Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Logikanya seperti ini, jika seorang petahana maju lagi dalam sebuah kontestasi demokrasi, maka peran wakilnya –jika tak ikut kontestasi—jadi lebih vital dalam pemerintahan. Politik berkeadaban dan berkeadilan itu kita lihat terjadi pada kontestasi bernama Pilkada.

Dalam pilkada, seorang gubernur, bupati, wali kota, bahkan cuti panjang selama masa kampanye. Itu membuahkan hasil yang fair. Selama masa kampanye, petahana pilkada tidak lagi memiliki kekuatan total dalam politik kedaerahan, terutama menyangkut mobilisasi aspirasi politik ASN.

Kita tidak melihat hal itu dalam kontestasi Pilpres. Logikanya, ketika petahana presiden lebih banyak urusan kontestasi, peran pemerintahan sepatutnya lebih banyak diambil wakilnya. Tapi kita tak melihat hal itu terjadi di negeri ini.

Segala urusan pemerintahan berada di pundak Presiden Joko Widodo. Hampir setiap hari Jokowi keliling daerah. Urusan peresmian proyek, meninjau proyek, berjumpa dengan masyarakat, dan sebagainya. Kasihan Jokowi. Kemana Wakil Presiden Jusuf Kalla? Tidak hanya beban Jokowi berlipat ganda, tetapi setiap perjalanannya pun mulai dicurigai banyak pihak. Kecurigaan yang wajah. Sebab, sengaja atau tidak, dalam setiap aktivitasnya, Jokowi tak bisa menghindar dari kerja-kerja politik kontestasi.

Di Lampung, misalnya, selain meresmikan terminal Bandara Radin Inten, meresmikan jalur tol, Jokowi juga menerima pernyataan politik dari sekelompok warga. Kita pun tak paham lagi, apakah ke Lampung Jokowi dalam kapasitas presiden atau calon presiden. Jika dalam posisi presiden, bukankah menerima pernyataan politik dari sejumlah warga itu sepatutnya bisa dihindarkan? Hemat kita, wajar jika publik kemudian bingung, kapan seorang Jokowi dalam tugas sehari-harinya bisa berposisi sebagai presiden atau petahana presiden. Sebab, sebagian kegiatan tersebut campur aduk, antara kegiatan kepresidenan dan kegiatan calon presiden.

Dalam konteks itulah, sebenarnya memanfaatkan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden dalam urusan kenegaraan dan pemerintahan, bisa lebih dimaksimalkan. Sehingga Jokowi bisa terhindar dari pandangan-pandangan politik tak sedap itu. Sayangnya, Jusuf Kalla entah di mana sekarang. (*)

Maret 2019