Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

BANYAK yang membela lembaga survei. Alasannya, karena survei adalah bagian dan menggunakan ilmu statistika. Kita tak hendak menggugat soal itu. Yang kita ragukan adalah karena pengelola lembaga survei manusia dengan beragam kelemahan juga.

Tentu kita masih ingat peristiwa menjelang Pemilihan Presiden lalu. Hari-hari menjelang pencoblosan, bahkan Ridwan Kamil yang saat itu menjadi bagian dari tim pengarah kampanye Joko Widodo-Maruf Amin, menyatakan pasangan calon dukungannya sudah unggul hingga 4 persen di Jawa Barat.

Faktanya sampai saat ini, sampai 43,94% TPS di Jawa Barat, 60.683 dari total 138.123 mengirim datanya ke Situng KPU, posisinya terbalik. Jokowi-Maruf mendapat 42,87% dan Prabowo-Sandi 57,13%. Ada selisih 14%.

Sayangnya, kita juga sering melihat lembaga survei kerap berkelit ketika hasil surveinya jeblok. Tingkat kesalahan +/- 2% atau masih banyaknya undecided voters jadi alasan. Padahal, karena survei adalah gambaran, bukankah semestinya undecided voters juga merujuk pada gambaran pilihan seperti yang disurvei lembaga-lembaga tersebut.

Pun ada pula lembaga survei yang menyebut parpol tertentu takkan lolos ambang batas parlemen. Faktanya, parpol tersebut justru kini bahkan meningkat hasil raihan suaranya dibanding pemilu sebelumnya dan sudah pasti tak terdegradasi dari parlemen.

Yang lebih parah tentu pada saat Pilkada Jawa Barat tahun lalu. Mereka, rata-rata lembaga survei itu, amat salah dalam memetakan survei elektabilitas calon pemimpin Jabar. Ironisnya, tak satupun yang mengakui kekeliruan hasil survei mereka dan hampir semuanya mencari alasan pembenaran. Sebuah tindakan tidak ilmiah dari pekerjaan ilmiah.

Tentu, masuk akal juga buat kita, jika ada pihak-pihak yang meragukan netralitas lembaga survei. Apalagi, mereka juga kerap tak terbuka soal siapa yang membiayai survei mereka. Lembaga survei harusnya melihat hal itu dengan jernih, sebagai kritik terhadap kerja mereka.

Dalam kesempatan ini, mungkin ada baiknya juga kita sarankan kepada lembaga survei politik ini. Sepatutnya, mereka tak usah lagi melakukan survei elektabilitas di Jawa Barat. Kasihan, jadi olok-olokan publik karena hasil survei mereka –yang menggundakan metode ilmiah itu-- meleset melulu dan tak bisa memberikan penjelasan dan alasan yang ilmiah pula.

Mei 2019