Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

JIKA betul ada pejabat pemerintahan ikut bermain untuk “mengkudeta” pimpinan Partai Demokrat, maka itu adalah pencederaan terhadap tugas mulia aparat negara. Apa tugas mulia itu? Salah satunya, menjaga proses demokratisasi berlangsung secara elok, elegan, dan bermartabat.

Partai politik adalah salah satu pondasi kehidupan demokrasi kita. Karena itu, jika ada yang mengganggu, apalagi termasuk pejabat pemerintahan, maka itu adalah kekacauan berpikir yang luar biasa.

Pemerintah, juga negara, sangat berkepentingan dengan kehidupan partai politik. Karena itu, ada bagian anggaran pemerintah yang digelontorkan untuk partai politik. Dihitung berdasarkan raihan suaranya pada pesta demokrasi yang digelar lima tahun sekali.

Ada dua sedikitnya kepentingan aparat negara terhadap partai politik. Pertama menghidupkan arus demokratisasi. Keduanya, menjadikan partai politik sebagai jalan meraih dan memantapkan kedudukan politik pemerintahan.

Sayangnya, yang menonjol di tengah hingar-bingar politik Tanah Air, adalah yang kedua itu. Pejabat negara lebih melihat partai politik sekadar untuk memperkuat kedudukannya. Politik praktisnya sedemikian terlihat, sementara secara ideologis nyaris biasa-biasa saja.

Apa yang terjadi pada Partai Demokrat, juga partai-partai lainya sebelum itu, adalah soal melapis kekuatan dan kekuasaan politik para pejabat itu. Itulah sebabnya, meski berkali-kali dibantah pemerintah, tudingan bahwa pemerintah ikut bermain dalam kegaduhan internal partai politik tiada pernah berhenti.

Ada yang bilang politik belah bambu. Membelah dua kutup yang saling berlawanan dan kemudian memberi dukungan pada salah satunya. Tentu, dukungan itu bukan makan siang yang gratis. Dukungan ini akan berimplikasi terhadap kekuatan politik penguasa.

Itu pulalah yang tercium dalam politik belah bambu yang –sementara—gagal dilakukan terhadap Partai Demokrat. Partai tersebut mencium adanya rencana diam-diam untuk mendesak KLB bukanlah murni karena keinginan kader, melainkan ada kepentingan tingkat tinggi yang bermain di situ.

Untungnya bagi Demokrat, partai itu jauh lebih solid dibanding partai-partai sebelumnya yang berhasil dilemahkan. Setidaknya, soliditas itu disampaikan kader-kader aktif Partai Demokrat berupa dukungan penuh terhadap AHY.

Bagi kita, betapapun partai politik goyah dalam internalnya, tak patut ada pejabat pemerintah yang ikut bermain di situ, apalagi mengail di air keruh. Kalaupun ada persoalan internal partai, biarlah mereka menyelesaikan. Pemerintah, pejabat pemerintah, atau negara, biarlah mengawasi dari jauh saja.

Maka, jika betul, ada pejabat pemerintah yang ikut bermain di air keruh Partai Demokrat, sangatlah kita sesalkan. Sebab, perbuatan tersebut, secara etika politik, bukanlah perbuatan yang elok. (*)

Februari 2021