Kami dan Rakyat yang Terputus
Di tengah perang melawan corona, panggung politik hiruk-pikuk pekan lalu. Penyebabnya adalah KAMI dan KITA. Keduanya kembali menghadirkan belahan-belahan anak bangsa.
Tentu saja naif, setidaknya dari persepsi publik, bahwa Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) lahir bukan sebagai tandingan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), seperti disampaikan Koordinator KITA, Maman Imanulhaq.
Namanya hampir sama, meski berbeda. Tempat tanggal lahirnya pun nyaris serupa. Sama-sama di Jakarta, dan hanya beda 24 jam. Sehari setelah KAMI dideklarasikan di Tugu Proklamasi, KITA muncul dari Gedung Juang.
Munculnya KAMI adalah sebuah gerakan moral. Bahwa salah satu gerakan moral itu adalah di sektor politik, normal saja. Sebagaimana normalnya dia bergerak secara moral menyasar sektor ekonomi, hukum, dan sebagainya.
Gerakan ini muncul antara lain karena saluran demokrasi yang tersumbat. Lembaga perwakilan rakyat telah berubah menjadi lembaga perwakilan partai politik. Akibatnya, apa yang dirasakan sebagian masyarakat, jarang yang terangkat dan menjadi wacana perbincangan di kalangan wakilwakil mereka.
Ya, sebab mereka namanya saja perwakilan rakyat, parktiknya perwakilan yang menghamba partai politik. Ketika rakyat berteriak soal KPK, wakilnya mendukung pemerintah yang mengeluarkan beleid yang faktanya kini membuat KPK berkurang ketajamannya. Saat rakyat khawatir terhadap RUU HIP, ironisnya rancangan undang-undang justru berasal dari wakil-wakil mereka. Saat buruh risau dengan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, wakilnya seakan tak peduli. Kala rakyat menyoal besarnya anggaran negara untuk influencer, sebagian wakilnya membela pemerintah. Ada yang terputus antara rakyat dan perwakilan mereka.
Itulah yang hendak dijembatani KAMI. Tentu saja bukan melalui Gedung Parlemen yang anggotanya semua terhormat itu. Melainkan melalui gerakan-gerakan moral yang diharapkan bisa mengembalikan wakil rakyat kepada ruh sebenarnya. Termasuk juga memberikan kritik terhadap pemerintah, sesuatu yang menjadi keniscayaan dalam negara demokrasi.
Maka, KAMI, terutama KITA, sejatinya tak diperlukan jika ruang-ruang demokrasi, pintu-pintu check and balances, tidak terkunci. Ada kelompok pendukung, ada kelompok pengingat, terhadap pemerintah, dengan dasar perjuangannya hati nurani rakyat yang seadil-adilnya.
Sejarah sudah mengajarkan kepada kita, betapapun kita berbeda-beda, tapi sepanjang arah tujuan kita sama, persatuan akan menguat dengan sendirinya. Maka, satu-satunya cara untuk meluruskan tujuan itu, adalah menempatkan komponen-komponen bangsa pada rel-rel yang sesungguhnya, bukan rel yang penuh belokan dan tikungan, apalagi rek yang ditelikung.