Presiden Kita Semua
KPU menetapkan Joko Widodo-Maruf Amin sebagai presiden-wakil presiden terpilih. Presiden untuk kita semua.
Ketika Mahkamah Konstitusi menolak semua permohonan dan keberatan para pihak pada sengketa Pemilihan Presiden, Joko Widodo dan Maruf Amin sempat menyampaikan pidato singkat menjelang terbang ke Osaka. Salah satu isinya, bahwa dia dan Maruf Amin adalah presiden untuk seluruh rakyat Indonesia.
Secara sosiologis, pernyataan itu memiliki makna yang kuat. Di tengah ancaman kubu-kubuan yang terjadi sejak proses Pilpres, pernyataan tersebut diharapkan bisa menyatukan kembali masyarakat di garis yang sama.
Tetapi, secara substantif, sejatinya tak ada yang baru dalam pernyataan itu. Pilpres adalah ajang untuk memilih pemimpin untuk seluruh masyarakat negeri ini, bukan sekelompok atau sebagian. Hanya ada satu pasangan presiden-wakil presiden dan itu adalah presiden dan wakil presiden seluruh masyarakat RI.
Untuk itu pulalah nanti, pada 1 Oktober mendatang, Jokowi-Maruf akan menyampaikan sumpah jabatan. Disumpah untuk memimpin Indonesia dan keseluruhan warga negara, tak peduli mereka pemilih Jokowi-Maruf atau bukan.
Sumpah jabatan presiden memastikan bahwa presiden terpilih adalah berkewajiban memimpin dan mengelola negara untuk semua. Dia bertanggung jawab terhadap seluruh masyarakat.
Jokowi, pada periode sebelumnya, sudah menunjukkan hal itu. Dia tak menganaktirikan daerah seperti Sumatera Barat, Jawa Barat, atau Nusa Tenggara Barat, wilayah di mana lima tahun lalu dia kalah telak. Ya, karena kewajibannya sebagai presiden adalah memimpin negeri tanpa membedakan satu dengan yang lainnya.
Maka pada 1 Oktober mendatang, yang boleh dan harus menumpahkan harapan tinggi terhadap Jokowi-Maruf, sejatinya, bukan hanya pendukungnya. Seluruh masyarakat Indonesia menggantungkan harapan kepada keduanya.
Jokowi, kita harapkan, bukan lagi milik partai pendukung, atau milik PDI Perjuangan. Dia kita harapkan tidak seperti kepala daerah yang di tengah kewajiban memimpin wilayah untuk keseluruhan warganya, masih meluangkan waktu untuk kepentingan politik personalnya. Padahal, sewajarnya, jika sudah terpilih jadi pemimpin, maka sepatutnya dia melepaskan diri dari posisi sebagai orang partai politik. Sebab, begitulah pemimpin yang baik, pemimpin untuk semua. (*)