Sekitar satu dekade silam, saya dan Dharmawan Handonowarih ketika itu ia editor in chief majalah ini memiliki gairah yang sama dalam mengenali pusaka arsitektur hunian di Jakarta dan sekitarnya. Di akhir pekan, kami kerap menyusuri tapak-tapak permukiman lama. Kami berkeliling mendokumentasikan rumahrumah yang memiliki tengara sebagai jejak perjalanan arsitektur kota. Lokasinya pun terpencar, dari rumah di tepian bulevar nan elegan sampai rumah yang terselip di gang-gang sempit.
Kehadiran rumah-rumah itu seolah merekam perkembangan kota, dari awal pembukaan perkebunan hingga kawasan urban. Rumah gaya hindia dengan sederet pilarnya nan anggun, rumah gaya hindia baru yang lebih rasional dengan semangat kesederhanaan, hingga rumah gaya jengki dan variannya pasca-Indonesia merdeka. Rentang usia rumah-rumah itu bisa mencapai seratus tahun.
Setiap gaya mewakili zaman, yang memiliki kekhasan pada elemen-elemen arsitekturnya. Namun demikian, semua ragam gaya arsitektur itu mengusung jati diri yang sama, yakni arsitektur tropis. Elemen yang biasanya hadir dalam arsitektur tropis adalah serambi depan atau serambi belakang, lubang angin, banyak jendela untuk sirkulasi udara, dan plafon tinggi.
Inilah sebuah rekayasa bangunan untuk mengadaptasi dan menyiasati keadaan iklim di Indonesia kelembapan, suhu, paparan sinar matahari dan hujan sehingga penghuninya senantiasa merasa nyaman. Pada edisi ini kami menyajikan bagian dari proses modernisasi arsitektur Indonesia, sebuah karya arsitektur hunian urban yang menyiasati iklim tropis.
Sebagai contoh ruang bersantap di sebuah rumah di Pulomas, didesain berlimpah cahaya namun tetap sejuk. Perancangan plafon tinggi, misalnya, akan mereduksi suhu karena paparan sinar matahari. Dinding roster, yang kerap dijumpai pada rumah-rumah dekade akhir 1950-an atau 1960-an, kini dihadirkan kembali untuk mengalirkan udara sekaligus mempercantik fasad hunian.
Salah satu perkara yang menarik adalah penerapan filosofi krowakisme atau bangunan berongga ala Studio SA_e. Konsep ini melihat bangunan sebagai sebuah entitas yang berongga sehingga ia memerlukan dukungan alam dan interaksi sosial untuk membuatnya tampak hidup. Salah satu aplikasinya: menciptakan ruang terbuka pada hunian sehingga memberi ruang untuk penghuninya merasakan cahaya matahari, sirkulasi udara, tumbuhan, hingga air hujan.
Di negeri khatulistiwa, a rsitektur urban tropis boleh dikata arsitektur yang tanggap lingkungan karena menciptakan hunian nyaman sekaligus memanfaatkan energi terbarukan. Aktivitas kita dalam rumah tidak terlalu bergantung dengan penggunaan lampu dan pendingin ruangan.
Tugas arsitek untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi para penghuninya pun tercapai. Saya terkenang kutipan kata-kata Friedrich Silaban, arsitek kepercayaan Bung Karno karena karyanya memperkenalkan karakter negeri ini: “Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia…”