Beberapa waktu lalu di salah satu situs ada artikel tentang beberapa perilaku ganggu yang paling sering dilakukan friends/circle/followers kita di media sosial. Mulai dari ngeluhin macet melulu, padahal emang udah tau bahwa macet adalah konsekuensi hidup di kota besar, lalu keseringan wefie dengan status sok mesramesraan sama pasangan, sampai sahutsahutan dengan yayangnya dengan bahasa dan mengenai hal-hal yang cuma dimengerti sama mereka berdua. Di atas itu semua, yang menurut artikel itu perilaku paling ganggu adalah: keseringan update status yang konon maunya mengkritik tapi malah jadinya ngeluh dan superduper nyinyir nggak jelas terhadap kondisi sosial politik di sekitarnya.
Penulis artikel itu sampe bilang, dengan gaya yang nggak kalah nyinyir, bahwa yang hobinya posting keluhan superduper nyinyir itu tergolong orang-orang yang kurang kerjaan dan justru perlu dipertanyakan kontribusi nyatanya pada perbaikan lingkungan di sekitarnya.
“Mereka itu hidup dalam gua sendiri, menelan semua informasi mentah-mentah, mengolahnya sendiri, lalu berkesimpulan dan memuntahkannya sesuka hati, dengan harapan besar bahwa apa yang dimuntahkannya itu adalah sebuah keniscayaan absolut, ” kira-kira gitulah yang dibilang sama artikel itu.
Di satu sisi, mungkin si penulis sebegitu gemasnya sehingga lupa kalau yang namanya media sosial suka atau nggak memang bisa berfungsi jadi “keranjang sampah”. Jadi ya wajar-wajar saja jika kalau ada yang mau “nyampah” di situ. Tapi di sisi lain, yang tentu lebih positif, bisa saja si penulis mau mengkritisi perilaku kayak gitu dan coba untuk mengajak kita memanfaatkan media sosial untuk hal-hal yang lebih konstruktif alias asik ketimbang hanya nyampah.
Sudah banyak pula buktinya bahwa keisengan di media sosial justru melahirkan kolaborasi-kolaborasi ciamik. Yang walau hasilnya mungkin masih cekak tetapi tetap jauh lebih berharga ketimbang hanya ngeluh, nyinyir, atau nyampah. Ya kan?