Pejabat (Bukan) Publik
Hari-hari ini, sejak Minggu kemarin, publik akan menyaksikan pejabat publik yang tak lagi total mengurus publik. Mereka akan ikut mengurus proses kontestasi. Mereka melupakan fungsi utamanya sebagai pejabat publik.
Banyak, bahkan terlalu banyak pejabat publik, yang sementara melupakan rakyatnya. Kebanyakan di kubu calon presiden pertahana. Tapi, di kubu penantang pun ada.
Entah dari kubu manapun, kita memandang apa yang dilakukan pejabat publik, mulai dari menteri, gubernur, bupati, hingga wali kota, bukanlah tindakan terbaik. Bahkan, berpeluang untuk memecah rakyatnya sendiri.
Kenapa begitu? Karena begitu dia ditetapkan sebagai pejabat publik, maka semestinya dia menjadi milik rakyat. Bukan lagi menjadi milik partai politik atau afiliasi parpol pengusung calon presiden.
Betul, undang-undang, termasuk Peraturan KPU membolehkan mereka ikut berkampanye dengan sejumlah syarat. Salah satu, misalnya, cuti pada hari kerja dan tak perlu cuti jika berkampanye di hari libur.
Aturan itu yang dimanfaatkan banyak pejabat publik seolah-olah mereka “pegawai biasa”. Padahal, sebagian besar di antara pejabat publik itu adalah pemimpin rakyat, kepala daerah, yang idealnya harus mencurahkan seluruh perhatian pada masyarakatnya.
Jika pun punya alibi berdasarkan PKPU, maka sepatutnya para pejabat publik juga menjadikan etika sebagai dasar berpijaknya. Bagaimana punya etika jika, misalnya, seorang kepala daerah yang dipilih memimpin rakyatnya, malah dua hari dalam seminggu mengurus kepentingan kontestasi capres dan melupakan rakyatnya?
Kita tetap dalam posisi yang tegas seperti itu: menentang pejabat publik terlibat politik-politik praktis kontestasi, siapapun, di kubu manapun. Buat kita, begitu seorang pejabat disumpah untuk bekerja sungguh-sungguh untuk masyarakat, maka secara etika, sejak saat itu pulalah dia harus mengabdikan diri dan waktunya untuk publik, bukan untuk sebagian publik, apalagi segelintir publik.