“Gue bingung. Bukannya semua aliran musik itu emosional ya? Muncul dan diciptakan karena adanya emosi. Jadi kenapa terus dijadiin genre ya? Apa bedanya? Apakah itu berarti mereka lebih emosional sementara yang lain tidak? Di manakah keadilan, my friend?”
Seperti itu kurang lebih seloroh Jimi Multhazam, waktu jadi MC event di sebuah kafe beberapa tahun silam. Persisnya saat Emo dan segala turunannya lagi mewabah di negeri ini. Kebetulan malam itu band-band yang main, hampir semuanya beraliran Emo dan post-hardcore. Dilontarkan dengan gaya dan intonasi yang juga hiperbolik-bercandaan khas Jimi, selorohan itu cukup bikin ngakak penonton malam itu.
Toh, ada satu-dua penonton yang lantas berpikir dibuatnya. Dan sialnya, salah satu dari segelintir orang yang kepikiran itu adalah saya. Jujur, saya juga nggak habis pikir kenapa kata ini yang dipakai buat menamakan sub-genre satu ini. Karena, seperti Jimi, saya juga selalu menganggap bahwa disadari atau nggak sama pelakunya, musik itu adalah ekspresi dari proses olah rasa, olah emosi. Sehingga kalau ada satu pihak yang muncul lantas mengklaim kata itu sebagai “milik”-nya, rasanya agak lucu.
Belakangan baru saya pahami kalau penamaan itu muncul dari media. Dan itu, sebagaimana yang sudah terjadi sejak dulu, dilakukan semata-mata untuk mengklasifikasikan sub-genre yang merupakan hibrida alias campuran dari berbagai sub genre rock terdahulu ini sekaligus membedakannya dengan sub genre lain yang beririsan. Buat media, hal ini cukup penting. Karena itu akan sangat membantu buat mendeskripsikan sebuah sub genre pada audiens dalam tiap tulisan atau ucapan mereka.
Tapi ketika penamaan itu terlalu dihayati sama pelakunya, jadinya justru konyol. Karena biasanya bakalan muncul pengkotakan dan ujung-ujungnya saling ledek atau bahkan gontok-gontokan. So, IMHO, buat urusan pelaku dan umatumat sub-genre tertentu, pepatah “Apalah arti sebuah nama?” perlu banget dicamkan. It’s only rock and roll, thus we like it anyway… Ya kan?