Tampilkan di aplikasi

Ulama, benteng aqidah

Majalah Hidayatullah - Edisi 08/XXX
4 Desember 2018

Majalah Hidayatullah - Edisi 08/XXX

Pemuda-pemudi Islam nyaris dalam hitungan menit dan detik menjadi target pembobolan iman. / Foto : DZULKARNAIN/SUARA HIDAYATULLAH

Hidayatullah
Di Indonesia, beberapa puluh tahun silam ada qadhi di setiap kota/kabupaten atau kecamatan. Dia berfungsi sebagai pemangku dan penanggung jawab urusan-urusan agama. Dalam beberapa persoalan, terkadang posisi qadhi justru lebih tinggi daripada bupati atau camat. Ke dudukannya berwibawa lagi kharismastik. Dia di segani, dihormati, serta ditakuti oleh rakyat sekaligus penjajah, di masa itu. Kata-katanya di d ngar.

Keputusannya ditunggu dan ditaati. Demikian itu tentu bukan tanpa sebab. Salah satunya karena qadhi diangkat bukan sebagai pejabat, tapi disepakati langsung oleh seluruh elemen masyarakat. Tak mudah duduk sebagai qadhi. Ia adalah ulama yang diakui dan dipercaya masyarakat. Kepadanya tempat mengadu juga pengambil kata putus, tempat mengatur segala urusan agama sampai kehidupan sehari-hari.

Lebih banyak orang berobat ke rumah qadhi daripada ke rumah pengobatan. Lebih banyak orang meminta atau meminjam uang ke qadhi dibanding ke bank. Lebih banyak orang melapor urusannya ke qadhi daripada ke pejabat. Seorang qadhi tidak kalang kabut mencari rezeki. Hidupnya serba berkecukupan. Bahkan yang makan di rumahnya bisa puluhan sampai ratusan anak yang disantuninya.

Dari desa yang jauh, orang datang dan tinggal di rumahnya untuk mengaji al-Qur’an dan belajar agama. Kalau jumlahnya kebanyakan, maka dibuatlah rumah khusus untuk murid-muridnya yang kemudian dinamakan dengan pondok. Anak-anak yang belajar dan tinggal di rumah khusus lalu disebut santri. Itulah cikal bakal pesantren.
Majalah Hidayatullah di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI