Perlukah industri alat berat nasional diproduksi
Industri alat berat Indonesia tidak asing lagi de ngan yang namanya krisis ekonomi. Dalam dua dekade terakhir, sedikitnya ada tiga gejolak ekonomi yang membuat industri yang padat modalini kelimpungan. Pada saat krisis moneter (krismon) 1998, yang dipicu oleh gejolak nilai tukar mata uang Rupiah terhadap USD dan berubah menjadi krisis ekonomi, banyak pemain alat berat terpaksa gulung tikar.
Beberapa dari mereka mengubah komposisi kepemilikannya agar tetap eksis di pasar Indonesia. Selang 10 tahun kemudian (2008), gejolak ekonomi kembali terjadi karena efek dari krisis ekonomi global yang bermula dari kebangkrutan beberapa lembaga pemberi pinjaman seperti Lehman Brothers di Amerika Serikat, yang memberikan dana kepada para peminjam yang sebenarnya tidak mampu membayar.
Dalam tempo singkat krisis itu menjalar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Namun, kedua badai ekonomi itu sudah menjadi sejarah masa lalu, yang menjadi pelajaran berharga bagi kondisi saat ini. Memasuki tahun 2020, dunia digentarkan oleh wabah penyakit mematikan, Covid19, yang menjalar liar ke berbagai penjuru dunia dengan gejalagejala yang tidak kasat mata.
Celakanya, hingga kini para ahli belum temukan vaksin untuk menangkis virus yang mematikan ini. Serangan Covid19 memaksa warga dunia mengurung diri di dalam rumah selama berbulanbulan, menjaga jarak fisik (social distancing) dan masih banyak lagi “tabu” social lainnya. Kondisi tersebut membuat kegiatan ekonomi berhenti, termasuk pengerjaan berbagai proyek yang mengandalkan aplikasi peralatan berat.
Meski sejak awal Juni 2020 Pemerintah Indonesia sudah melonggarkan aturanaturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan memberikan kesempatan pada sejumlah besar industri untuk kembali beraktivitas dengan protokol kesehatan yang ketat, namun kondisi perekonomian Indonesia belum menunjukkan perubahan signifikan. Pasar alat berat/konstruksi, misalnya belum juga menunjukkan peningkatan.