Tampilkan di aplikasi

Buku Citra Aditya hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Upaya-Upaya Hukum Perkara Pidana Di Dalam Hukum Positif Dan Perkembangannya

-

1 Pembaca
Rp 40.000 50%
Rp 20.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 60.000 13%
Rp 17.333 /orang
Rp 52.000

5 Pembaca
Rp 100.000 20%
Rp 16.000 /orang
Rp 80.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Dalam praktik peradilan pidana sering kali pihak yang berkepentingan tidak menerima putusan yang dijatuhkan hakim di sidang pengadilan karena dipandang tidak atau kurang adil. Akibatnya, pihak yang berkepentingan berupaya untuk melawan putusan pengadilan tersebut atau yang disebut dengan upaya hukum. Di dalam hukum acara pidana terdapat beberapa jenis upaya hukum yang dapat digunakan untuk melawan putusan pengadilan (termasuk penetapan pengadilan).

Buku dengan judul Upaya-Upaya Hukum Perkara Pidana di dalam Hukum Positif dan Perkembangannya karangan Ramiyanto, S.H.I., M.H., ini mencoba untuk membahas upaya-upaya hukum perkara pidana secara gamblang dan komprehensif. Harapannya agar para pembaca dapat memahami upaya-upaya hukum yang disediakan hukum acara pidana. Keunggulan dari buku ini adalah pembahasannya tidak hanya merujuk pada ketentuan di dalam KUHAP, tetapi juga merujuk pada undang-undang khusus. Selain itu, pembahasan dalam buku ini pun merujuk pada praktik peradilan (yurisprudensi) dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.

Buku ini dapat diigunakan sebagai pedoman bagi para akademisi dan praktisi hukum, mahasiswa hukum strata satu (S-1) yang sedang mnengambil mata kuliah Hukum Acara Pidana, serta masyarakat luas yang berminat mempelajari upaya hukum perkara pidana, atau masyarakat yang hendak menggunakan upaya hukum perkara pidana. Akhir kata, selamat membaca dan semoga buku ini dapat memberikan manfaat.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Ramiyanto, S.H.I., M.H.

Penerbit: Citra Aditya
ISBN: 9789794911570
Terbit: November 2018 , 169 Halaman










Ikhtisar

Dalam praktik peradilan pidana sering kali pihak yang berkepentingan tidak menerima putusan yang dijatuhkan hakim di sidang pengadilan karena dipandang tidak atau kurang adil. Akibatnya, pihak yang berkepentingan berupaya untuk melawan putusan pengadilan tersebut atau yang disebut dengan upaya hukum. Di dalam hukum acara pidana terdapat beberapa jenis upaya hukum yang dapat digunakan untuk melawan putusan pengadilan (termasuk penetapan pengadilan).

Buku dengan judul Upaya-Upaya Hukum Perkara Pidana di dalam Hukum Positif dan Perkembangannya karangan Ramiyanto, S.H.I., M.H., ini mencoba untuk membahas upaya-upaya hukum perkara pidana secara gamblang dan komprehensif. Harapannya agar para pembaca dapat memahami upaya-upaya hukum yang disediakan hukum acara pidana. Keunggulan dari buku ini adalah pembahasannya tidak hanya merujuk pada ketentuan di dalam KUHAP, tetapi juga merujuk pada undang-undang khusus. Selain itu, pembahasan dalam buku ini pun merujuk pada praktik peradilan (yurisprudensi) dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.

Buku ini dapat diigunakan sebagai pedoman bagi para akademisi dan praktisi hukum, mahasiswa hukum strata satu (S-1) yang sedang mnengambil mata kuliah Hukum Acara Pidana, serta masyarakat luas yang berminat mempelajari upaya hukum perkara pidana, atau masyarakat yang hendak menggunakan upaya hukum perkara pidana. Akhir kata, selamat membaca dan semoga buku ini dapat memberikan manfaat.

Ulasan Editorial

Buku ini mencoba untuk membahas upaya-upaya hukum perkara pidana secara gamblang dan komprehensif agar para pembaca dapat memahami upaya-upaya hukum yang disediakan hukum acara pidana

PT Citra Aditya Bakti / PT Citra Aditya Bakti

Pendahuluan / Prolog

Bab 1 Pendahuluan
Bab 1 Pendahuluan A.
Pengertian Hukum Acara Pidana D alam terminologi bahasa Belanda, hukum acara pidana disebut dengan istilah “formeel strafrecht”1) atau “strafprocesrecht” Kemudian dalam bahasa Indonesia, hukum acara pidana juga disebut dengan beberapa isti-lah, yaitu hukum pidana formal (formil), hukum pidana prosedural, hukum pidana subjektif, dan lain sebagainya. Apabila dilihat dari ruang lingkup yang luas, maka hukum acara pidana merupakan bagian dari hukum pidana. Selain itu, di dalam hukum pidana juga tercakup hukum pidana materiil (hukum pidana substantif).2) Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, hukum acara pidana dapat dikategorikan sebagai ius puniendi dalam arti sempit.3) Sebelum menguraikan pengertian hukum acara pidana terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pengertian hukum acara.



1) Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalah-annya), Bandung: Alumni, hlm. 1. Lihat juga Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 1.

2) Menurut Andi Hamzah, dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana substantif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal) di-sebut hukum pidana. Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, h. 4.

3 ) Sudarto mengemukakan, bahwa ius puniendi dapat diartikan secara luas dan secara sempit. Ius puniendi dalam arti luas adalah hak dari negara atau alat-alat perleng- kapan negara untuk menggunakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan ter-tentu. Sedangkan ius puniendi dalam arti sempti adalah hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan, dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melaku-kan perbuatan yang dilarang. Hal ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Sudarto, 2013, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, h.15.


Penulis

Ramiyanto, S.H.I., M.H. - Ramiyanto, S.H.I., M.H., lahir di Musi Banyuasin Sumatera Selatan tanggal 02 November 1987. Pendidikan Strata 1 diperoleh dari Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (dahulu IAIN) Raden Fatah Palembang pada tahun 2010. Setelah menamatkan pendidikan S-1, penulis ikut Magang di Kantor Advokat wilayah Palembang. Kemudian pen-didikan Strata 2 diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang pada tahun 2013. Saat ini, tercatat sebagai maha-siswa aktif Program Doktor Ilmu Hukum (Strata 3) Universitas Diponegoro Semarang.

Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang. Mata kuliah yang diampuh, yaitu Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, Ilmu Negara, Hukum Tata Negara, Peng-antar Ilmu Hukum, Pengantar Hukum Indonesia, Metode Penelitian Hukum, Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Penulis juga menulis pada beberapa jurnal dan surat kabar lokal (Palembang), seperti Jurnal Yudisial, Jurnal Legislasi Indonesia, Jurnal Hukum dan Peradilan, Sriwijaya Law Review, Jurnal Thengkyang Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang, Sriwijaya Pos, dan Palembang Pos.


Daftar Isi

Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Bagan
Daftar Tabel
Bab 1  Pendahuluan
     A.  Pengertian Hukum Acara Pidana
     B.  Upaya Hukum Sebagai Bagian dari Pengaturan di Dalam Hukum Acara Pidana
Bab 2  Upaya-Upaya Hukum
     A.  Pengertian
     B.  Jenis-Jenis Upaya Hukum dalam Perkara Pidana
Bab 3  Putusan Pengadilan
     A.  Pengertian
     B.  Jenis-Jenis Putusan Pengadilan
          1.  Putusan Pengadilan yang Bersifat Formil
               a.  Penetapan
               b.  Putusan Sela
          2.  Putusan Pengadilan yang Bersifat Materil
               a.  Putusan pemidanaan (veroordelin)g
               b.  Putusan bebas (vrijspraak)
               c.  Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging)
Bab 4  Perlawanan
Bab 5  Banding
     A.  Pengertian
     B.  Pengajuan Banding
          1.  Pihak yang Behak Mengajukan Banding
          2.  Alasan Pengajuan Banding
          3.  Objek Pengajuan Banding
          4.  Tenggang Waktu Pengajuan Banding
          5.  Tata Cara Pengajuan Banding
          6.  Pencabutan Permintaab Banding
     C.  Pemeriksaan Perkara Banding
          1.  Lembaga yang Berwenang Memeriksa Perkara Banding
          2.  Tata Cara Pemeriksaan Perkara Banding
          3.  Pengiriman Putusan Pengadilan Tingkat Banding
Bab 6  Kasasi
     A.  Pengertian
     B.  Pengajuan Kasasi
          1.  Pihak yang Berhak Mengajukan Kasasi
          2.  Alasan Pengajuan Kasasi
          3.  Objek Pengajuan Kasasi
          4.  Tenggang Waktu Pengajuan Kasasi
          5.  Tata Cara Pengajuan Kasasi
          6.  Pencabutan Permintaan Kasasi
          7.  Frekuensi Pengajuan Kasasi
     C.  Pemeriksaan Perkara Kasasi
          1.  Lembaga yang Berwenang Memeriksa Perkara Kasasi
          2.  Tata Cara Pemeriksaan Perkara Kasasi
          3.  Pengiriman Putusan Pengadilan Tingkat Kasasi
Bab 7  Kasasi Demi Kepentingan Hukum
     A.  Pengertian
     B.  Pengajuan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
          1.  Pihak yang Berhak Mengajukan Perkara Kasasi Demi Kepentingan Hukum
          2.  Alasan Pengajuan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
          3.  Objek Pengajuan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
          4.  Tenggang Waktu Pengajuan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
          5.  Tata Cara Pengajuan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
          6.  Pencabutan Permintaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
          7.  Frekuensi Pengajuan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
     C.  Pemeriksaan Perkara Kasasi Demi Kepentingan Hukum
          1.  Lembaga yang Berwenang Memeriksa Perkara Kasasi Demi Kepentingan Hukum
          2.  Tata Cara Pemeriksaan Perkara Kasasi Demi Kepentingan Hukum
          3.  Pengiriman Putusan Pengadilan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Bab 8  Penijauan Kembali
     A.  Pengertian
     B.  Pengajuan Peninjauan Kembali
          1.  Pihak yang Berhak Mengajukan Penijauan Kembali
          2.  Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
          3.  Objek Pengajuan Peninjauan kembali
          4.  Tenggang Waktu Pengajuan Peninjauan Kembali
          5.  Tata Cara Pengajuan Penijauan Kembali
          6.  Pencabutan Permintaan Peninjauan Kembali
          7. Frekuensi Pengajuan Peninjauan Kembali
     C.  Pemeriksaan Perkara Peninjauan Kembali
          1.  Lembaga yang Berwenang Memeriksa Perkara Peninjauan Kembali
          2.  Tata Cara Pemeriksaan Perkara Peninjauan Kembali
          3.  Pengiriman Putusan Pengadilan Di Tingkat Peninjauan Kembali
Bab 9  Grasi, Amnesti, Dan Abolisi
     A.  Grasi
     B.  Amnesti
     C.  Abolisi
Daftar Pustaka
     A.  Buku
     B.  Jurnal Media Lainnya
     C.  Peraturan Perundang-undangan
     D.  Putusan Pengadilan
     E.  Internet
Indeks
Biodata Penulis

Kutipan

Bab 1 Pendahuluan h. 1
Bab 1 Pendahuluan  A. Pengertian Hukum Acara Pidana D alam terminologi bahasa Belanda, hukum acara pidana disebut dengan istilah “formeel strafrecht” atau “strafprocesrecht”1)  Kemudian dalam bahasa Indonesia, hukum acara pidana juga disebut dengan beberapa isti-lah, yaitu hukum pidana formal (formil), hukum pidana prosedural, hukum pidana subjektif, dan lain sebagainya. Apabila dilihat dari ruang lingkup yang luas, maka hukum acara pidana merupakan bagian dari hukum pidana. Selain itu, di dalam hukum pidana juga tercakup hukum pidana materiil (hukum pidana substantif).2)  Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, hukum acara pidana dapat dikategorikan sebagai ius puniendi dalam arti sempit.3)  Sebelum menguraikan pengertian hukum acara pidana terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pengertian hukum acara.

1) Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalah-annya), Bandung: Alumni, hlm. 1. Lihat juga Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 1.

2) Menurut Andi Hamzah, dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana substantif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal) di-sebut hukum pidana. Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, h. 4.

3) Sudarto mengemukakan, bahwa ius puniendi dapat diartikan secara luas dan secara sempit. Ius puniendi dalam arti luas adalah hak dari negara atau alat-alat perleng- kapan negara untuk menggunakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan ter-tentu. Sedangkan ius puniendi dalam arti sempti adalah hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan, dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melaku-kan perbuatan yang dilarang. Hal ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Sudarto, 2013, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, h.15.






Bab 2 Upaya-Upaya Hukum h. 7
Bab 2 Upaya-Upaya Hukum  A. Pengertian I stilah upaya hukum merupakan gabungan dari 2 (dua) unsur kata, yaitu “upaya” dan “hukum”. Di dalam kamus bahasa Indonesia, kata “upaya” berarti usaha, ikhtiar untuk mencapai maksud tertentu1) . Menurut kamus ilmiah populer, kata upaya diartikan sebagai usaha; akal; ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dan sebagainya); daya upaya2) . Merujuk pada arti kata “upaya” tersebut, maka secara sederhana upaya hukum dapat diartikan sebagai suatu usaha atau ikhtiar melalui sarana hukum untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu.

Upaya hukum di dalam kamus hukum diartikan sebagai segala usaha untuk mencapai tujuan hukum benar-benar berjalan sebagaimana mestinya dan untuk mencegah adanya kekeliruan atau kekhilafan dalam suatu keputusan hakim.3)

Menurut Sudikno Mertokusumo, upaya hukum adalah: “Upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.4)

1 ) Rizky Maulana dan Putri Amelia, t.t., Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Surabaya: Lima Bintang, h. 422.

2 ) Happy El Rais, 2012, Kamus Ilmiah Populer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 714.

3 ) J.C.T. Simorangkir, et.al., 2008, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, h. 382.

4 ) Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, h. 232


Bab 3 Putusan Pengadilan h. 14
Bab 3  Putusan Pengadilan  A. Pengertian I sitilah “putusan” sering juga disebut dengan istilah “vonis”, yang di da- lam kamus bahasa Indonesia berarti putusan hakim yang dijatuhkan ke-pada terdakwa.1)  Menurut kamus ilmiah populer, vonis berarti putusan hakim pada sidang pengadilan yang berkaitan dengan persengketaan perkara pidana atau perdata.2)  Di bidang hukum, dengan menggunakan bahasa asing, istilah “putusan” disebut dengan istilah “vonnis” yang berarti keputusan pengadilan, putusan hakim.3)  Di dalam terminologi hukum pidana, istilah “putusan” selain disebut dengan istilah “vonnis” juga dengan disebut dengan istilah “sentence”, dan “judgement”.4)  Jadi, dalam konteks hukum pidana istilah “putusan” dalam bahasa asing disebut dengan istilah “vonnis ”, “sentence”, dan “judgement”.

Menurut Kejaksaan Agung Republik Indonesia, putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis atau lisan.5)  Leden Marpaung mengemukakan, bahwa:

1 ) Rizky Maulana dan Putri Amelia, t.t., Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Surabaya: Lima Bintang, h. 426.

2 ) Happy El Rais, 2012, Kamus Ilmiah Populer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 728.

3) Sudarsono, 2012, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, h. 570.

4 ) Jur. Andi Hamzah, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, h. 126.

5 ) Pengertian tersebut diambil dari dalam buku Perisitilahan Hukum dalam Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 halaman 221. Lihat Leden Marpaung, 2013, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri, Upaya Hukum & Ekseskusi), Jakarta: Sinar Grafika, h. 129.


Bab 4 Perlawanan h. 46
Bab 4 Perlawanan

I stilah perlawanan berasal dari asal kata “lawan”, yang menurut kamus bahasa Indonesia berarti (1) Proses, cara, perbuatan melawan; usaha mencegah (menangkis, bertahan, dan sebagainya); perjuangan: dia ber-usaha mengadakan perlawanan dengan gigih; (2) pertentangan.1)  Jadi, per-lawanan adalah perbuatan atau tindakan melawan terhadap sesuatu hal. Istilah “perlawanan” dalam kepustakaan hukum disebut dengan istilah “verzet” (bahasa Belanda) dan “resistance” (bahasa Inggris).2)

Leden Marpaung mengemukakan, bahwa: “Perlawanan yang sering juga disebut verzet merupakan upaya hukum berdasar- kan undang-undang dalam hal-hal yang telah ditentukan yang umumnya bersifat insidentil yang tidak dimaksudkan terhadap putusan akhir dari pengadilan negeri.3)

Perlawanan dalam hukum acara pidana berbeda dengan perlawanan (ver-zet) yang dikenal dalam hukum acara perdata yang hanya ditujukan untuk melawan putusan pengadilan yang diucapkan di luar hadirnya tergugat (verstek). Di dalam KUHAP, aturan tentang perlawanan tidak dicantum-kan secara sistematis, namun terpisah-pisah. Aturan tentang perlawanan itu di dalam KUHAP dicantumkan dalam beberapa pasal, yaitu:

1 ) http://www.kamuskbbi.web.id/arti-kata-perlawanan, diakses tanggal 25 Oktober 2016.

2 ) Lihat Jur. Andi Hamzah, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, h. 96.

3 ) Leden Marpaung, 2011, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan & Pengadilan Upaya Hukum & Eksekusi), Jakarta: Sinar Grafika, h. 155.


Bab 5 Banding h. 55
Bab 5 Banding  A. Pengertian M enurut kamus bahasa Indonesia, banding adalah permohonan peme-riksaan ulangan terhadap putusan pengadilan; apel; imbangan; tara; persamaan.1)  Kemudian kamus ilmiah populer memberikan 2 (dua) arti ter-hadap istilah banding, yaitu:  1. Persamaan; tara; imbangan;  2. Pertimbangan pemeriksaan ulang terhadap putusan pengadilan oleh pengadilan lebih tinggi atas permintaan terdakwa atau jaksa naik apel.2)

Merujuk pada kedua pengertian tersebut, maka secara sederhana istilah banding dapat diartikan sebagai upaya untuk meminta pemeriksaan ulang atas putusan pengadilan tingkat bawah kepada pengadilan yang lebih tinggi.

Di dalam kamus hukum, istilah banding diartikan sebagai suatu alat hukum (rechts middel) yang merupakan hak terdakwa dan jaksa untuk memohon supaya putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi. Tujuan dari pada hak itu adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan petama.3)  Menurut penulis pengertian itu lebih

1 ) Rizky Maulana dan Putri Amelia, t.t., Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Surabaya: Lima Bintang, h. 43.

2 ) Happy El Rais, 2012, Kamus Ilmiah Populer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 70—71.

3 ) J.C.T. Simorangkir, et.al., 2008, Kamus Hukum,  Jakarta: Sinar Grafika, h. 13—14.


Bab 6 Kasasi h. 76
Bab 6 Kasasi  A. Pengertian D idalam bahasa Perancis, istilah kasasi disebut dengan istilah “cassation” yang berasal dari kata kerja “casser” yang berarti memecahkan atau membatalkan,1)  sehingga kalau suatu permintaan kasasi terhadap suatu putusan pengadilan bawahan itu diterima oleh Mahkamah Agung berarti putusan tersebut dibatalkan karena dianggap mengandung kesalahan da-lam penerapan hukum.2)  Menurut Nikolas Simanjuntak, caser sebagai asal kata kasasi berarti membatalkan suatu putusan hakim (pengadilan: Pen) demi tercapainya kesatuan peradilan, yang berarti itu juga sebagai ke-satuan penafsiran hukum untuk menjembatani pembuat undang-undang dengan pelaksana kekuasaan kehakiman.3)

Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru di negara Belanda dan oleh Belanda dibawa ke Indonesia.4)  Makna kasasi dalam pengertian itu berarti

1 ) Leden Marpaung, 1995, Putusan Bebas (Masalah dan Pemecahannya), Jakarta: Sinar Grafika,, h. 59. Lihat juga Ny. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2005, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, h. 163. Lihat juga Jur. Andi Hamzah, 2014, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, h., 292. Lihat juga Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia (Perspektif, Teoretis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya), Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 254.

2 ) R. Subekti, 1992, Kekuasaan Mahkamah Agung R.I., Bandung: Alumni, h. 2.

3 ) Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, h. 296.

4 ) Jur. Andi Hamzah, loc.cit.


Bab 7 Kasasi Demi Kepentingan Hukum h. 94
Bab 7 Kasasi Demi Kepentingan Hukum

A. Pengertian U ntuk menguraikan mengenai pengertian kasasi demi kepentingan hukum (cassatie in het belang van het recht) ini akan dikaikan dengan pe-ngertian kasasi. Di pembahasan bab sebelumnya telah dipaparkan bahwa kasasi merupakan suatu alat atau sarana yang diberikan oleh hukum untuk meminta Mahkamah Agung agar memeriksa ulang atas putusan pengadilan dalam perkara pidana yang secara hirarki berada di bawahnya atau putus-an pengadilan pada tingkat akhir. Kasasi tersebut sering disebut sebagai “kasasi para pihak” (partij cassatie). Selain itu, di dalam undang-undang (termasuk di bidang pidana: pen) juga dikenal permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum.1)  Soedirjo menyebut kasasi demi kepentingan hukum itu dengan kasasi luar biasa.2)

Apabila melalui kajian kepustakaan ilmu hukum pidana, kasasi demi ke-pentingan hukum lazim juga disebut dengan terminologi “cassatie in het belang van het recnt” atau “kasasi jabatan”.3)

1 ) R. Subekti, 1992, Kekuasaan Mahkamah Agung R.I., Bandung: Alumni, h. 11.

2 ) Soedirjo, 1984, Kasasi dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi), Jakarta: Akademika Pressindo, h. 85.

3) Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalah-annya), Bandung: Alumni, h. 274.




Bab 8 Peninjauan Kembali h. 107
Bab 8 Peninjauan Kembali  A. Pengertian P eninjauan kembali sering juga disebut dengan istilah revision (Inggris) dan herziening (Belanda).1)  Secara gramatikal, peninjauan kembali terdiri dari 2 (dua) unsur kata, yaitu “peninjauan” dan “kembali”. Penin- jauan berasal dari kata “tinjau” yang dapat disepadankan artinya dengan melihat, mengamati, atau memeriksa. Apabila dihubungkan dengan utuh peninjauan kembali dapat diartikan dengan melihat/mengamati/meme-riksa kembali sesuatu yang perlu diulangi.2)   Di dalam kamus hukum, yang dimaksud dengan herziening adalah peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; revisi.3)   R. Atang Ranoemihardja mengartikan herziening sebagai pemeriksaan ulang-an terhadap perkara yang telah diberi putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.4)

1 ) Lembaga PK (herziening) semula diatur dalam Reglement op de Strafvoordering (Sv), yaitu hukum acara pidana yang dulu berlaku bagi pengadilan untuk bangsa Eropah (Raad van Justice). Lihat P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 526. Lihat juga R. Subekti, 1992, Kekuasaan Mahkamah Agung R.I, Bandung: Alumni, h. 24.

2) Budi Suharyanto, et.al., 2012, Peninjauan Kembali Putusan Pidana Oleh Jaksa Pe-nuntut Umum (Penelitian Asas, Teori, Norma, dan Praktik Penerapannya dalam Putus-an Pengadilan), Laporan Penelitian, Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, h. 35.

3) J.C.T. Simorangkir, et, al, 2008, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, h. 64.

4) R. Atang Ranoemihardja, 1976, Hukum Acara Pidana, Bandung: Tarsito, h.128.




Bab 9 Grasi, Amnesti, Dan Abolisi h. 136
Bab 9 Grasi, Amnesti, Dan Abolisi

D i bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa menurut Nikholas Simanjuntak grasi, amnesti, dan abolisi adalah upaya hukum yang bersifat pre-rogatif. Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah prerogatif diartikan se-bagai hak istimewa yang dimiliki oleh presiden di luar kekuasaan badan-badan perwakilan.1)  Hak prerogatif atau hak istimewa presiden itu lang-sung diberikan oleh konstitusi sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 14 UUD 1945. Apabila grasi, amnesti, dan abolisi sebagai hak presiden, maka sifatnya fakultatif sehingga tidak ada paksaan bagi presiden untuk mem-berikan haknya tersebut.

A. Grasi Andi Hamzah dan Irdan Dahlan mengemukakan, bahwa ketentuan grasi sebenarnya bukan merupakan upaya hukum karena grasi adalah wewenang kepala negara untuk memberikan ampun kepada warganya yang dijatuhi pidana. Oleh karena bukan merupakan upaya hukum, maka ketentuan grasi tidak terdapat baik di dalam KUHAP, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009), maupun di dalam undang-undang Mahkamah Agung (UU No. 14 Tahun 1985 yang telah dirubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009), tetapi diatur di dalam undang-undang

1 ) Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1987, Upaya Hukum dalam Perkara Pidana, Jakarta: Bina Aksara, h. 134.