tata cara pemidanaan terhadap korporasi. Saya sangat gembira bahwa disertasi Dr. Yusuf Shofie akhir-nya diterbitkan dalam bentuk buku ini. Dengan demikian, pemikiran dan pendapat Dr. Yusuf Shofie dapat diketahui secara luas oleh masyarakat dan khususnya dapat menjadi bahan perenungan bagi para penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk mengubah paradigma mereka masing-masing yang masih terbelenggu oleh paradigma bahwa hanya manusia yang dapat diajukan sebagai pelaku tindak pidana.

* * * * * *

PT Citra Aditya Bakti / Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Guru Besar Hukum Perbankan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Pengajar Hukum Pidana tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Tindak Pidana Ekonomi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indones

Pendahuluan / Prolog

Sambutan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S/H.
KATA PENGANTAR GURU BESAR HUKUM PERBANKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA (PROF. DR. SUTAN REMY SJAHDEINI, S.H.)

Buku yang ada di tangan pembaca ini semula merupakan disertasi dari Dr. Yusuf Shofie. Disertasi tersebut telah diselesaikan di bawah bimbingan saya selaku Promotor, dan Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dan Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H., masing-masing selaku Ko-Promotor.

Disertasi Dr. Yusuf Shofie membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yang berkaitan dengan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Istilah pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan padanan atau terjemahan dari istilah dalam bahasa Inggris, yaitu corporate criminal liability. Dalam ranah hukum pidana yang berkaitan dengan bidang pertanggungjawaban pidana, pada mulanya hanya manusia yang dikenal sebagai subjek tindak pidana. Artinya, hanya manusia yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dan karena itu dapat dijatuhi pidana.

Dalam perkembangan hukum pidana, telah timbul pemikiran di kalangan ahli hukum bahwa seyogianya bukan hanya manusia yang dapat dijatuhi sanksi pidana, melainkan juga korporasi. Secara sempit yang dimaksudkan dengan korporasi adalah badan hukum. Dalam pengertiannya yang luas, korporasi bukan terbatas pada badan hukum saja, melainkan juga termasuk kelompok orang yang terorganisasi.

KUHP kita (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie) diberlakukan di Indonesia untuk pertama kali pada 1 Januari 1918. KUHP Indonesia merupakan turunan dari KUHP negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan yang diberlakukan di negeri Belanda pada tahun 1886. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila KUHP kita belum mengadopsi konsep-konsep baru yang berkembang setelah KUHP diberlakukan pada abad ke-19 itu.

Pendirian bahwa korporasi dapat pula menjadi subjek hukum pidana akhirnya dianut di Indonesia. Untuk pertama kalinya pendirian korporasi sebagai subjek tindak pidana dimunculkan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Kemudian, disusul oleh berbagai undang-undang pidana lain. Misalnya, dimunculkan dalam Undang-Undang Perpajakan Tahun 1983, Undang-Undang Pasar Modal Tahun 1995, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan berbagai undang-undang lainnya. Namun, belum semua undang-undang memasukkan konsep ini sekalipun apabila taat asas, tindak-tindak pidana yang diatur dalam undang- undang tersebut dapat pula didakwakan kepada korporasi. Misalnya Undang-Undang Perbankan, seyogianya mengadopsi pula konsep ini. Sangat mengherankan bahwa pembentuk Undang-Undang Perbankan belum mengadopsi konsep ini. Sementara itu, banyak bank yang telah melakukan tindak pidana perbankan, tetapi tidak dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Perbankan tersebut. Menurut undang-undang tersebut, hanya pengurus dan pemegang saham bank yang dapat dipidana.

Sekalipun konsep pertanggungjawaban pidana korporasi telah diadopsi oleh berbagai undang-undang pidana Indonesia di luar KUHP, kasus pemidanaan terhadap korporasi oleh pengadilan Indonesia belum pernah ada. Hanya ada satu kasus, yaitu kasus PT Newmont, yang pernah diajukan sebagai terdakwa oleh penuntut umum. PT Newmont didakwa oleh jaksa penuntut umum karena telah melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup. Namun, hakim telah memutuskan untuk membebaskan PT Newmont karena tuntutan jaksa dianggap tidak terbukti.

Kata Pengantar Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A.
KATA PENGANTAR GURU BESAR HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA (PROF. H. MARDJONO REKSODIPUTRO, S.H., M.A.)

Kita semua adalah konsumen. Kita semua ingin perlindungan hukum terhadap tindakan yang merugikan kita dalam transaksi komersial yang kita lakukan, baik transaksi barang maupun jasa. Dalam era reformasi hukum di Indonesia ini, perhatian masyarakat terhadap berbagai pengalaman kasus pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen sering masih menimbulkan pertanyaan seberapa jauh tanggung jawab pidana korporasi pelaku pelanggaran dalam kasus-kasus tersebut.

Buku ini yang berasal dari disertasi yang dipertahankan penulis di Universitas Indonesia, mencoba mengupas permasalahan dalam pertanyaan di atas secara sangat mendalam. Kedalaman dan keluasan argumentasiargumentasi yang diajukan beserta rujukan bahan pustaka dan kasus di pengadilan yang dipaparkan dalam buku ini, menjadikannya perlu dibaca oleh para pemerhati perlindungan konsumen di Indonesia.

Penulis menguraikan argumentasinya terutama untuk mereka yang tertarik pada permasalahan perlindungan konsumen, sebagai masalah hukum. Diharapkan bahwa informasi dalam buku ini dapat membantu pemahaman tentang kendala-kendala yang ada dalam praktik penegakan hukum perlindungan konsumen. Tambahan lagi, para penyusun peraturan perundang-undangan serta para pengajar dan pelatih di bidang perlindungan konsumen dapat dibantu memperoleh rujukan-rujukan tambahan ke bahan pustaka dengan pendekatan teoretik.

Kata Pengantar Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H.
KATA PENGANTAR DR. INOSENTIUS SAMSUL, S.H., M.H.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyentuh harkat dan martabat konsumen (Pasal 3 huruf a). Dengan demikian, undang-undang ini memiliki visi yang jelas, yaitu memanusiakan manusia Indonesia. Harkat dan martabat dan memanusiakan manusia Indonesia adalah sisi kualitas hidup manusia Indonesia. Bahkan, UUPK menyentuh pula perlindungan terhadap makhluk hidup lain selain manusia karena rumusan konsumen dalam UUPK memuat kata-kata:
".... yang pemakai barang dan/atau jasa ...., baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, ...."

Tidak mudah untuk menggugah kesadaran akan pentingnya hukum perlindungan konsumen di suatu negara. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, tingkat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Artinya, ketika suatu negara dihadapkan pada kesulitan atau krisis ekonomi, maka hukum pelindungan konsumen tidak menjadi isu atau kebijakan yang populer bagi pemerintah, karena pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana secara kuantitas kebutuhan dasar konsumen dapat terpenuhi. Sebaliknya, semakin baik atau tinggi tingkat perekonomian suatu negara, maka hukum perlindungan konsumen semakin dirasakan penting. Kedua, tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat. Dalam perspektif ini, semakin baik tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat, maka hukum perlindungan konsumen dirasakan semakin penting karena pendidikan menyadarkan konsumen tentang hak-haknya, sedangkan pendapatan berpengaruh terhadap kesadaran akan kesesuaian antara kemampuan konsumen untuk membeli dan menggunakan barang dan jasa dengan kualitas barang dan pelayanan yang diberikan oleh pelaku usaha terhadap konsumen. Ketiga, meningkatnya perlawanan terhadap status quo. Esensi dari faktor ketiga ini adalah penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang demokratis. Masyarakat yang semakin transparan dan menuntut akuntabilitas semua stake holder pembangunan, termasuk pembangunan ekononomi. Praktik monopoli disingkirkan sehingga pemain di pasar atau pelaku usaha yang menghasilkan suatu jenis produk barang/atau jasa tertentu semakin banyak. Dengan demikian, konsumen mendapatkan beberapa pilihan produk dengan harga dan kualitas yang bersaing. Keempat, terpilihnya beberapa aktivis atau akademisi yang memahami perlindungan konsumen di lembaga perwakilan rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sejarah pembentukan UUPK adalah contoh dari argumentasi yang keempat ini, sebab Ketua Panitia Khusus Pembahasan RUU Perlindungan Konsumen, Ibu Nikentari Moesdiono (Fraksi Golkar), adalah anggota dewan yang memiliki pengalaman melakukan advokasi di bidang perlindungan konsumen. Penyebutan nama ini tidak bermaksud mengecilkan peran dari anggota dewan lainnya yang berjuang untuk menghasilkan UUPK sebagai RUU Usul Inisiatif DPR RI periode 1997—1999. Dalam perkembangan selanjutnya untuk masa-masa yang akan datang argumentasi keempat ini penting karena perbaikan standar hukum perlindungan konsumen tidak saja difokuskan pada penyempurnaan UUPK, tetapi juga penguatan norma-norma perlindungan konsumen pada undang-undang sektoral yang saya katakan dengan sistem consumer protection mainstreaming legislation. Artinya, undang-undang yang memiliki aspek perlindungan konsumen perlu diperkuat dengan visi dan misi perlindungan konsumen, sesuai dengan pemikiran dasar, bahwa UUPK bukan merupakan satu-satunya undang-undang yang mengandung norma perlindungan konsumen. Harapan kita argumentasi keempat ini dapat diperkuat dengan keberadaan lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang lahir berdasarkan UUPK, seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Kata Pengantar Ketua BPKN-RI 2009-2012 Suarhatini Hadad
KATA PENGANTAR KETUA BPKN-RI 2009—2012 (SUARHATINI HADAD)

Terus terang, saya agak gagap dan ragu sewaktu Dr. Yusuf Shofie meminta saya menulis kata pengantar untuk disertasi Doktor Ilmu Hukum yang sudah diselesaikannya dengan sangat baik. Tentu saja saya merasa sangat tersanjung, dengan permintaan itu, hanya saja (saya pikir) apakah saya cukup pantas untuk menuliskan kata pengantar bagi seorang Doktor Ilmu Hukum. Maka, masih dalam keraguan itu saya menulis.

Adalah suatu sumbangan yang luar biasa bagi kepentingan perlindungan konsumen di Indonesia dengan terbitnya buku ini yang berasal dari disertasi yang berjudul Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perlindungan Konsumen di Indonesia: Analisis Tentang Perkara-Perkara Tindak Pidana Perlindungan Konsumen. Walaupun sudah 65 tahun merdeka, perlindungan konsumen di Indonesia hampir tidak pernah mendapat perhatian, baik dari pemerintah, pelaku usaha, maupun konsumen sendiri. Setelah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disahkan, barulah ada sedikit perhatian dari pemerintah tentang pentingnya pengupayaan perlindungan konsumen. Pada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah dibentuk direktorat baru yang dinamakan Direktorat Perlindungan Konsumen yang dipimpin oleh seorang direktur.

Dibanding dengan negara-negara maju, isu perlindungann konsumen di Indonesia baru dikenal sekitar tahun 1970-an. Tahun 1973 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berdiri dengan SK Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Bapak Ali Sadikin. YLKI berupaya mensosialisasikan isu-isu perlindungan konsumen dengan menyadarkan masyarakat tentang hak-hak konsumen. Demikian juga dengan pelaku usaha, yang diberi penyadaran bahwa penting bagi mereka untuk memerhatikan hak-hak konsumen dalam menjalankan usahanya, baik dalam memproduksi, mendistribusi, maupun menjual produk, termasuk di sini pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa. Walaupun masih belum begitu banyak, dibandingkan dengan penduduk (konsumen) Indonesia yang 230 juta orang, tetapi terlihat masyarakat mulai menyadari tentang perlindungan konsumen dan menyampaikan keluhannya ke YLKI. Sayangnya, selama ini, setelah lebih dari sepuluh tahun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di sahkan, tanggung jawab pelaku usaha masih terbatas hanya pada pemberian ganti rugi terhadap konsumen dan sanksi hukum pada individu atau pengurus pelaku usaha. Belum ada sanksi hukum pada korporasinya sendiri walaupun jika diteliti lebih mendalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen, juga menyatakan bahwa korporasi ikut bertanggung jawab terhadap kerugian konsumen. Karena itu, disertasi Dr. Yusuf Shofie, yang memfokuskan perhatiannya pada pertanggung jawaban pidana korporasi dari sisi pengaturan dan praktiknya dalam hukum perlindungan konsumen, menjadi sangat penting artinya terhadap perubahan sanksi hukum bagi pelaku usaha di Indonesia.

Perlindungan konsumen selalu berjalan tersendat-sendat karena amatlah susah bagi konsumen menghadapi korporasi yang besar dan kuat, baik dari sisi dana maupun kekuasaan. Praktisi-praktisi hukum kita belum banyak yang benar-benar memahami tentang hukum perlindungan konsumen.

Kebanyakan dari mereka bekerja untuk kepentingan korporasi pelaku usaha, yang tentu saja akan membela kepentingan korporasi tersebut, dengan menggunakan kelemahan praktik-praktik hukum di Indonesia.


Penulis

Yusuf Shofie, Dr. S.H., M.H. - Nama : Dr. Yusuf Shofie, S.H., M.H.

Nama panggilan : Shofie, Yusuf, atau Yus

Tempat tanggal lahir : Yogyakarta, 13 Mei 1968

Pekerjaan : Dosen Non Pegawai Negeri Sipil/Sipil/Advokat

Jabatan akademik : Lektor (2001—sekarang) sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI tanggal 3 Mei 2001 Nomor 2616/003/1.1/KP/2001 dengan angka kredit 232,375.

Status : Menikah

Telepon : (HP) 08129947879, (K) 021-4269288, (K) 021-4206674-76

Email : shofienie@yahoo.com dan shofierie@yahoo.co.id

Kantor : Fakultas Hukum Universitas YARSI Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510

Daftar Isi

Sambutan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H.
Kata Pengantar Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A.
Kata Pengantar Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H.
Kata Pengantar Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) Suarhatini Hadad
Kata Pengantar dan Ucapan Terima Kasih
Daftar Bagan
Daftar Tabel
Daftar Isi
Bab I   Pendahuluan
     A.  Latar Belakang Masalah
     B.   Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
          1.  Perumusan Masalah (Statement of the Problem)
          2.  Pertanyaan Penelitian (Research Question)
     C.   Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
          1.  Tujuan Penelitian
          2.  Manfaat Penelitian
     D.   Asumsi Penelitian
     E.   Kerangka Teoretik
     F.   Kerangka Konseptual
          1.  Korporasi
          2.  Tindak Pidana dan Tindak Pidana Korporasi
          3.  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
          4.  Hukum Perlindungan Konsumen
          5. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
     G.   Metodologi Penelitian
          1.  Metode Penelitian
          2.  Tipe/Jenis Data dan Alat Pengumpulan Data
          3.  Penyajian Data dan Analisis Data
     H.   Sistematika Penulisan
Bab II   Landasan Filosofis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia
     A.   Pengantar
     B.   Sinergi Asas-Asas Hukum Pidana dan Hukum Perlindungan Konsumen
          1.  Asas Legalitas dalam Reformasi Hukum Pidana pada
          2.  Legitimasi Perdebatan "Asas Societas Delinquere
          3.  Kriminalisasi Tindak Pidana Perlindungan Konsumen
     C.   Menegakkan Sanksi Pidana dalam Hukum Perlindungan Konsumen: Perdebatan Ultimum Remedium Versus Premium Remedium
     D.   Tindak Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen
          1.  Pergeseran Peran Korporasi dalam Aktivitas Ekonomi
          2.  Pasal 59 KUHP dan Pandangan Teoretik tentang Tindak Pidana Korporasi
          3.  Tahap-Tahap Pengakuan Korporasi sebagai Subjek
          4.  Pengakuan Tindak Pidana Korporasi dalam Undang-
     E.   Rangkuman
Bab III   Tindak Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perlindungan Konsumen di Indonesia
     A.   Pengantar
     B.   Pergeseran Pembedaan "Tindak Pidana secara Kualitatif" Menuju Pembedaan "Tindak Pidana secara Kuantitatif" dalam Tindak Pidana Perlindungan Konsumen
          1.  Perdebatan Pembedaan Tindak Pidana Secara Kualitatif
          2.  Kriteria Tindak Pidana Secara Kualitatif
          3.  Pilihan Pembedaan Tindak Pidana secara Kuantitatif
     C.   Intervensi Negara secara Sistemis dalam Hubungan Hukum Perdata antara Pelaku Usaha dan Konsumen bagi Tercapainya Tujuan Sistem Peradilan Pidana
          1.  Intervensi Negara dalam Asas Kebebasan Berkontrak
          2.  Ruang Jelajah Tindak Pidana Perlindungan Konsumen
     D.   Tindak Pidana Korporasi Sebelum dan Setelah Berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen
          1.  Situasi Politik dan Ekonomi Pemberlakuan Undang-
          2.  Studi Perbandingan Sebelum dan Setelah Pemberlakuan
               a.  Pengalaman Amerika dan Inggris
               b.  Pengalaman Indonesia
          3.  Analisis Penerapan Tindak Pidana Perlindungan Konsumen
               a.  Subjek tindak pidana
               b.  Pilihan-pilihan norma tindak pidana perlindungan konsumen
               c.  Cara kerja sistem peradilan pidana
     E.   Rangkuman
Bab IV   Penentuan Pertanggungjawaban Pidana dalam Manajemen Korporasi dan Ajaran Penerapannya dalam Tindak Pidana Perlindungan Konsumen di Indonesia
     A.   Pengantar
     B.   Doktrin Strict Liability vs Vicarious Liability dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Perlindungan Konsumen
     C.   Ajaran Kesalahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Perlindungan Konsumen
     D.   Ajaran Penyertaan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Perlindungan Konsumen
     E.   Alasan Peniadaan/Penghapus Pidana dalam Tindak Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Perlindungan Konsumen
     F.   Analisis Kasus Penentuan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Perlindungan Konsumen Sebelum dan Setelah Pemberlakuan UUPK 1999
          1.  Struktur Manajemen Korporasi dan Ajaran Penyertaan
          2.  Kesalahan Individu (-individu) Diatribusikan kepada
          3.  Alasan Peniadaan/Penghapus Pidana bagi Korporasi
               a.  Alasan berdasarkan daya memaksa (overmacht
               b.  Alasan tidak terbuktinya unsur kesalahan
               c.  Alasan tanggung jawab berdasarkan Undang-Undang
               d.  Penggunaan instrumen hukum di luar hukum pidana
     G.   Rangkuman
Bab V   Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Perlindungan Konsumen dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
     A.   Pengantar
     B.   Kesepakatan Teoretik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
     C.   Ajaran Kesalahan Tindak Pidana Korporasi: Dari Kesalahan Individu ke Kesalahan Kolektif
     D.   Kebijakan Pidana dalam Tindak Pidana Perlindungan Konsumen yang Dilakukan Korporasi dan Analisis Dinamikanya
          1.  Kebijakan Pidana Nonpenghukuman
          2.  Kebijakan Pidana Penghukuman
     E.   Rangkuman
Bab VI   Penutup
     A.   Kesimpulan
     B.   Saran
Daftar Pustaka
Lampiran Tabel Preskripsi
Biodata Penulis

Kutipan

Bab I Pendahuluan
BAB I  PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam konteks

Indonesia wacana akademik pertanggungjawaban pidana korporasi masih tetap menjadi perhatian.1 Sutan Remy Sjahdeini (2006) berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan hal baru bagi hukum pidana Indonesia.2 Dalam kajian yang dilakukan Allens Arthur Robinson (2008) di dua puluh negara untuk United Nations Special Representative of the Secretary General for Business and Human Rights (UNSRSG), dikemukakan bahwa tidak jelas apakah Indonesia mempunyai suatu sistem dipertalikannya pertanggungjawaban pidana terhadap entitas korporasi (the attribution of criminal liability to corporate entities).3 Jadi, isu pertanggungjawaban pidana korporasi (badan hukum) hingga kini di samping masih tetap aktual, juga menyimpan misteri akademik. Para ahli hukum pidana di luar negeri masih terus mencermati isu ini pada tataran akademik. Stuart P. Green (2004), misalnya, mencermati skandal spektakuler tindak pidana korporasi (corporate crime) sepanjang tahun 2001 dan 2002 yang melibatkan sejumlah perusahaan, seperti WorldCom, Adelphia, Tyco, Arthur Andersen, dan yang paling terkenal skandal Enron.4 Korporasi (badan hukum) sebagai pelaku yang seharusnya dipertanggungjawabkan atas tindak pidana korporasi sebelumnya juga menjadi uraian kunci dalam artikel Jennifer A. Quaid (1999).5 Dalam pandangan Anca Iulia Pop (2006), pertanggungjawaban pidana korporasi (criminal liability of corporations) telah menjadi topik abad ke-20 yang paling diperdebatkan. Perdebatan ini menjadi signifikan setelah di tahun 1990-an ketika Amerika Serikat, salah satu negara yang memiliki tradisi hukum "common law" dan kebanyakan negara Eropa yang memiliki tradisi hukum "civil law" tengah menghadapi sejumlah tindak pidana lingkungan hidup, antitrust, penipuan, makanan dan obat-obatan, periklanan-periklanan menyesatkan, kematian pekerja, suap, penghinaan pengadilan, dan keuangan yang mengkhawatirkan. Perdebatan dalam perspektif civil law dan common law hingga sekarang masih terus berlangsung.6

___________________

1)  Dalam konteks Indonesia, Mardjono Reksodiputro (1993) secara konseptual telah memulai mengkritisi hukum positif menyangkut pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) pada Pidato Dies Natalis Perguruan Tinggi Kepolisian Ke-47 di Jakarta, 17 Juni 1993. Lihat: Mardjono Reksodiputro (b), "Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya: Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia", dalam Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan (Kumpulan Karangan Buku Kesatu), (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d.h. Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994, Cet. Ke-1, Edisi Ke-1), hh. 96—115. Harkristuti Harkrisnowo (2001), terdokumentasi mengkritisi pula isu tindak pidana korporasi. Lihat: Harkristuti Harkrisnowo, "Corporate Crime from Legal and Criminological Perspectives", Jurnal Kriminologi Indonesia, 2001: 2, Vol. I, Februari 2001, sumber: http://law.nus.edu/sj/asli/Harkristuti_Harkrisnowo.htm, dan http://law.nus.edu/sj/asli/ docs/cv/harkristuti_harkrisnowo.pdf, keduanya diakses 10 Agustus 2005.

2)  Pada kata pengantar bukunya, Sutan Remy Sjahdeini (2006), berpendapat sebagai berikut: "Substansi yang ditulis dalam buku ini merupakan hal baru, bukan saja bagi hukum pidana Indonesia, tetapi juga bagi kalangan ahli hukum pidana di dunia. Di kalangan para ahli hukum di dunia, masih saja berlangsung pro dan kontra mengenai dimungkinkannya pembebanan pertanggungjawaban pidana ke pada korporasi atas perbuatan yang tidak pernah dilakukan korporasi itu sen diri, tetapi oleh manusia-manusia yang bekerja di lingkungan korporasi." Lihat: Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafitipers, Februari 2006, Cet. Ke-1), h. xii. Suhadibroto (2006), mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Perdatun) memberikan catatan terhadap buku Sjahdeini tersebut sebagaimana dikutipkan berikut ini: "…buku ini banyak mengungkap i(k)hwal baru yang belum banyak dike- tahui …." Lihat: ibid.

3)  Allens Arthur Robinson, Corporate Culture as A Basis for the Criminal Liability of Corporations, United Nations Special Representative of the Secretary General for Business and Human Rights (UNSRSG), February 2008, h. 55.

4)  Stuart P. Green, "The Concept of White Collar Crime in Law and Legal Theory", Buffalo Criminal Law Review, 2004: 101, Vol. 8, h. 122.

5)  Jennifer A. Quaid, "The Assessment of Corporate Criminal Liability on the Basis of Corporate Identity: An Analysis", McGill Law Journal, 1998: 67, Vol. 43, hh. 67— 114.

6)  Anca Iulia Pop, "Criminal Liability of Corporations—Comparative Jurisprudence", (Michigan State University College of Law, Spring 2006), h. 2 dan seterusnya. Lihat pula: Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h. 52.

Bab II Landasan Filosofis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia
BAB II LANDASAN FILOSOFIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
A. PENGANTAR

Fundamen pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi ditelisik dalam bab ini. Uraian yang ditampilkan dalam bab ini merupakan kritisi terhadap asas-asas hukum pidana dan asas-asas hukum perlindungan konsumen. Uraian filosofis ini merupakan jawaban yang telah disebutkan dalam uraian Bab I terdahulu atas pertanyaan penelitian subbab B.2. poin a dan b. Pertanyaan penelitian poin a menyangkut asas (-asas) hukum pidana yang dapat diterapkan dalam pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana perlindungan konsumen. Adapun pertanyaan penelitian poin b menyangkut pertimbangan-pertimbangan penyidik, penuntut, dan pengadilan dalam membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Terdapat persoalan filosofis yang semestinya diberikan pemecahan dalam menjawab kedua pertanyaan penelitian tersebut. Dalam hubungan ini, penulis menggunakan ajaran mazhab hukum analitis (the analytical school of law) pada tataran grand theory untuk memberikan kritisi filosofis pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia.

Penulis memandang asas-asas hukum pidana seyogianya tetap dihormati dalam pertanggungjawaban pidana korporasi. Asas-asas tersebut disinergikan dengan asas-asas yang tertuang dalam hukum perlindungan konsumen. Sinergi asas-asas hukum pidana dan hukum perlindungan konsumen diharapkan dapat memperjelas pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum perlindungan konsumen. Uraian tentang asas tersebut merupakan upaya menjawab pertanyaan penelitian Bab I subbab B.2. poin a.

Ada tidaknya kepastian berusaha korporasi dalam aktivitas ekonomi timbal balik antara pelaku usaha dan konsumen (asas legalitas) hendaknya dicermati agar tidak kontraproduktif. Pada satu sisi, semangat untuk melindungi konsumen yang pada dasarnya lemah menyebabkan aktivitas ekonomi tersebut terpinggirkan. Urat nadi perekonomian negara menjadi terancam. Sebaliknya, pada sisi lainnya, perlindungan konsumen melalui instrumen hukum pidana malah menempatkan konsumen sebagai tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana. Ketika konsumen menggunakan haknya karena menjadi korban tindak pidana korporasi (viktimisasi primer), pada tahap selanjutnya bekerjanya sistem peradilan pidana malah menempatkannya sebagai pelaku tindak pidana lainnya, seperti pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan (viktimisasi sekunder). Asas legalitas menjadi kunci jawaban terhadap persoalan ini.

Uraian tentang asas kesalahan merupakan dasar untuk menentukan dapat tidaknya suatu korporasi, baik dalam arti luas (kumpulan orang baik yang berbadan hukum atau yang bukan berbadan hukum) maupun dalam arti sempit (badan hukum; entitas hukum; rechspersoon; atau juristic person), dipertanggungjawabkan secara pidana atas kriminalisasi yang telah dilakukan negara dalam bentuk tindak pidana perlindungan konsumen. Dapat tidaknya korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana atas dasar asas tersebut selanjutnya diteguhkan dalam kedua asas yang bertolak belakang satu dengan lainnya, yaitu asas "societas delinquere non-potest" dan asas "societas delinquere potest". Perdebatan kedua asas ini tampil ke permukaan sebagaimana akan diuraikan dalam bab ini.

Bab III Tindak Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perlindungan Konsumen di Indonesia
BAB III TINDAK PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
A. PENGANTAR

Di dalam bab ini, penulis akan menjawab pertanyaan penelitian Bab I subbab B.2. poin c tentang tindak-tindak pidana perlindungan konsumen yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada korporasi. Pertanyaan penelitian ini akan dijawab dalam bab ini dengan menggunakan teori pertanggungjawaban pidana korporasi dan ajaran mazhab hukum analitis dari John Austin sebagaimana telah disebutkan pada bagan 1.4 dalam Bab I. Pendirian mengenai pembedaan "tindak pidana secara kualitatif", yaitu "tindak pidana kejahatan" dan "tindak pidana pelanggaran", mulai ditinggalkan untuk saat ini. Hal itu merupakan uraian kunci dalam bab ini. Fenomena perumusan tindak pidana bergeser pada pembedaan "tindak pidana secara kuantitatif". Setidaknya itu terlihat pada perumusan tindak pidana perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK 1999) sebagai bentuk intervensi negara dalam hubungan perdata pelaku usaha dan konsumen. Terlihat terjadinya pergeseran pada pembedaan tindak pidana secara kuantitatif tersebut. Dari segi kebijakan pidana, pergeseran ini sebenarnya membuka ruang yang lebih luas bagi penegak hukum untuk menerapkan tindak pidana perlindungan konsumen atas dasar berat-ringannya tindak pidana yang disangkakan, dituntutkan, dan/atau dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana dengan tetap berpijak pada asas-asas hukum.


Bab IV Penentuan Pertanggungjawaban Pidana dalam Manajemen Korporasi dan Ajaran Penerapannya dalam Tindak Pidana Perlindungan Konsumen di Indonesia
BAB IV  PENENTUAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM MANAJEMEN KORPORASI DAN AJARAN PENERAPANNYA DALAM TINDAK PIDANA PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
A. PENGANTAR

Melalui uraian pada Bab II diketahui bahwa asas-asas hukum pidana kita di Indonesia pada dasarnya masih didesain untuk menghadapi perilaku individu. Dari sisi pertanggungjawaban pidana, ajaran kesalahan masih dominan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Perdebatan perlu tidaknya pertanggungjawaban pidana korporasi dalam sistem hukum di Indonesia pada dasarnya berkisar pada legitimasi pertanggungjawaban pidananya (criminal responsibility; criminal liability).

Penjelasan ajaran/doktrin atau teori apa yang sebenarnya akan dipilih oleh pembentuk undang-undang dan/atau diterapkan pengadilan dalam praktik peradilan pidana, tidaklah serta-merta dengan menafikan ajaran kesalahan itu sendiri dalam hukum pidana. Pertanyaan penelitian Bab I subbab B.2. poin d tentang ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi yang sesuai dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, akan dijawab dalam Bab IV ini. Kajian penulis terhadap 36 kasus/perkara tindak pidana perlindungan konsumen dalam buku ini kiranya dapat memerikan lebih lanjut ajaran/doktrin mana yang berkembang atau diikuti dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.


Bab V Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Perlindungan Konsumen dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
BAB V  PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PADA TINDAK PIDANA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. PENGANTAR

Pertanyaan penelitian pada Bab I subbab B.2. poin e menyangkut upaya-upaya pembaharuan hukum pidana dalam rangka memperjelas pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perlindungan konsumen. Jawabannya akan diuraikan dalam Bab V ini. Diterimanya ajaran fungsional dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Nasional untuk mempertanggungjawabkan pidana korporasi (badan hukum; entitas hukum; rechtspersoon; juristic person) diuraikan dalam bab ini, di mana pertanggungjawaban tersebut tidak dapat diterapkan pada setiap tindak pidana yang dirumuskan. Akan terlihat bahwa sebenarnya diakuinya korporasi (badan hukum) dalam RUU KUHP Nasional merupakan suatu bentuk pengecualian.

Secara umum pergulatan pemikiran yang terjadi dalam pembahasan RUU KUHP Nasional tersebut merupakan upaya menampung pemikiran-pemikiran dalam memperjelas pertanggungjawaban pidana korporasi. Pengalaman Belanda dalam melakukan Code Pénal 1810 dari Napoleon layak untuk memperkuat motivasi bangsa Indonesia untuk segera membahas RUU KUHP Nasional. Kesepakatan-kesepakatan teoretis yang telah dihasilkan para ahli hukum Indonesia seyogianya diapresiasi dengan secara serius mengajukan kembali RUU KUHP Nasional dan membahasnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Bab VI Penutup
BAB VI  PENUTUP
A. KESIMPULAN

1.Pertanyaan penelitian Bab I subbab B.2. poin a menyangkut asas (-asas) hukum pidana yang dapat diterapkan dalam pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana (laku pidana) perlindungan konsumen. Diperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut bahwa asas "societas delinquere non-potest" [("corporation cannot commit crime"); ("korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana")] yang selama ini telah dianggap berakar pada budaya peradilan dan kesadaran bersama masyarakat sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Diterimanya pertanggungjawaban pidana korporasi atas pelanggaran tindak pidana (laku pidana) perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK 1999) menunjukkan pendulum sejarah berayun kembali pada asas yang dahulu sudah pernah berlaku sebelum Revolusi Prancis, yaitu asas "societas delinquere potest". Asas ini menjadi fundamen dinamika pertanggungjawaban pidana korporasi. Asas ini memungkinkan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi [badan hukum (rechtspersoon); entitas hukum (legal entity)]. Modernisasi hukum pidana di kebanyakan negara telah mengadopsinya. Negara-negara dengan sistem Eropa Kontinental (civil law), seperti Prancis dan Belanda, telah mengadopsinya meskipun perbedaan-perbedaan pendapat masih saja mendominasi pada tataran teoretis para ahli hukum (pidana). Italia termasuk negara yang tetap menolak adopsi tersebut dengan alasan konstitusional. Tradisi hukum common law di Inggris menunjukkan asas tersebut telah cukup mapan. Hal ini terlihat dalam tindak pidana (laku pidana) perlindungan konsumen di Inggris (UK), dalam hal ini perkara Tesco Supermarket Ltd. vs Nattrass (1972). Keberlakuan asas tersebut di Amerika Serikat (USA) ditandai dalam perkara New York Central Railroad (1909).

Di Indonesia dari segi kebijakan pidana, secara umum korporasi belumlah sebagai subjek hukum pidana (tindak pidana; laku pidana) dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia pada tataran praktik meskipun sejak 1955 hingga sekarang sudah diterima secara terbatas pandangan korporasi sebagai subjek tindak pidana (laku pidana) dan hanya berlaku dalam sejumlah perundang-undangan (khusus) di luar Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Menyusul kemudian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK 1999) yang menempatkan korporasi, baik dalam arti luas, orang perseorangan, maupun badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, sebagai subjek tindak pidana (laku pidana). UUPK 1999 tidak mengikuti pandangan korporasi dalam arti sempit [badan hukum (rechtspersoon); entitas hukum (legal entity)].