Kontroversi Larangan Ekspor Batubara
Larangan ekspor batubara yang hanya berlaku sebulan penuh selama Januari 2022 menimbulkan kontroversi yang sengit. Hal ini menunjukkan betapa vitalnya peran industri batubara dalam konstelasi perekonomian nasional.
Batubara merupakan salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kalau larangan ekspor emas hitam itu dipertahankan, dampak ikutan yang ditimbulkannya akan berderet-deret. Banyak industri pendukungnya yang akan ikut terseret, termasuk salah satunya adalah peralatan berat. Daya serap pasar mesin-mesin tambang akan ikut terimbas jika produksi batubara menurun.
Saat larangan itu diumumkan, para pelaku industri batubara sampai terkaget-kaget, bahkan panik. Mereka merasa kebijakan itu seperti petir di siang bolong. Meski harga masih fluktuatif, pasar ekspor lebih menjanjikan bagi para produsen dibandingkan pasar lokal. Harga batu bara di pasar ekspor jauh lebih tinggi daripada harga di pasar domestik. Jika pasar ekspor ditutup, bisnis mereka terancam merugi, bahkan gulung tikar.
Adalah APBI (Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia) yang paling cepat merespons larangan ekspor tersebut. Sebagai wadah bagi perusahaanperusahaan tambang batubara, APBI langsung mengirimkan surat protes pada tanggal 1 Januari 2022 atau sehari setelah keluarnya kebijakan larangan ekspor dari Kementerian Energi dan Sumber Mineral (ESDM) melalui surat Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Nomor B-1605/MB.05/ DJB.B/2021 pada tanggal 31 Desember 2021.
APBI menilai langkah itu terlalu tergesa-gesa dan tanpa pembahasan dengan para pelaku industri batubara. Oleh sebab itu, asosiasi ini mendesak Menteri ESDM untuk mencabut surat tersebut. APBI membeberkan serangkaian alasan-alasan penolakan, dampak-dampak larangan ekspor plus beberapa rekomendasi solusi. Protes terhadap larangan ekspor batubara tidak hanya disampaikan oleh pelaku-pelaku industri batubara dalam negeri, tetapi juga dari negara-negara yang mengandalkan pasokan batubara dari tanah air seperti Jepang, Korea Selatan dan Filipina.
Sebetulnya, ada tiga negara yang menjadi tujuan utama batubara dari Indonesia, yakni India, China dan Jepang. Selain itu, menurut catatan Kementerian ESDM, dalam lima tahun terakhir, batubara Indonesia juga diekspor ke Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, Filipina, Thailand, Hong Kong dan Spanyol. Seperti diketahui, larangan ekspor batubara dilakukan pemerintah karena rendahnya pasokan batubara untuk pembangkit listrik domestik. Persediaan batubara di beberapa PLTU yang memasok listrik ke PLN sangat terbatas.
Kalau krisis pasokan batubara itu tidak segera teratasi, maka lebih dari 10 juta pelanggan PLN akan mengalami gangguan alias pemadaman. Terdapat sekitar 20 PLTU yang akan mati jika larangan ekspor tidak dilakukan. Pemicu krisis pasokan batubara itu, menurut Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Jamaludin, karena banyaknya perusahaan tambang yang tidak memenuhi Domestic Market Oblogation (DMO).
Kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik mencapai 10 juta ton hingga 11 juta ton per bulan. Sementara itu, dari 5,1 juta metrik ton batu bara penugasan untuk PLTU, hanya 35.000 metrik ton atau kurang dari 1 persen yang dipenuhi untuk menyuplai ke pembangkit listrik. Kondisi ini menghadapkan pemerintah pada dua pilihan sulit, yaitu antara listrik mati yang mengganggu kegiatan masyarakat atau ekspor batubara.
Meski sempat melarang ekspor demi kelancaran pasokan batubara untuk kebutuhan listrik dalam negeri, pemerintah akhirnya mencabut kebijakan itu, tentu dan syarat dan ketentuan berlaku. Pemerintah hanya memberikan izin ekspor kepada perusahaanperusahaan yang sudah memenuhi kewajiban DMO.
Produsen-produsen batubara yang mengabaikan ketentuan DMO, yang tidak memanfaatkan atau bahkan menyalahgunakan izin dari pemerintah akan dikenakan sanksi, termasuk mencabut izin usaha. Mudah-mudahan kontroversi batubara tersebut menjadi pembelajaran baik bagi pemerintah maupun perusahaan- perusahaan tambang untuk menata industri ini lebih baik lagi ke depan.