Gagap Corona
KITA awali dengan gagap. Sampai sekarang pun masih gagap, entah sampai kapan. Begitulah kita menangani persoalan corona. Juga dalam penegakan hukumnya.
Persoalan terbesar dalam penegakan protokol kesehatan adalah menyangkut kerumunan Habib Rizieq Shihab. Kerumunan setidaknya terjadi di tiga titik: Bandara Soekarno-Hatta, Petamburan, dan Megamendung.
Jika kerumunan disebut pelanggaran, maka pelanggaran terjadi di tiga titik itu. Lalu, kenapa yang dipersoalkan hanya Petamburan dan Megamendung? Tak ada yang ditelisik soal kerumunan di Soekarno-Hatta.
Karena itu, jika betul hukum satu-satunya pedang keadilan kita, maka semuanya harus setara. Dalam konteks itu, kita sependapat dengan pernyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Kenapa hanya Gubernur Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Bupati Bogor yang diperiksa? Periksa kerumunan di Soekarno-Hatta juga, siapa bertanggung jawab di sana. Secara kewilayahan, dia berada di Kota dan Kabupaten Tangerang. Periksa wali kota dan bupatinya. Dia di wilayah Banten. Periksa gubernurnya. Secara otoritas dia di bawah kendali Angkasa Pura dan Kementerian Perhubungan. Periksa juga. Kalau ada pembiaran, copot juga yang bersalah, seperti pencopotan Kapolda Jawa Barat, Kapolda Metro Jaya, dan Kapolres Bogor.
Hukum adalah soal kesetaraan. Dia harus dijalankan tanpa komando. Jika dijalankan atas perintah, maka sulit mendapatkan keadilan. Bisa bikin gagap, membuat sangkaan bisa berubah dari protokol kesehatan menjadi penghasutan, misalnya.
Sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan itu pun harus punya kesetaraan. Berkerumun di luar setara dengan berkerumun dalam pilkada. Tak bisa berdalih itu wewenang Bawaslu. Apakah misalnya jika terjadi tindak kriminal dalam proses pilkada semuanya juga jadi wewenang Bawaslu? Tengoklah, betapa kerumunan menjadi pembiaran selama proses pilkada.
Ketika pencoblosan usai, kita anggap tak ada klaster pilkada. Pernyataan sombong. Padahal, sudah banyak calon kepala daerah meninggal karena Covid-19. Baru sehari-dua, baru ketahuan seorang penyelenggara meninggal karena corona, sehari menjelang pencoblosan. Kini, betapa banyak penyelenggara yang terpapar virus tersebut.
Lalu, dari mana persoalan ini bermula? Hampir bisa kita pastikan, karena pada awalnya kita gagap. Kita tak siap. Jika pemimpin dan penyelenggara negaranya saja gagap, apalagi rakyat yang dipimpin. Karena kita merasa terlalu gagah, terlalu perkasa, ketika sebagian dunia sudah dilanda wabah. Kita ajak bercanda. Saat wabah datang, kita gagap segagap-gagapnya. (*)