Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

SIAPAPUN presiden yang nanti terpilih, siapapun nanti anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II yang duduk di lembaga perwakilan, siapapun nanti legislator yang ngantor di DPD, maka ini yang tak boleh mereka lupakan: kedudukan mereka diwarnai simbahan air mata.

Kenapa? Karena mereka mendapatkannya dari pemilihan umum yang bercucuran air mata. Sedikitnya, ada 570 keluarga yang meratap kepergian orang-orang terkasihnya, karena meninggal dunia karena pemilu. Ada yang petugas KPPS, petugas Bawaslu, hingga anggota Polri.

Sungguh agak aneh di mata kita, begitu banyak yang meninggal, tapi kurang mendapat perhatian maksimal. Tidak menyebutnya sebagai tragedi. Padahal, korban meninggal itu hampir sama banyaknya dengan korban tsunami di Banten, gempa dahsyat di Lombok, dan berlipat-lipat dibanding korban jatuhnya pesawat Lion Air atau banjir besar di Bengkulu.

Apakah karena bencana atau hanya karena sakit dalam tugas, tapi meninggal dalam jumlah sebesar itu, harusnya mendapat penyikapan yang lebih tegas. Melabeli mereka sebagai pahlawan demokrasi tidaklah akan mengurangi air mata keluarga yang ditinggalkan.

Yang terjadi saat ini adalah seolah-olah the show must go on di tengah kabar kematian para petugas itu. Seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada sikap-sikap istimewa dari negara, juga KPU sebagai penyelenggara. Semua normal. Sikap-sikap yang muncul normatif saja. Nyaris tak pernah terdengar ada pejabat negara yang misalnya mendatangi keluarga korban.

Kita harus berterima kasih kepada Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), ketimbang kepada negara, atau KPU. Merekalah yang menunjukkan kepedulian lebih terhadap peristiwa ini. Membentuk tim investigasi menyoal kematian ratusan jiwa anak bangsa ini.

Apakah nanti investigasi mereka tak menemukan apa-apa, buat kita bukan soal utama. Tapi, perhatian lebih mereka sudah menunjukkan empati dalam yang bisa mengurangi air mata keluarga korban.

Bukankah untuk itu kita bernegara? Saling menjaga, saling menunjukkan empati, saling membesarkan tetangga? Di tengah hiruk pikuknya massa berburu kekuasaan, kita tak melihat itu, termasuk dari politisi-politisi yang meraih keuntungan kursi kekuasaan, di tengah derita keluarga korban. (*)

Mei 2019