Dilema TKDN versus produk impor
Ada sebuah isu menarik yang menyeruak di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung surut. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, jelang akhir tahun 2020 menyatakan pihaknya tidak akan mengimpor alat-alat berat untuk seluruh kegiatan proyek konstruksi di bawah kementeriannya pada tahun 2021.
Artinya, pemerintah akan memprioritaskan penggunaan mesin-mesin buatan industri dalam negeri, yang memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sesuai standar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Republik Indonesia.
Produk-produk yang telah mendapat standar TKDN menjadi prioritas belanja barang dan jasa pemerintah. Apabila barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan sudah memenuhi standar TKDN, maka produk-produk impor yang sejenis tidak perlu masuk e-catalog, dan instansi-instansi pemerintah bisa memanfaatkan barang-barang di e-catalog dengan bobot TKDN yang sudah sesuai standar.
Kemenperin sudah cukup lama mendorong peningkatan TKDN dalam pengadaan barang dan jasa di industri alat berat. Upaya itu dimaksudkan untuk memberdayakan industri alat berat domestik supaya lebih mandiri, berdaya saing serta mengurangi ketergantungan pada produk-produk impor. Hal ini sejalan dengan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas industri-industri nasional.
Saat ini laju proyek-proyek infrastruktur tidak seramai seperti saat sebelum pecahnya pandemi Covid-19. Banyak proyek yang penggarapannya belum dalam kapasitas penuh. Bahkan ada yang ditangguhkan sama sekali. Sementara yang lainnya sedang bersiap-siap untuk mulai digarap. Akibatnya, permintaan alat-alat konstruksi belum stabil. Tetapi, ketika proyek-proyek infrastruktur kembali ramai, dan kebutuhan alat-alat konstruksi makin banyak, rencana kebijakan Kementerian PUPR tersebut bisa mengganggu bisnis para distributor alat-alat impor.
Sebab, yang boleh digunakan dalam proyekproyek infrastruktur Pemerintah dan semua BUMN Karya hanya alat-alat yang sudah dimasukkan dalam e-catalog pemerintah. Dan alat-alat berat yang masuk e-catalog hanya yang sudah memenuhi syarat TKDN di atas 40 persen. Pemerintah melalui Kementrian PUPR maupun Pemda-Pemda di seluruh Indonesia tinggal mengambil dari e-catalog itu.
Jadi, produk-produk impor tidak punya akses sama sekali untuk masuk dalam e-catalog dimaksud. Sejauh ini belum ada sikap yang jelas dari Perhimpunan Agen Tunggal Alat Berat Indonesia (PAABI) maupun perusahaanperusahaan importir dan distributor-distributor mesin-mesin impor terhadap rencana Pemerintah tersebut.
Namun, dari sisi Hinabi (Himpunan Industri Alat Berat Indonesia), konsistensi Pemerintah (cq Kementerian PUPR) dalam menerapkan kebijakan itu akan menjamin kejayaan industri alat berat dalam negeri. Tentu saja rencana itu tanpa menegasikan penggunaan alat-alat yang belum ada fabrikasinya di Indonesia dalam penggarapan proyek-proyek pemerintah.