Tampilkan di aplikasi

Buku Citra Aditya hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Hukum Kredit dan Bank Garansi

The Bankers Hand Book

1 Pembaca
Rp 78.000 50%
Rp 39.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 117.000 13%
Rp 33.800 /orang
Rp 101.400

5 Pembaca
Rp 195.000 20%
Rp 31.200 /orang
Rp 156.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Saat ini perbankan sudah mulai terlihat jorjoran dalam melempar kreditnya. Lihatlah di berbagai media massa, iklan-iklan kredit perbankan seakan tak mau kalah dengan iklan untuk mobilisasi dana masyarakat, seperti giro, tabungan, dan deposito. Kredit, baik konsumtif maupun produktif memang sudah menjadi target utama perbankan dalam meraih pendapat-an, selain fee based income tentunya. Dengan demikian, kelebihan dana (masyarakat) yang bisa membuat bank-bank memiliki dana idle yang akan lebih produktif lagi karena dilempar dalam bentuk kredit.

Namun, yang dikhawatiran adalah terabaikannya aspek-aspek hukum dalam setiap pemberian kredit oleh bank. Sebab selain kredit bermasalah dan macet yang dapat menjadi akibatnya, juga pembobolan bank oleh nasabah dan orang dalam sendiri dapat terjadi sewaktu-waktu. Dalam hubungan inilah penulis kembali membuat tulisan tentang aspek hukum di bidang perkreditan (dan bank garansi) yang sebagian bahannya penulis ambil dari buku penulis sebelumnya yang berjudul Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia yang diterbitkan untuk terakhir kalinya pada tahun 1998.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: H.R. Daeng Naja, S.H., M.H., M.Kn.

Penerbit: Citra Aditya
ISBN: 9789794911679
Terbit: Agustus 2005 , 596 Halaman










Ikhtisar

Saat ini perbankan sudah mulai terlihat jorjoran dalam melempar kreditnya. Lihatlah di berbagai media massa, iklan-iklan kredit perbankan seakan tak mau kalah dengan iklan untuk mobilisasi dana masyarakat, seperti giro, tabungan, dan deposito. Kredit, baik konsumtif maupun produktif memang sudah menjadi target utama perbankan dalam meraih pendapat-an, selain fee based income tentunya. Dengan demikian, kelebihan dana (masyarakat) yang bisa membuat bank-bank memiliki dana idle yang akan lebih produktif lagi karena dilempar dalam bentuk kredit.

Namun, yang dikhawatiran adalah terabaikannya aspek-aspek hukum dalam setiap pemberian kredit oleh bank. Sebab selain kredit bermasalah dan macet yang dapat menjadi akibatnya, juga pembobolan bank oleh nasabah dan orang dalam sendiri dapat terjadi sewaktu-waktu. Dalam hubungan inilah penulis kembali membuat tulisan tentang aspek hukum di bidang perkreditan (dan bank garansi) yang sebagian bahannya penulis ambil dari buku penulis sebelumnya yang berjudul Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia yang diterbitkan untuk terakhir kalinya pada tahun 1998.

Ulasan Editorial

Dapatlah disimpulkan bahwa industri jasa perbankan dalam segala aspeknya sangatlah diatur oleh ketentuan-ketentuan dan dibatasi oleh peraturan-peraturan atau perundang-undangan. Tidak heran jika perkembangan perangkat hukum yang mengatur operasi perbankan, terutama dalam perkembangan dunia perbankan dalam kurun waktu atau dasawarsa 90-an terakhir ini semakin pesat. Hal ini dapat dilihat pada perubahan-perubahan yang sangat mendasar sejalan dengan munculnya tantangan-tantangan dalam proses pembangunan

HR Daeng Naja

Pendahuluan / Prolog

Pengertian dan Arti Penting Hukum Perbankan
Bukan tidak mungkin, jika hal yang pertama-tama timbul dalam hati setiap orang yang akan memulai mempelajari aspek-aspek hukum yang ber-hubungan dengan praktek perbankan adalah pertanyaan: "Apa pengertian atau definisi hukum perbankan itu?" Pertanyaan yang sangat wajar. Akan tetapi, juga bukan tidak mungkin jika sampai selesai kita membaca se-buah buku yang berisi aspek-aspek hukum mengenai operasional per-bankan, kita tidak menemukan definisi hukum perbankan.

Kenyataannya, sampai saat ini masih sangat kurang/jarang ditemukan re-ferensi mengenai definisi atau pengertian tentang hukum perbankan yang diberikan oleh para sarjana atau pakar (hukum) perbankan. Mungkin, salah satu alasannya, karena walaupun kita tidak memberikan definisi, secara selintas kita akan mengerti dan memahami arti dan ruang lingkup-nya dengan berdasar pada pengertian hukum dan pengertian bank (per-bankan) itu sendiri. Oleh karenanya, kita akan berpendapat bahwa hukum perbankan tidak terlalu penting untuk didefinisikan.

Penulis

H.R. Daeng Naja, S.H., M.H., M.Kn. - Hasanuddin Rahman Daeng Naja (H.R. Daeng Naja). Dosen dan praktisi bisnis ini, baru mulai menulis sejak masuk Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar (1982). Di sana bertemu dan belajar dari beberapa mahasiswa senior yang sudah lebih dahulu menjadi penulis, antara lain, Hamid Awaluddin (kini Menteri Hukum dan HAM), Aidir Amin Daud (kini Ketua KPU Provinsi Sulsel), A.R. Syam Mattola (almarhum), Abun Sanda (kini wartawan Kompas), dan beberapa nama lainnya. Tulisan pertamanya pun (artikel) dimuat di koran kampus Identitas terbitan UNHAS, kemudian secara rutin menulis di beberapa harian di Makassar.

Lahir di Makassar dan menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Kemudian Magister Hukum di Universitas Gajah Mada (UGM), dan Magister Kenotariatan juga di UGM Yogyakarta, serta berbagai pendidikan informal lainnya di bidang hukum ekonomi dan perbankan, serta Qualified Internal Auditor (QIA).

Selain sebagai dosen pada Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman (UNMUL) Samarinda, juga menjabat sebagai Direktur PT Sarana Kaltim Ventura (lembaga pembiayaan). Pernah bekerja di Bank Bukopin selama lebih kurang 12 tahun, baik di beberapa kantor cabang maupun di kantor pusat Jakarta, yang diantaranya pernah menjabat sebagai Legal Officer selama 6 (enam) tahun dan membantu Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) sebagai Internal Auditor.

Daftar Isi

Halaman Moto
Tentang Penulis
Pengantar
Daftar Isi
Bab I  Hukum dan Arsitektur Perbankan Indonesia
     A. Pengertian dan Arti Penting Hukum Perbankan
     B. Arsitektur Perbankan Indonesia
     C. Kredit dalam Perspektif Hukum dan Arsitektur Perbankan
Bab II   Subjek Hukum dalam Perjanjian Kredit/Bank Garansi
     A. Perorangan dan Perusahaan Perseorangan
          1. Perorangan
          2. Perusahaan Perseorangan
     B. Badan Usaha dan Badan Hukum
          1. Badan Usaha yang Berbadan Hukum
               a. Perseroan  (PT) menurut KUH Dagangterbatas
               b. Perseroan terbatas menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas
               c. Koperasi
               d. Yayasan
          2. Badan Usaha yang Tidak Berbadan Hukum
               a. Perseroan firma
               b. Perseroan komanditer
Bab III  Pemberian Kredit dalam Perjanjian
     A. Pengertian Kredit
     B. Jenis-Jenis Kredit
     C. Persetujuan Pemberian Kredit
     D. Kredit Sindikasi
     E. Kredit dengan Prinsip Syariah
     F. Kredit Harus Berwawasan Lingkungan
Bab IV  Pemberian Bank Garansi dalam Perjanjian
     A. Pengertian Bank Garansi
     B. Jenis-Jenis Bank Garansi
     C. Persetujuan Pemberian Bank Garansi
     D. Klaim dan Jatuh Tempo Bank Garansi
Bab V  Perjanjian Kredit/Bank Garansi sebagai Perjanjian Pokok
     A. Perjanjian pada Umumnya
     B. Perjanjian Kredit/Bank Garansi
          1. Jenis-Jenis Perjanjian Kredit/Bank Garansi
               a. Perjanjian kredit/pemberian bank garansi di bawah tangan
               b. Perjanjian kredit/pemberian bank garansi notariil (otentik)
          2.  Komposisi Perjanjian Kredit/Pemberian Bank Garansi
          3. Isi Perjanjian Kredit/Pemberian Bank Garansi
               a. Isi perjanjian kredit
               b. Isi perjanjian pemberian bank garansi
          4. Berakhirnya Perjanjian Kredit/Pemberian Bank Garansi
     C. Pengakuan Hutang
Bab VI  Jaminan dan Pengikatannya sebagai Perjanjian Asesoir
     A. Pengertian Jaminan
     B. Jenis-Jenis Jaminan
          1. Jaminan Perorangan
          2. Jaminan Kebendaan
               a. Tanah dan bangunan
               b. Kapal
               c. Kendaraan bermotor dan alat berat
               d. Stok barang
               e. Mesin-mesin
               f. Deposito
               g. Tagihan
     C. Penilaian Barang Jaminan
D. Jenis-Jenis Pengikatan Barang Jaminan
     1. Hipotik, Creditverband, dan Hak Tanggungan
          a. Hipotik dan credietverband
          b. Hak tanggungan
     2. Gadai
          a. Objek gadai
          Untitled
          b. Terjadinya gadai
          c. Hak dan kewajiban para pihak
          d. Hapusnya gadai
3. Fidusia
     a. Sebelum berlakunya Undang-Undang Fidusia
     b. Setelah berlakunya Undang-Undang Fidusia
Bab VII  Prinsip Kehati-Hatian dalam Pemberian Kredit
     A. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
     B. Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
     C. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
     D. Restrukturisasi Kredit
     E. Larangan Pemberian Kredit untuk Kegiatan Usaha Tertentu
     F. Pemberian Kredit yang Sehat Berdasarkan Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB)
Bab VIII  Antisipasi dan Penyelesaian Kredit Bermasalah/Macet
     A. Antisipasi Kredit Bermasalah
     B. Penyelesaian Kredit Bermasalah/Macet
          1. Litigasi
               a. Pengadilan Negeri
               b. Pengadilan Niaga
               c. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
          2. Arbitrase dan Alternative Dispute Resolution (ADR)
               a. Arbitrase
               b. Alternative Dispute Resolution (ADR)
                    1) Negosiasi
                    2) Mediasi
Bab IX   Lain-Lain yang Berhubungan dengan Kredit/Bank Garansi
A. Grosse Akta
     1. Pengertian dan Pengaturan
     2. Tata Cara Pemberian Grosse
     3. Executorial Title dan Crachts Executorial
B. Pemberian Kuasa
     1. Pengertian Kuasa
     2. Terjadinya Pemberian Kuasa
     3. Jenis-Jenis Pemberian Kuasa
     4. Kewajiban Para Piha
     5. Berakhirnya Pemberian Kuasa
C. Asuransi
     1. Pengertian dan Fungsi Asuransi
     2. Terjadinya Asuransi
     3. Polis sebagai Akta Asuransi
     4. Asuransi bagi Bank
Kepustakaan
Lampiran I  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Lampiran II  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Lampiran III Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1995 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Lampiran IV Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Kutipan

Bab I
BAB I HUKUM DAN ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA A. PENGERTIAN DAN ARTI PENTING HUKUM PERBANKAN Bukan tidak mungkin, jika hal yang pertama-tama timbul dalam hati setiap orang yang akan memulai mempelajari aspek-aspek hukum yang berhubungan dengan praktek perbankan adalah pertanyaan: "Apa pengertian atau definisi hukum perbankan itu?" Pertanyaan yang sangat wajar. Akan tetapi, juga bukan tidak mungkin jika sampai selesai kita membaca sebuah buku yang berisi aspek-aspek hukum mengenai operasional perbankan, kita tidak menemukan definisi hukum perbankan.

Kenyataannya, sampai saat ini masih sangat kurang/jarang ditemukan referensi mengenai definisi atau pengertian tentang hukum perbankan yang diberikan oleh para sarjana atau pakar (hukum) perbankan. Mungkin, salah satu alasannya, karena walaupun kita tidak memberikan definisi, secara selintas kita akan mengerti dan memahami arti dan ruang lingkupnya dengan berdasar pada pengertian hukum dan pengertian bank (perbankan) itu sendiri. Oleh karenanya, kita akan berpendapat bahwa hukum perbankan tidak terlalu penting untuk didefinisikan.

Namun demikian, Muhamad Djumhana (1993) telah mencoba membuat suatu batasan/rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan hukum perbankan, yaitu sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan eksistensinya serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.


Bab II
BAB II SUBJEK HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT/BANK GARANSI
Dalam dunia hukum, subjek hukum adalah sesuatu badan yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan hukum, baik perbuatan sepihak maupun perbuatan dua pihak. Pada dasarnya, subjek hukum terdiri dari manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon).

Namun demikian, melihat pada kenyataan prakteknya, maka di dalam buku ini penulis akan membagi subjek hukum, sebagai pihak-pihak (lawan dari bank) dalam suatu perjanjian kredit dan atau bank garansi, yaitu:
A. Perorangan dan perusahaan perorangan
B. Badan usaha dan badan hukum:
1. Badan usaha yang berbadan hukum dan
2. Badan usaha yang tidak berbadan hukum.

Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan pembagian subjek hukum tersebut di atas, yaitu:

• Ditinjau dari segi jumlah pemiliknya, perusahaan dikelompokkan menjadi:
1. Perusahaan perseorangan yang dimiliki oleh seorang pengusaha saja dan
2. Perusahaan persekutuan yang dimiliki oleh lebih dari seorang atau beberapa orang pengusaha yang bekerja sama dalam suatu persekutuan.

• Ditinjau dari segi status pemilikannya, perusahaan akan dikelompokkan menjadi:
1. Perusahaan swasta yang dimiliki oleh pengusaha swasta termasuk koperasi dan
2. Perusahaan negara yang dimiliki oleh negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

• Ditinjau dari segi bentuk hukumnya, perusahaan akan dibagi menjadi:
1. Perusahaan berbadan hukum yang selalu berupa persekutuan dan
2. Perusahaan tidak berbadan hukum yang selain dapat berupa perusahaan persekutuan, dapat pula berupa perusahaan perseorangan.

Subjek hukum tersebut di atas, baik ditinjau dari segi pemilikannya maupun dari bentuk hukumnya, sebagai debitur tentu saja cara penanganan dan analisis yuridisnya akan berlainan antara satu dan yang lainnya. Oleh karenanya, untuk memudahkan para bankir memberikan opini, maka berikut ini penulis akan menguraikan satu per satu seluk-beluk dan kelengkapan yuridisnya sebelum menjadi debitur.

Bab III
BAB III PEMBERIAN KREDIT DALAM PERJANJIAN
A. PENGERTIAN KREDIT
Harus diakui, dibandingkan dengan produk dan jasa perbankan yang ditawarkan—pendapatan atau keuntungan suatu bank lebih banyak bersumber dari pemberian kredit kepada nasabahnya, terlebih lagi bagi bankbank yang belum berstatus bank devisa. Oleh karenanya, pemberian kredit tersebut secara terus-menerus dalakukan oleh bank dalam kesinambungan operasionalnya. Pada akhirnya, pemberian kredit sudah menjadi fungsi utama bank-bank, sebagaimana disyaratkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.

Namun, pada sisi lain, penyaluran dana dalam bentuk kredit kepada nasabah, terdapat risiko tidak kembalinya dana atau kredit yang disalurkan tersebut, sehingga ada adagium yang berbunyi: "Bisnis perbankan adalah bisnis risiko" dan dengan pertimbangan risiko inilah, bank-bank selalu harus melakukan analisis yang mendalam terhadap setiap permohonan kredit yang diterimanya.

Kredit dilihat dari sudut bahasa berarti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapatkan kredit dari bank, orang atau badan usaha tersebut telah mendapat kepercayaan dari bank pemberi kredit.

Menurut O.P. Simorangkir (1988), kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur.

Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasrkan atas komponen-komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa mendatang.

Bab IV
BAB IV PEMBERIAN BANK GARANSI DALAM PERJANJIAN
A. PENGERTIAN BANK GARANSI
Pada dasarnya bank garansi merupakan perjanjian penanggungan yang diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata. Istilah garansi sendiri berasal dari bahasa Inggris guarantee atau guaranty yang berarti menjamin atau jaminan.

Dalam bahasa Belanda disebut dengan borgtog. Dan isitilah inilah yang paling sering kita dengar selain bank garansi sendiri.

Di satu sisi, pemberian garansi dapat dilihat sebagai suatu jaminan atas hutang atau pekerjaan yang harus dilakukan oleh sesuatu pihak. Akan tetapi, di sisi lain, pemberian garansi tersebut kebanyakan sebenarnya juga merupakan salah satu model pembayaran, yakni memberikan pembayaran jika ada hutang yang tidak terbayar atau ada pekerjaan yang tidak terlaksana.

Menjamin atau jaminan dalam perjanjian garansi dimaksudkan sebagai tindakan dari pihak garantor untuk menjamin bahwa jika seseorang tidak menunaikan kewajibannya, misalnya tidak membayar hutang-hutangnya, si garantor tersebutlah yang akan melaksanakan/mengambil alih kewajiban tersebut (Munir Fuady, 1997). Jadi, jika bank yang menjadi garantornya, banklah yang akan melaksanakan atau mengambil alih kewajiban tersebut, yang biasanya berupa pembayaran ganti rugi.

Di dalam kegiatan pemberian jasa-jasa perbankan kepada nasabah, bank dapat memberikan jasa-jasa pemberian bank garansi, sepanjang tidak bertentangan/melanggar dari peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Bank Indonesia. Bahkan, oleh bank pemberian bank garansi ini sudah merupakan produk/jasa yang ditawarkan dalam rangka mendapatkan pendapatan (fee). Seperti juga yang diutarakan Munir Fuady (ibid.) bahwa pemberian garansi oleh bank sudah merupakan bisnis rutin dari bank, di mana bank akan mendapatkan provisi karenanya, provisi mana dihitung dari persentase tertentu dari jumlah yang digaransikan itu. Jadi, bagi bank telah merupakan salah satu sumber income yang bersifat fee based.

Bab V
BAB V PERJANJIAN KREDIT/BANK GARANSI SEBAGAI PERJANJIAN POKOK
A. PERJANJIAN PADA UMUMNYA

Suatu perjanjian atau persetujuan dalam istilah KUH Perdata, yaitu perbuatan dengan mana 1 orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Hubungan antara 2 orang tersebut adalah suatu hubungan hukum di mana hak dan kewajiban di antara para pihak tersebut dijamin oleh hukum.

Menurut Prof. Subekti, S.H., suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana 2 orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara 2 orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara 2 orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Sedangkan yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara 2 orang atau 2 pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur atau si berutang (Subekti, 1979).

Bab VI
BAB VI JAMINAN DAN PENGIKATANNYA SEBAGAI PERJANJIAN ASESOIR

Bahwa tidak ada seorang pun dapat menjamin kepastian tentang forecast di masa mendatang dan berdasarkan pengalaman bahwa "tidak ada satu pun" cara atau sarana hukum yang dapat mencegah seseorang mengingkari janjinya.

Seperti telah kita maklumi bersama, sekalipun bank telah memegang surat-surat agunan, jika kredit itu bermasalah dan macet, bank tidak sertamerta dapat mengeksekusi agunan tersebut. Jalan yang ditempuh cukup panjang. Terlebih jika nasabah yang bersangkutan juga berkilah dan atau ingkar untuk tidak bersedia melepas agunannya. Melalui jalan pengadilan pun tidak gampang.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 hanya mengingatkan kita untuk senantiasa berhati-hati dalam hal menyangkut masalah pemberian kredit. Karenanya, tetap pihak bank guna mengantisipasi "kerugian" yang mungkin timbul ini sangat diperlukan. Untuk itu, seyogianya bank memanfaatkan secara optimal peranan satuan hukumnya (legal departemen), baik yang menyangkut perjanjian kredit maupun tentang segala aspek yang berkaitan dengan barang agunan beserta cara-cara pengikatannya.

Barang agunan perlu diteliti keabsahannya untuk menghindari kemungkinan bahwa barang telah diagunkan pada pihak lain atau barang agunan tersebut dalam sengketa atau kemungkinan bahwa barang yang diagunkan milik orang lain.

Di samping itu, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan, antara lain, tentang hal-hal yang menyangkut apakah agunan tidak sedang dalam perselisihan; bagaimana mekanisme pengikatan jaminan; bagaimana prosedur pengikatan agunannya; bagaimana kepastian nilai hak tanggungan dan sebagainya.

Oleh sebab itu, kadar ketelitian bagian hukum masing-masing bank sangat penting (Deddi Anggadiredja, 1994).

Bab VII
BAB VII PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menegaskan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian.

Lebih lanjut, Penjelasan Umum undang-undang tersebut menguraikan bahwa prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh, sedangkan ketentuan mengenai kegiatan usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana termasuk di dalamnya peningkatan peranan analisis mengenai dampak lingkungan bagi perusahaan berskala besar dan berisiko tinggi.

Pengertian prinsip kehati-hatian sendiri adalah prinsip pengendalian risiko melalui penerapan peraturan peundang-undangan dan ketentuan yang berlaku secara konsisten.

Melihat semakin besarnya dana masyarakat yang berhasil dihimpun perbankan dari waktu ke waktu, maka otomatis otoritas moneter dan perbankan di seluruh dunia selalu peduli akan keamanan dana masyarakat yang disimpan di perbankan, mengingat perbankan adalah roda penggerak perekonomian negara. Mempertimbangkan hal tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka Bank Indonesia selaku otoritas perbankan sangat peduli terhadap pengaturan perbankan, baik tentang persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan izin usaha maupun penetapan ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha bank, misalnya, Batas Maksimum Pemberian Kredit, Capital Adequacy Ratio, Kualitas Aktiva Produktif, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif, dan Posisi Devisa Neto.

Prinsip kehati-hatian ditujukan pada keamanan dan kesehatan lembaga keuangan dalam kaitannya dengan perlindungan nasabah khususnya kerugian nasabah yang timbul ketika institusi tersebut bangkrut walaupun tidak menimbulkan dampak terhadap sistem keuangan.

Pengaturan ketentuan kehati-hatian dan pelaksanaan pengawasan serta pemeriksaan perbankan dilaksanakan karena nasabah tidak berada dalam posisi untuk menilai dan mengetahui keamanan serta kesehatan dari banknya serta tidak memiliki informasi yang lengkap tentang kegiatan usaha lembaga keuangannya. Hal tersebut perlu dilaksanakan sekalipun nasabah dapat menuntut kompensasi pembayaran dana yang disimpan di banknya dari deposit insurance fund atau penjaminan pemerintah dalam hal banknya dilikuidasi (lihat: Sundari Arie, 2001).

Bab VIII
BAB VIII ANTISIPASI DAN PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH/MACET

Idealnya, dalam suatu proses pemberian kredit perbankan, aparat perkreditan bank lebih banyak aktif dan berperan mulai pada saat analisis pendahuluan sampai pada saat pencairannya. Selebihnya, akan lebih banyak ditangani oleh pejabat perkreditan yang oleh perbankan modern saat ini dikenal dengan "Account Officer". Sedangkan apabila kredit yang diberikan tersebut menjadi bermasalah, akan diserahkan dan diambil alih oleh suatu bagian lagi yang dikenal dengan "Settlement Department".

Namun demikian, untuk lebih melengkapi pembahasan dalam bab ini, penulis akan menguraikan sekilas tentang kredit bermasalah yang memerlukan penanggulangan secara konsepsional. Kredit bermasalah sering kali dipersamakan dengan kredit macet, padahal keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas macet ditambah dengan kredit-kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan yang mempunyai potensi menjadi macet. Sedangkan kredit macet adalah kredit yang angsuran pokok dan bunganya tidak dapat dilunasi selama lebih dari 2 masa angsuran ditambah 21 bulan, atau penyelesaian kredit telah diserahkan kepada pengadilan/BUPLN atau telah diajukan ganti rugi kepada Perusahaan Asuransi Kredit. Dengan demikian, kredit macet merupakan kredit bermasalah, tetapi kredit bermasalah belum/tidak seluruhnya merupakan kredit macet (Lihat: Subarjo Joyosumarto, 1994).

Penting digarisbawahi bahwa, baik kredit bermasalah maupun kredit macet tersebut diukur dari kolektibilitas kredit yang bersangkutan. Artinya, kapan suatu kredit dikatakan bermasalah atau macet dapat dilihat dari kolektibilitas suatu kredit, sebagaimana telah diulas dalam bab terdahulu mengenai kolektibilitas suatu kredit.

Setidaknya ada dua hal yang penting diketahui dan dilaksanakan dalam rangka optimalisasi keamanan penyaluran kredit, yaitu antisipasi dan penyelesaian kredit bermasalah.

Bab IX
BAB IX LAIN-LAIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KREDIT/BANK GARANSI

Pada bagian ini akan diuraikan tiga hal yang menurut penulis penting untuk diketahui sehubungan dengan proses pemberian kredit dan atau bank garansi. Adapun ketiga hal tersebut, berturut turut akan dibahas, yaitu grosse akta; pemberian kuasa; dan asuransi.

A. GROSSE AKTA
Tampaknya, masalah grosse akta semakin berkembang sebagai lembaga hukum mengikuti lajunya perkembangan kehidupan perkreditan, pada saat sekarang sudah tidak bisa dilepaskan dari ikatan hubungan persetujuan yang dituangkan dalam bentuk grosse akta. Luasnya frekuensi dan intensitas perjanjian pinjaman uang dalam lalu lintas dunia bisnis dan industri pada 15 tahun terakhir ini telah menyeret Pasal 224 HIR ke kancah arena perputaran hubungan dunia keuangan dan perbankan.

1. Pengertian dan Pengaturan Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan "grosse akta" itu? Sampai saat ini tidak ada suatu undang-undang atau peraturan yang memuat tentang pengertian atau definisi grosse akta secara lengkap. Beberapa sarjana, memberikan pengertian atau rumusan grosse akta sebagai berikut:

• G.H.S. Lumban Tobing Mengartikan grosse sebagai salinan atau (secara pengecualian) kutipan, dengan memuat di atasnya (di atas judul akta) dengan kata-kata: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan di bawahnya dicantumkan kata-kata: "Diberikan sebagai Grosse Pertama", dengan menyebut nama dari orang, yang atas permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal pemberiannya.

• Victor M. Situmorang, S.H. & Dra. Cormentyna Sitanggang Grosse akta ialah suatu salinan atau turunan dari akta otentik yang memakai kepala di atasnya kata-kata: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", dan pada bagian bawahnya harus dicantumkan sebagai Grosse Pertama dengan menyebutkan nama orang yang atas permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal pemberian grosse itu, di mana salinan tersebut mempunyai kekuatan eksekusi yang sama dengan satu putusan pengadilan yang tetap.