Dilema ASN dan Pilkada
Aparatur sipil negara menjadi sasaran empuk setiap penyelenggaraan pesta demokrasi. Pelajaran dari Pemilihan Presiden lalu, memberikan pelajaran kepada publik, betapa penegakan hukum dan etika ASN terkait pesta demokrasi harus dilakukan adil dan setepat-tepatnya.
Pengalaman Pilpres lalu hingga kini masih menyisakan kesan kepada publik betapa penegakan regulasi itu tidak dilakukan dengan tepat dan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Publik tidak akan lupa dengan perbedaan perlakuan antara kepala desa di Jawa Timur dengan camat di Sulawesi Selatan, misalnya. Atau, tanda-tanda vulgar yang dilakukan pejabat pemerintah pusat yang memberikan dukungan terhadap calon tertentu.
Selalu ada alasan untuk menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran tertentu dan pada saat yang sama mencari pembenaran atas kesalahan yang setara. Apakah pesta demokrasi kita akan tetap seperti itu, waktu yang akan menjawabnya.
Yang jelas, ASN akan selalu jadi bidikan suara, terutama pada pesta seperti pilkada. Sebab, ada harapan-harapan tertentu yang dimiliki ASN dan sejalan dengan kepentingan sesaat kandidat.
Konon, di Kabupaten Bandung, misalnya, sudah ada ASN yang dilaporkan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Tentu kita menunggu, keputusan seperti apa yang diberikan.
ASN, sejatinya, berada pada posisi yang lebih jelas: hitam-putih. Beda dengan pejabat politik.
Misalnya, wali kota, bupati, gubernur, bebas-bebas saja menyatakan dukungan pada pesta demokrasi.
Alasannya naif: menjalankan hak politik di hari libur. Seolah-olah di hari libur, wali kota, bupati, atau gubernur, bukanlah merupakan kepala daerah.
Beda dengan ASN. Dalam konteks politik, dia bahkan nyaris dipantau 24 jam. Bahkan, mencentang tanda suka saja pada status media sosial untuk kepentingan politik, meski dilakukan di luar jam kerja, masih tetap terjerat. Tidak adil bukan? Keterlibatan ASN dalam politik praktis, kita sepakat, sebaik-baiknya dihindarkan. Tapi, ini memberikan gambaran juga kepada kita, bahwa jenjang promosi ASN selama ini tidaklah murni seperti yang digembar-gemborkan: transparan, akuntabel. Ada kepentingan-kepentingan karier personal ASN sehingga dia kemudian nekat melakukan pelanggaran itu.
Ada hak-hak prerogatif kepala pemerintahan yang menentukan nasib jenjang karier ASN sehingga mereka ramai-ramai mencari jalan itu.
Meski melewati lelang jabatan, bukankah pada akhirnya kepala daerah juga yang memilih satu di antara tiga calon? Siapa yang bisa memastikan netralitas dan akuntabilitas pemilihan itu? Maka, mungkin perlu dicarikan jalan keluar yang jernih soal itu. Misalnya, menyerahkan pemilihan pejabat-pejabat eselon di daerah kepada Sekretaris Daerah yang sebenarnya lebih paham jejak rekam ASN ketimbang kepala daerah. Bisa jadi, hal itu akan menghindarkan ASN dari politik praktis pesta demokrasi yang tidak kita inginkan.