Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Jangan pernah bermimpi menjadikan sepak bola kita sebagai sebuah industri, sebagaimana di luar negeri. Sebab, di sini, sepak bola tak berdiri sendiri. Dia bersangkut paut dengan banyak hal, terutama politik keamanan.

Apa yang dialami Persib dalam sebulan-dua ini adalah bukti betapa politik dan sepak bola bukanlah hal yang 100% terpisah. Dia saling terkait tanpa peduli berapa p[rosentase keterkaitannya.

Hanya karena pengumuman hasil pemilihan umum, sebuah jadwal bisa tertunda. Hanya karena jadi titik kampanye pemilu, sepak bola jadi urusan nomor buncit. Jadi, bagaimana mungkin kita berharap bahwa kompetisi kita akan berjalan seperti di negara maju dan melahirkan pemain-pemain berkualitas seperti mereka? Kenapa? Karena politik keamanan kita adalah politik yang menakutkan. Dia seperti tak memberi ruang untuk sebuah keramaian. Karena keramaian selalu dikait-kaitkan dengan potensi kerusuhan.

Sepak bola kita seperti ini karena ada politik ketakutan itu. Padahal, pertandingan Persib lawan PS Tira Persikabo, misalnya, dijadwalkan berlangsung pada 23 Mei 2019, sehari setelah pengumuman hasil pemilu. Tapi, karena sebagian aparat keamanan di daerah di-BKO-kan ke Jakarta, maka kurang memadai untuk mengamankan sebuah pertandingan.

Sepak bola kita sama mengerikannya seperti politik karena tak ada kedewasaan. Politik bermasalah, sepak bola juga bermasalah. Keduanya sama-sama memunculkan potensi rusuh.

Sepak bola tak bisa apa-apa karena dia antara lain berada di bawah otoritas keamanan. Untuk mengamankannya, bahkan pada pertandingan yang diperhitungkan sedamai apapun, dibutuhkan ratusan petugas keamanan.

Sepak bola kita tak bisa beranjak dari kungkungan aparatur keamanan itu. Karena itu, janganlah kita bermimpi terlalu tinggi, menjadikan sepak bola sebagai sebuah kegiatan industri yang bebas dari faktor keamanan itu. Jangan kita berangan-angan menyaksikan pertandingan di negara maju, di mana sepak bola hanya perlu diamankan aparat bermodalkan pentungan.

Begitulah sepak bola kita. Masih kampungan dan takkan pernah mencapai titik seperti yang diimpikan, jika perubahan itu tak dilakukan seluruh pemangku kepentingan sepak bola itu sendiri.

Mei 2019