Juara Lahir Batin di Papua
CITIUS, altius, forties.
Itu motto olahraga. Tepatnya Olimpiade. Tercepat, tertinggi, terkuat.
PON lebih dalam lagi. Tak cukup hanya tercepat, tertinggi, dan terkuat. Juga ada aspek-aspek persatuan, aspek kebangsaan.
Begitu semangat PON ketika pertama kali hadir, 1948 lalu di Kota Solo, Jawa Tengah. Olahraga bukan hanya arena merajut prestasi, tapi juga persaudaraan dan silaturahmi anak negeri.
Prestasi jadi bagian terpenting dalam PON. Tapi bukan yang terpenting. Jauh lebih penting adalah terjalinnya persatuan di antara atlet-atlet terbaik di seantero negeri kita.
Itulah sebabnya kenapa PON mestinya lebih terhormat dibanding ajang-ajang olahraga lainnya. Persatuan dan kesatuan bangsa jadi bagian penting. Medali emas, perak, perunggu, atau gelar juara umum, adalah bonus. Bonus persiapan, perjuangan, dan strategi di pertandingan.
Alhamdulillah, kontingen Jawa Barat, sampai menyelesaikan pertandingan Selasa, masih berada di posisi teratas perolehan medali. Ada raihan yang sudah menembus 100 medali emas.
Jelas, ini prestasi membanggakan. Sampai tadi malam. Esok lusa, siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Warga Jawa Barat sudah pasti berharap posisi itu bisa dipertahankan sampai PON XX Papua resmi ditutup. Kita pun punya ekspektasi seperti itu.
Tetapi, sekali lagi, medali adalah bagian penting, tapi ada yang lebih penting. Persaudaraan dan persatuan di antara atlet, pelatih, ofisial, dan kontingen.
Kami berharap, kalaupun nantinya Jawa Barat ditakdirkan menjadi pengumpul medali emas terbanyak, maka prestasi itu diraih dengan cara-cara elok dan elegan. Menjunjung tinggi sportivitas. Itulah ruh olahraga sesungguhnya.
Dengan sportivitas, sebuah kemenangan takkan membuat juara jemawa, sebuah kekalahan tak membuat atlet menderita. Semua dirasakan sebagai normalitas sebuah pertandingan.
Sepemandangan dan sependengaran kita, sejauh ini pencapaian prestasi atlet-atlet Jabar dilakukan dengan menjunjung sportivitas itu. Tidak lagi seperti lima tahun lalu meskipun kita meyakini kecurigaan saat itu tak lebih karena posisi Jabar sebagai tuan rumah. Bukan karena kecurangan.
Buat kita, inilah sesungguhnya pembinaan yang dilakukan bertahun-tahun. Bukan hanya pembinaan fisik, teknik, dan strategi, terlebih adalah soal mental. Atlet-atlet Jabar, faktanya, bisa menerima kekalahan, sebagaimana juga bersyukur atas kemenangan.
Selamat bertanding, selamat melanjutkan perjuangan. Semoga Jabar juara lahir batin ikut terwujud di Papua. (*)