Industri batu bara Indonesia sedang mengalami musim semi di tengah pandemi COVID-19 yang masih terus mengancam. Setelah cukup lama terombang ambing karena hantaman berbagai badai, bisnis energi ini sudah mulai pulih. Harga komoditas yang juga disebut emas hitam ini semakin menguat. Bahkan ICE Newcastle (Australia), salah satu referensi harga batu bara, mencatat harga batu bara baru-baru ini menyentuh rekor tertinggi, yaitu USD 206,25/ton, rekor tertinggi sejak tahun 2008.
Lonjakan harga batu bara akhir-akhir ini dipicu oleh meningkatnya permintaan dari negaranegara seperti Tiongkok, India, Korea Selatan dan Kawasan Eropa. Dua negara yang pertama itu memang dikenal sebagai pelanggan besar batu bara Indonesia selama ini. Kenaikan kebutuhan energi terjadi seiring dengan pemulihan ekonomi global yang terjadi saat ini. Sebetulnya bukan hanya batu bara yang permintaanya meningkat, tetapi juga minyak dan gas bumi. Bahkan harga gas yang menguat signifikan memaksa beberapa negara beralih ke sumber energi batu bara.
Lonjakan harga batu bara tersebut berdampak terhadap aktivitas penambangan. Perusahaan-perusahaan tambang batu bara kembali menggenjot aktivitas produksi mereka untuk memenuhi kebutuhan pasar, baik domestik maupun ekspor. Kondisi ini memicu peningkatan kebutuhan peralatan berat. Hampir semua suplier alat berat mengakui sejak semester pertama tahun ini penjualan mesin-mesin tambang meningkat, bahkan ada yang mengalami lonjakan luar biasa. Mereka optimis hingga akhir tahun nanti trennya positif.
Kunci pergerakan pasar peralatan tambang adalah harga komoditas. Selama harga batu bara bagus, karena permintaan tinggi, kebutuhan peralatan akan terus mengikuti. Sebaliknya, jika permintaan batu bara berkurang sehingga harganya turun, aktivitas penambangan pun ikut sepi yang, pada gilirannya, membuat pasar alat berat pun lesu.