Natuna dan Visi yang Terbelah
Konflik di Natuna mengajarkan kepada kita betapa sulitnya menyatukan visi-misi di kabinet sekarang ini. Pejabat, utamanya para menteri, saling berbeda pandangan langkah apa yang akan dilakukan terkait ketegangan di sana.
Satu visi-misi ini harus kita tegaskan karena itulah yang diungkapkan Presiden Joko Widodo, tak lama setelah melantik para menterinya. Dia bilang, tak ada visi menteri, yang ada visi presiden.
Dalam konteks ini, posisi menteri dititikberatkan sebagai pembantu presiden. Begitulah memang biasanya di kabinet presidensial. Presiden yang harus bertanggung jawab terhadap persoalan apapun urusan kenegaraan.
Tetapi, sejak munculnya ketegangan di Natuna, sebagai buntut masuknya kapal nelayan yang diiringi kapal pengawal pantai China, kita menyaksikan cara pandang yang berbeda dari menteri-menteri terkait.
Ada yang bereaksi keras terhadap aksi China, ada yang setengah-setengah, ada pula yang sangat lembut. Ada yang langsung melayangkan nota diplomatik, ada pula yang meminta jangan bikin gaduh demi investasi China.
Padahal, soal kedaulatan negeri ini, panduannya sudah jelas. Ada Undang-Undang Dasar Negara RI yang harusnya menjadi sumber visi-misi siapapun. Soal kedaulatan negara, kita tak pandang bulu. Kedaulatan negara berada di atas segala-galanya, apalagi sekadar hanya ketakutan larinya investor.
Mengutip pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD, Natuna adalah wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Karena itu, masuknya kapal-kapal nelayan China, apalagi dikawal kapal resmi negara tersebut, adalah pelanggaran dan harus dilawan. Mahfud menyebutkan tak ada negosiasi soal itu.
Kita sepakat soal itu. Ketegasan pemerintah diperlukan saat-saat seperti ini. Tak perlu takut kehilangan investor karena jika dibandingkan dengan kedaulatan negara, itu hanya remah-remah. Negeri ini akan tetap jalan tanpa investasi China, yang pada beberapa titik justru menunjukkan kecongkakan.
Karena itu, kita mendorong kepada pemimpin-pemimpin negara ini, untuk bersikap tegas terhadap pelanggaran kedaulatan itu. Tak perlu kita ragu, termasuk juga terhadap ancaman larinya investasi dan utang kepada China, kecuali kalau pemimpin-pemimpin negara kita merasa sudah tergadai karena investasi dan utang-piutang tersebut. (*)