“Apa buku terakhir yang kamu baca?” Saya ingat betul pertanyaan ini yang pertama dilayangkan saat interview masuk ke HAI dulu. Siapa yang nanya, saya lupa persisnya. Bisa jadi Iwan Iskandar, editor-in-chief waktu itu, bisa pula salah satu dari para editor yang ikut menginterview. Yang jelas, waktu itu saya nggak terlalu paham apa urusannya mereka pengen tahu soal buku apa saja yang saya baca. Sudah itu, saya diminta buat menceritakan kembali secara ringkas isi buku yang saya baca itu. Beruntung, karena memang saat itu masih cukup sering mengisi waktu luang dengan membaca: buku, komik, majalah atau apa saja, saya nggak musti ngarang bebas untuk menjawab pertanyaan itu.
Belakangan, setelah nyebur betulan ke kesibukan sebagai jurnalis, saya pun paham maksud dari pertanyaan itu. Dalam menjalani profesi yang sangat erat hubungannya sama tulis menulis, agak-agak mustahil rasanya kalau saya nggak suka – minimal nyempetin diri buat – membaca. Soalnya dari membaca selain jadi tahu banyak hal, paling tidak saya bisa nyontek gaya menulis, melatih alur atau logika berpikir runut yang tentunya sangat berguna bagi kerjaan saya sehari-hari: menceritakan sebuah peristiwa atau masalah atau apa saja, dari berbagai macam data atau fakta serta informasi yang sudah saya kumpulkan sebelumnya. Kalau cerita saya nggak urut, lompat-lompatan atau bahkan nggak lengkap, kan nggak asik? Sama juga nggak asiknya kalau gaya bahasa yang saya pakai cenderung kaku dan monoton. Ya toh?
Di soal pergaulan pun begitu. Sering saya bertemu orang yang keliatannya asik, tapi begitu ngobrol, kadar keasikannya berkurang drastis. Gara-garanya sepele, jarang baca. Semua info yang diserap sama dia didapat kalau nggak hanya dari media sosial, ya omongan teman. Terbatas hanya itu-itu saja. Bahkan nggak jarang saya kebingungan sendiri mengikuti alur cerita mereka. Soalnya, nggak jelas mana awal, mana akhirnya. Pusing.
So, beruntunglah kamu yang masih suka nyempetin diri buat baca. Beneran. Seriusan.