Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Selalu, sesuatu yang membuat kaget itu, memaksa orang bertanya-tanya. Tak sekadar bertanya, tak sedikit pula yang bercuriga. Wajar saja. Apalagi, jika yang mengagetkan itu, selama ini cenderung ditutup-tutupi.

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba anggota DPR yang hendak menyudahi masa tugasnya, mengajukan usulan revisi Undang-Undang KPK. Kalaupun ada “hujannya”, sudah berlangsung lama dan banyak dapat penolakan.

KPK sendiri, sejatinya, tak menolak UU direvisi. Tapi, kedua lembaga, KPK dan DPR, selama ini sering terlibat “perang panas”. Pernyataan-pernyataan DPR yang kritis, kerap membuat panas kuping KPK. Sebaliknya, KPK, berdasarkan bukti yang kuat, menciduk dan memenjarakan sejumlah anggota DPR.

Dalam situasi itulah usulan revisi UU KPK itu muncul. Patut orang bercuriga. Apalagi, ada poin-poin yang dianggap lemah. Misalnya, poin surat perintah penghentian penyidikan (SP3), sesuatu yang tak ada dalam kamus KPK selama ini, masuk dalam usulan revisi itu.

Tapi, KPK sejatinya juga tak boleh terlena dengan persoalan non-SP3 itu. Beberapa kasus di KPK berjalan lamban. Kasus Pelindo II sudah lama tak terdengar kabar beritanya. Status tersangkanya masih. Kasus dugaan korupsi Bupati Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah juga berbulan-bulan lamanya, baru hari-hari terakhir ini saja disentuh.

Usulan revisi UU KPK itu sama juga mengagetkan semua orang soal lahirnya mobil karya anak bangsa, Esemka. Pabrik mobil ini tiba-tiba saja diresmikan Presiden Jokowi. Sebelumnya, saat jadi Wali Kota Solo, Jokowi sempat pula “mengendorse” mobil Esemka, bahkan bercita-cita menjadikannya mobil nasional.

Esemka ini aneh. Bukan karena bentuknya yang hampir 100% menyerupai produk mobil China, Changan. Tapi, sebagai sebuah industri, dia antitesa sebuah industri otomotif.

Sebagai sebuah produk otomotif, dia tak seperti industri umumnya. Muncul tiba-tiba. Biasanya, dalam industri otomotif, bahkan ketika muncul prototype saja, pabrikan sudah berurusan dengan yang namanya promosi. Agar publik tahu.

Esemka lain. Dia seperti diarahkan agar tak banyak diketahui publik. Tak pernah ikut pameran otomotif, tak pernah diulas media otomotif, tiba-tiba muncul. Pabrik ada, produksi ada. Harga bahkan sudah dibanderol. Publik tentu layak bertanya, bagaimana layanan aftersale-nya, di mana showroom-nya, di mana bengkel-bengkel resminya di Tanah Air? Semuanya gelap.

Karena dia muncul tiba-tiba, ya patutlah publik bercuriga. Sama seperti revisi UU KPK.

BAHAYA SP3 KPK

KPK sudah tak ada. Setidaknya logonya. Sudah ditutup kain hitam. Itulah bentuk perlawanan publik terhadap revisi UU yang melemahkan KPK.

Perlawanan terhadap rencana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian masif. Pimpinan dan pegawai KPK bersama sejumlah tokoh publik melakukan aksi di Gedung Merah Putih itu, Minggu (8/9). Mereka menutup logo KPK dengan kain hitam.

“Ini hanya simbol saja. Ditutup dengan kain hitam, mengingatkan bahwa ada jalan panjang yang harus kita lalui di negeri ini,” ujar Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang di tengah-tengah aksi.

Saut menegaskan, dirinya tidak alergi terhadap revisi UU KPK. Tapi, revisi tersebut adalah yang memperkuat KPK, bukan justru memperlemah.

“Saya juga termasuk (mendukung revisi), revisi yang memperkuat KPK. Contohnya sederhana, tambah deputi satu lagi. Saya ingin deputi penindakan ditambah lagi unit-unitnya,” tambah Saut.

Rencana revisi UU KPK yang diinisiasi DPR menjelang akhir masa jabatannya, memunculkan kontroversi. Beberapa poin revisi itu dinilai akan melemahkan KPK. Salah satu poin yang paling memicu kontroversi adalah penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Pakar hukum tata negara sekaligus advokat, Irman Putra Sidin mengatakan pengaturan kewenangan KPK menerbitkan SP3 yang dimuat dalam revisi UU KPK KPK mesti dihapuskan.

“Yang namanya revisi undang-undang secara umum itu sebuah keniscayaan. Tidak mungkin kita tolak. Tapi tidak semua item dari revisi itu perlu kita setujui,” kata Irman di Jakarta.

Salah satu yang perlu disoroti dari beberapa poin yang kini menjadi perbincangan yakni tentang usulan memberikan KPK kewenangan SP3 perkara tersebut. Menurut dia, hal itu tidak perlu ada dalam undang-undang nantinya.

Usulan itu, menurut dia, tidak tepat. Jika KPK memiliki kewenangan SP3, maka hal tersebut tentu juga akan memberikan kemudahan bagi institusi pemberantasan korupsi itu untuk mentersangkakan orang.

“Karena nanti dipikir (tersangkakan saja dulu), nanti dipikir (kalau tidak terbukti) di SP3-kan. Padahal prinsip konstitusional tidak boleh orang mudah ditersangkakan dan sesungguhnya negara harus dipersulit mentersangkakan orang,” tuturnya, menegaskan.

Salah satu poin usulan soal SP3 itu adalah perintah penghentian penyidikan itu harus dikeluarkan pada kasus korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin khawatir jika KPK memiliki kewenangan SP3, maka kewenangannya sebagai lembaga penegakan hukum kasus korupsi extra ordinary akan menjadi lemah.

“Ini menjadi berbahaya karena nantinya banyak pejabat yang ditangkap KPK bisa minta di SP3-kan kasusnya,” kata dia.

Senada dengannya, pengamat hukum dari UIN Yogyakarta, Hifdzil Alim, menilai tidak adanya wewenang untuk menerbitkan SP3 seperti itu dapat membuat KPK bekerja lebih hati-hati dalam menangani kasus korupsi.

“Kalau KPK dikasih (kewenangan) SP3, KPK bisa saja menetapkan seorang gubernur menjadi tersangka. Nanti satu tahun kemudian, karena tidak cukup bukti, dikeluarkan SP3. KPK jadi permainan politik saja,” ujar Hifdzil.

Proses hukum yang semestinya menurut Irman Putra Sidin, bukan dalam bentuk SP3. KPK, sebutnya, harus memiliki tahapan yang jelas dengan tenggat waktu yang pasti dalam memproses suatu perkara.

Tenggat waktu ini sangat penting guna memberikan hak-hak kepastian hukum setiap orang yang berperkara di KPK. Para tersangka harus jelas status hukum mereka selambat-lambatnya enam bulan, misalnya, dari penetapan tersangka.

“Paling lama enam bulan, tapi kalau bisa tiga bulan. Kalau sudah tersangka segera limpahkan ke pengadilan. Kalau tidak maka status tersangkanya batal demi hukum, bukan karena SP3 dari KPK,” ujarnya.

Selain kewenangan SP3, hal lain yang disorot adalah usulan pembentukan Dewan Pengawas KPK. “Kalau kami diawasi dari luar memang betul akan ada check and balances. Tetapi akan lebih perform kalau pengawas itu di dalam. Oleh sebab itu kan selalu di dalam manajemen modern itu ada yang namanya pengawas internal, internal audit,” ucap Saut Situmorang.

Oleh karena itu, kata dia, lebih baik jika pengawas internal di KPK saja yang diperkuat seperti sistem pengawasan, metode kerja, sumber daya manusia (SDM), dan teknologinya.

“Model-modelnya harus lebih jago dari penyidik. Di pengawas internal kami sekarang memang ada jaksa, penuntut, penyidik, dan penyelidik. Itu saja yang dikembangkan. Itu merupakan check and balances buat KPK sendiri karena dia yang tahu sehari-hari, siapa yang datang terlambat, siapa yang suka bermain-main,” tutur Saut.

Dalam rancangan revisi tersebut, akan dilakukan pembentukan Dewan Pengawas KPK. Adapun rinciannya, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang. Dewan Pengawas tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenang dibantu oleh organ pelaksana pengawas.

Di sisi lain, pegawai KPK meminta kepada Presiden Joko Widodo bertindak tegas menolak calon pimpinan (capim) KPK bermasalah dan revisi Undang-Undang KPK.

“Para pegawai berharap presiden agar melakukan fungsinya sebagai kepala negara untuk mencegah KPK 'mati' dengan tidak meloloskan capim terduga pelanggar etik dan menolak revisi UU KPK,” kata pegawai KPK Christie Afriani.

Untuk itu, menurut Christie, pegawai KPK berinisiatif untuk meminta bantuan dari siapa pun dan di mana pun tanpa memandang latar belakang selama mempunyai visi dan kebencian atas korupsi yang merajalela.

“Bunga dan 'leaflet' permintaan tolong dari KPK dibagikan oleh 500 pegawai KPK di sekitar Bundaran HI Jakarta, Minggu,” ucap dia.

Permintaan tolong kepada masyarakat itu, kata dia, karena hingga hari ini presiden belum bertindak untuk secara tegas menolak capim bermasalah dan menolak revisi UU KPK tersebut.

Ia menyatakan rangkaian proses pemintaan tolong tersebut tersebut diakhiri dengan seremoni penutupan gedung KPK dengan kain hitam sebagai lambang kesuraman dan duka.

“Serangan terhadap KPK secara sistematis menyempurnakan serangan dari dalam dan luar sehingga paripurna membuat KPK 'mati' karena tidak berfungsi,” ujar Christie. (ing)

September 2019