Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Sejumlah (rancangan) undang-undang mendapat penolakan dari kelompok masyarakat. “Kesalahannya” ada di pembuat undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR. Kini, tanggung jawab ada di pundak presiden.

Banyak produk legislasi undang-undang yang dipersoalkan masyarakat. Dari revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan, hingga RUU PKS. Masyarakat menilai produk legislasi tersebut bermasalah.

Dari prosesnya saja, publik bisa menilai betapa undang-undang itu memang bermasalah. Mulai dari materi, dan terutama prosesnya. Keduanya, sebenarnya, setali tiga uang: sama-sama memiliki problem.

Dari prosesnya, masyarakat menilai betapa seluruh produk legislasi itu lahir dari proses yang rada aneh. Hendak dikebut pada saat-saat terakhir sebelum anggota DPR saat ini habis masa pengabdiannya. DPR yang tak produktif membuat produk legislasi itu, tiba-tiba seperti bekerja secepat kilat menuntaskannya.

Tentu saja, ini memunculkan banyak tanda tanya. Salah satu tanda tanya yang tebal adalah soal revisi UU KPK. Patut masyarakat bercuriga karena wakil rakyat sendiri sejauh ini merupakan korban-korban keganasan KPK.

Presiden pun tak lepas dari kritikan masyarakat. Presiden menjadi arif dan meminta bawahannya menunda sementara pembahasan RU KUHP yang juga dipersoalkan masyarakat. Sebaliknya, ketika pengesahan revisi UU KPK, Presiden tak melakukan hal serupa.

Sejatinya, sikap arif dan jujur dari pembuat undang-undang dibutuhkan rakyat agar tak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan. Tapi, justru tampaknya itu yang tak dimiliki. Sungguh mengecewakan bagi masyarakat.

Kini, di tengah kegaduhan produk legislasi itu, publik pun melihat celah bagaimana mengganjal undang-undang yang dicurigai itu. Salah satu yang diharapkan masyarakat tentulah Presiden turun tangan. Membatalkan pembahasan RUU yang masih jalan, mengeluarkan Perppu terhadap undang-undang yang sudah disahkan.

Itu jika Presiden mau mendengar kehendak masyarakat banyak. Itu cara yang cantik. Tapi, jika Presiden pun tak mampu lepas dari kehendak kuat politisi dan partai politik, maka jalan terakhir tentulah menguji pasal demi pasal yang lahir dari produk legislasi bermasalah itu.

Kita sudah mendengar, sejumlah kelompok masyarakat sudah mulai menyiapkan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi terhadap sejumlah pasal revisi UU KPK. Itu langkah yang jantan yang diambil masyarakat.

Jika masyarakat mampu bertindak jantan, kenapa mereka para pembuat undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR, tidak melakukan hal serupa? (*)

September 2019