Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

AKTIVIS yang tangguh itu selalu didampingi perempuan yang tangguh. Nelson Mandela atau Munir, untuk menyebut sejumlah nama, beruntung memiliki istri-istri yang kuat. Istri-istri yang sekuat Cathy Ahadianti.

Cathy? Siapa dia? Perempuan inilah yang ikut mengantarkan Mustofa Nahrawardaya ke Bareskrim Mabes Polri, Minggu (26/5) dinihari. Mustofa dijemput polisi menjelang sahur di rumahnya karena cuitan di akun Twitter atas tuduhan ujaran kebencian.

Cathy jauh lebih tangguh daripada seorang penyanyi pop yang melalui akun Instagramnya menyampaikan ujaran kebencian terhadap pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan hingga tulisan ini diturunkan belum disentuh aparat. Alih-alih bertanggung jawab, sang penyanyi malah menghapus postingannya. Banyak yang bilang dia pengecut.

Kita melihat Cathy paham itulah risiko punya suami aktivis. Sebab, jika soal pasal ujaran kebencian yang dituduhkan kepada suaminya semata yang menjerat, kenapa sang penyanyi masih bebas? Bukankah keduanya sama-sama menyampaikan ujaran kebencian lewat medium serupa? Kasus ini membuat kesan kita terhadap pasal ujaran kebencian ini sebagai pasal karet makin kuat. Sebab, jika pasal ini diterapkan sepenuhnya, betapa banyak pengguna media sosial, pemberi-pemberi komentar di berbagai media online, yang semestinya ditangani penegak hukum. Sebab apa? Pernyataan-pernyataannya tak hanya menebar kebencian, tapi betul-betul merusak nurani kemanusiaan kita, apalagi keteduhan berbanga dan bernegara.

Kita tidak dalam rangka membela Mustofa sebagai tersangka. Kalau pasal undang-undang pas untuk menjeratnya, ya jerat. Tapi betapa banyak pula pengguna media sosial, pengisi komentar di media online, yang patut dijerat dengan pasal serupa, tapi terbiarkan.

Belum lagi, misalnya, orang yang menyebarkan data kependudukan ke publik, yang terang-terangan dilarang undang-undang, bebas saja sampai sekarang. Semestinya, penegak hukum memberlakukan hal yang sama kepada setiap orang karena kedudukannya yang setara.

Cathy tegar dalam suasana hukum kita seperti itu. Dia tak merengek, tak minta pembelaan kepada siapapun, kecuali menyadari itulah risiko politik suaminya sebagai aktivis. Dia perempuan hebat, meski tak sepopuler penyanyi yang oleh banyak orang kemudian disebut pengecut itu. (*)

Mei 2019