Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Rasanya, setelah berkali-kali negeri ini menyelenggaraannya langsung, Pilpres kali ini potensial menjadi yang paling parah. Ironisnya, yang membuat Pilpres 2019 ini parah bukanlah masyarakat, melainkan elit dan terutama aparatur.

Sulit bagi kita berharap, aparatur sipil negara, akan berlaku netral dalam kontestasi ini. Contoh teranyar adalah apa yang terjadi di Makassar. Ada 15 camat yang bersama-sama mantan Gubernur Sulawesi Selatan sekaligus orang dekat Presiden joko Widodo, membuat aksi tak terpuji. Bersama-sama menyatakan dukungan kepada salah satu calon.

Tragisnya, aksi mereka ini mendapatkan pembenaran dari Wali Kota Makassar sendiri. Dia bilang, secara personal, para camat memiliki hak politik. Alangkah bodohnya pembelaan semacam itu.

Camat, wali kota, dan mantan gubernur itu, semestinya paham aturan pemilu. ASN harus bersikap netral. Alih-alih menyatakan dukungan seperti di Makassar itu, bahkan membubuhkan tanda like atau berkomentar di status facebook terkait politik kontestasi pun tak boleh. UU Nomor 07 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur semua itu.

Bandingkan dengan yang terjadi di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Ada 128 ASN mendapatkan terguran dari Bawaslu karena membubuhkan tanda like pada status seorang calon anggota legislatif. Ada dua orang ASN Manado yang dipaggil karena menyukai dan mengomentari status facebook caleg.

Yang terjadi di Makassar menyusul peristiwa di Bali dan Kuningan. Di Bali, bisa-bisanya seorang gubernur memanfaatkan acara Polda setempat mengajak memilih calon presiden tertentu. Di Kuningan, pernyataan bupati mengutuk kepala desa yang tak memilih calon presiden tertentu, sungguh pernyataan merusak demokrasi.

Lalu, masihkah kita berharap pada Pilpres yang bermartabat jika sudah tercederai seperti itu? Ironisnya, wasit Pemilu, yakni Bawaslu, terlalu lembek mengatasi persoalan-persoalan seperti itu. Padahal, mereka dilengkapi perangkat dan kekuasaan untuk melawannya.

Maka, jika tak ada perubahan mendasar dalam waktu dekat, kita bisa memastikan Pilpres ini akan jadi yang terburuk sepanjang sejarah reformasi. Takkan lebih baik dari kelas pilkada dari sisi netralitas. Mungkin setara pemilihan Ketua RT saja.

Februari 2019