Proficiat Fachrul Razi
LEPAS dari kontroversi yang dia munculkan karena ‘good looking’, satu hal yang patut kita apresiasi dari Fachrul Razi, adalah kelapangan hatinya. Di hadapan anggota Komisi VIII DPR RI, dia menyampaikan permintaan maafnya terhadap kegaduhan yang terjadi.
Seperti kita ketahui, sempat tercuat dari Menteri Agama itu, pernyataan soal anak good looking sebagai penebar bibit radikalisme.
Pernyataannya itu langsung memunculkan kegaduhan di ruang publik.
Kita tidak ingin masuk ke dalam konteks pernyataannya itu. Sudah terlalu banyak yang membicarakan. Tapi, keberaniannya mengakui kesalahan dan kemudian meminta maaf, adalah sesuatu yang jarang kita temukan dari mereka yang kini memimpin kita, dalam kapasitas apapun.
Yang terjadi adalah pembenaran-pembenaran atas pernyataan, tentu saja dengan beragam alibinya. Yang kita lihat, betapa mengakui kesalahan dan meminta maaf, adalah hal yang paling mahal bagi mereka. Bahkan, tak sedikit yang menunjukkan sebagai sebuah pantangan.
Kenapa terjadi? Salah satunya adalah politik kita adalah politik citra. Dakan citra, sebuah kesalahan adalah sesuatu yang memalukan.
Tak ada yang ingin merasa malu. Padahal, pengakuan adalah kesalahan adalah sebuah hal yang biasa saja. Mana ada manusia yang sempurna, tanpa kesalahan dan kekeliruan.
Di saat gaduh ‘good looking’, misalnya, ada pula gaduh menyangkut politisi PDIP yang juga Ketua DPR, Puan Maharani menyangkut Sumatera Barat dan Pancasila. Secara tekstual, jelas sekali pernyataan itu tidak pada tempatnya.
Tapi, karena citra yang jadi raja politik saat ini, maka pembelaan muncul dari para pendukungnya.
Padahal, persoalannya sederhana. Kalaupun yang dimaksudkan Puan adalah apa yang disampaikan pendukungnya, maka sudah jelas tata kalimatnya tidak tepat. Bahkan jika dalam konteks lingkungan kepartaian sekalipun.
Sederhana bukan? Yang tak sederhana, memang minta maaf.
Puan bukan satu-satunya. Tengoklah pula pemimpin-pemimpin kita yang terperangkap hukum korupsi. Jangankan merasa bersalah dan meminta maaf, saat diperiksa pun masih senyum-senyum.
Maka, sebenarnya ketika seorang pemimpin, tokoh, dengan kerendahan hati menyampaikan permintaan maaf dengan setulus-tulusnya, maka kita bisa melihat itu sebagai sebuah kebesaran jiwa. Itulah yang dilakukan Fachrul Razi. Sekali lagi, lepas dari pernyataan yang sudah dia akui sebagai kekeliruan itu. (*)