Dalam waktu kurang dari sebulan belum lama ini saya cukup beruntung bisa menghadiri dua festival musik akbar di dua negara, Jepang dan Indonesia. Beruntung, soalnya selain bisa menikmati sajian musik yang seru dan beragam, saya jadi lebih punya gambaran dan perbandingan tentang gimana masingmasing negara ini menerjemahkan konsep festival musik ini. Paling nggak saya jadi sedikit lebih paham (alias nggak begobegoi amat) lah kalau diajak diskusi atau minimal ngobrol soal festival musik.
Seperti yang sudah saya tulis di artikel edisi lalu, Jepang punya konsep yang berbeda tentang festival musik. Mereka nggak menyajikan hanya musik dalam festivalnya, melainkan juga festive experience. Maksudnya, di samping penampil yang ada di panggung-panggungnya, unsur kenyamanan dan kemeriahan juga sangat jadi perhatian penyelenggara. Sehingga tujuan tiap pembeli tiket pun nggak terpaku semata nonton musik, tapi juga bercengkerama, nongkrong, dan berleha-leha di seluruh area festival. Persis seperti perayaan musim panas di negara-negara empat musim, yang memang bermula dari kebiasaan masyarakatnya untuk melakukan aktivitas di luar rumah lantaran cuaca yang bersahabat.
Nah ini yang nggak saya temui di festival di Indonesia. Dua hari di Bali kemarin yang saya lihat penonton datang ke festival musik , ya memang masih untuk nonton musik. Faktor bintangbintang tamu jadi sangat penting, buat menarik penonton datang. Nggak salah juga. Sebab memang orang kita kan nggak kenal perayaan musim panas. Ibarat kata, butuh dari sekedar cuaca yang bersahabat untuk mengajak masyarakat kita berbondong-bondong keluar rumah. Dan sejauh ini nama-nama terkenal lah yang sudah terbukti pasti bisa memancing mereka. Manjur.
Maka ketika ada penyelenggara yang nekat buat menggelar festival musik yang berbeda dengan yang ada di Indonesia, misalnya mengelaborasikan penampil terkenal, dan pengalaman kemping dengan pemandangan keindahan alam, saya rasa hal itu perlu dikasih apresiasi lebih. Karena ya itu tadi, sungguh nggak gampang buat mendobrak kebiasaan. Apalagi sampai bisa konsisten membentuk kebiasaan baru. Bukan begitu?