Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

PERISTIWA serangan teror di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, membuktikan bahwa terorisme tak memiliki agama. Dia bisa dilakukan siapa saja.

Serangan yang menewaskan 49 orang, melukai puluhan orang, termasuk dua WNI, membenarkan apa yang pernah diucapkan Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan. Dia bilang, terorisme tak memiliki agama.

Teror yang terjadi di Selandia Baru itu adalah perbuatan biadab, apapun alasannya. Dia adalah bentuk-bentuk yang melukai nurani, menghancurkan akal sehat, dan berpeluang kian memperdalam jurang perbedaan yang ada.

Terlebih, serangan teror yang brutal itu dilakukan terhadap orang-orang yang tak punya perlawanan. Mereka yang tak punya senjata. Mereka yang tengah menghadap kepada Tuhan.

Tidaklah bisa kita mengabaikan bahwa peristiwa di Selandia Baru ini menunjukkan meningkatnya Islamophobia. Sebuah perbuatan radikal dan intoleran. Sebuah tindakan yang berdasar pada fundamentalisme.

Soal radikalisme dan intoleransi ini patut kita garis bawahi. Sebab, peristiwa ini terjadi di Selandia Baru. Sebuah negara yang selama ini diagung-agungkan sebagai kawasan dengan tingkat toleransi yang tinggi.

Kita cukup berterima kasih karena kita tidak sendirian. Seluruh dunia serentak bersuara mengecam teror yang terjadi di Selandia Baru, diarahkan kepada saudara-saudara Muslim. Seluruh dunia menyampaikan duka yang mendalam dan merasa terusik nilai-nilai kemanusiaan mereka.

Sekjen PBB Antonio Guterres menyampaikan hal yang membuat kita boleh memiliki harapan. Apa katanya? “Hari ini dan setiap hari, kita harus bersatu menghadapi kebencian anti-Muslim, seluruh bentuk bigot dan teror.” Kita berharap, apa yang terjadi di Selandia Baru adalah hal terakhir yang terjadi, terhadap siapapun. Kita ingin dunia yang damai, di bagian dunia manapun. Tak ada lagi tumpahan darah, terutama darah dari orang-orang yang tak bersalah.

Maret 2019