Saya nggak punya catatan kapan pastinya istilah “pensi” digunakan untuk menyebut acara seni buatan anak sekolah. Kalau menurut HAIFiles, sih, istilah itu baru muncul pada 1989. Konon istilah ini dipakai buat menyebut ajang helatan anak-anak SMA PL masa itu. Biar ringkas dan lebih mudah diingat, serta lebih informal, namun tetap merujuk pada pengertian awalnya, jadilah HAI pada saat itu memakai kata ini dalam artikel tentang acara itu. Setelah itu, kata ini kami pakai terus menerus untuk menyebut acara sejenis. Dan sejalan dengan makin banyak acara sejenis di berbagai sekolah, kata pensi jadi makin jamak dipakai oleh siapa saja.
Satu hal yang menarik tentang pensi ini adalah perkembangannya dari waktu ke waktu. Bagaimana acara yang tadinya berskala internal-semua terlibat-semua senang-mayoritas proyek tengkyu berubah rupa 180 derajat jadi berskala (kalau bisa, minimal) regional – yang terlibat sebagian besar adalah profesional – belum tentu semua senang (karena artis penampil kesukaannya nggak jadi dimainkan) – hampir selalu mega-budget. Dari yang tadinya hanya bertujuan menyenangkan warga sekolah, jadi ajang yang, seperti mau memamerkan kemampuan materiil warga sebuah sekolah.
Saya nggak mau bilang kalau hal terakhir itu sepenuhnya jelek atau lebih buruk. Soalnya dalam bayangan saya pensi itu tetap merupakan wadah kreativitas kita. Di situ kita belajar berorganisasi, bernegosiasi, juga mengonsep serta mewujudkannya sekaligus. Dan kalau bicara kreativitas, harusnya ya nggak dibatasi oleh apapun, termasuk hitungan budget tertentu. Kenapa belajar? Ya karena pelakunya kan kita-kita, pelajar, bukan profesional yang tujuan atau pekerjaan utamanya nyari untung dari bikin event macam ini.
Makanya pas dengar ada beberapa sekolah yang melarang penyelenggaraan pensi beberapa waktu lalu, saya agak bingung. Lebih bingung lagi mendengar alasan pelarangannya. Di satu sisi saya paham betul ketakutan pihak sekolah akan masalah pencarian budget yang jumlahnya harus diakui memang fantastis. Tapi di sisi lain, saya langsung berpikir bahwa ini adalah hasil salah pemahaman terhadap sejatinya kegiatan ini. Baik di pihak sekolah, maupun teman-teman kita yang jadi panitia. Dua-duanya nggak punya pemahaman yang sama, bahwa walau nggak masuk ke kurikulum dan nggak dinilai kayak ujian matematika, fisika, atau lainnya, kegiatan macam ini juga merupakan ajang belajar, dalam hal ini belajar mengembangkan kreativitas dan berorganisasi. Bukankah itu tujuan sekolah, buat belajar?
Akan sangat disayangkan kalau gara-gara nggak punya pemahaman yang sama, kreativitas lah yang kemudian jadi korban. Ya nggak?