Comara Justice
DENGAN mengangkat tabik tinggi, kita patut mengapresiasi langkah Kejaksaan Negeri Garut, membebaskan tersangka kasus pencurian telepon seluler. Tapi, dengan hati yang bersih, kita sesalkan juga prosesnya yang cukup panjang.
Tersebutlah Comara Saeful. Pria ini pada 8 September lalu, mengambil ponsel milik siswa praktik kerja di Kantor Desa Sakawayana, Kecamatan Malangbong, yang kebetulan tergeletak. Kuat dugaan, dia terdesak karena anaknya harus belajar jarak jauh.
Comara kemudian tertangkap, mengakui perbuatannya, mengembalikan saat itu juga, dan berdamai dengan siswa pemilik ponsel. Tapi, proses hukumnya tetap jalan. Dia dikurung dua bulan. Lalu, dilakukan restorative justice dengan salah satu alasan korban tak merasa dirugikan.
Tentu saja, perbuatan Comara tidak bisa dibenarkan, apapun alasannya. Dia dibidik pasal 362 KUHP. Ancaman hukumannya lima tahun. Karena itu ditahan. Sampai dua bulan.
Maka, ketika kasusnya kemudian tak dilanjutkan di tingkat kejaksaan karena restorative justice, kita patut memberikan apresiasi kepada penegak hukum. Tindakan tersebut, setidaknya memenuhi rasa keadilan, terutama karena Comara dan siswa sudah berdamai.
Dalam rasa keadilan kita, semestinya kasus ini sudah dihentikan setidaknya lebih awal. Sehingga Comara, yang kita yakini tulang punggung keluarganya, tidak lama-lama ditahan.
Apa yang dialami Comara, banyak terjadi di tempat lain. Di Sukabumi, hal serupa juga terjadi. Seorang ayah, yang membutuhkan peralatan teknologi ponsel untuk belajar anaknya, terpaksa mencuri karena tak mampu membeli. Kasusnya juga dihentikan. Tapi dia sempat ditahan hampir tiga bulan.
Dalam kaitan ini, kita meyakini, penyidik sejak awal sudah memperkirakan kasus-kasus semacam ini layak dilakukan restorative justice. Hanya saja, upaya-upaya tersebut terkesan lamban. Cenderung memberi pelajaran yang keras terhadap orang yang dalam keadaan amat terdesak dan melakukannya tanpa niat.
Tentu saja, Comara layak diberi pelajaran. Tapi, boleh jadi, ada pelajaran yang lebih baik dibanding memendamnya selama dua bulan. Bisa seminggu, dua minggu, sehingga keluarganya tak kehilangan tonggak, apalagi di tengah kesulitan saat pandemi sekarang.
Karena itu, kita menyarankan kepada penegak hukum, kepolisian atau kejaksaan, untuk mempercepat restorative justice, tentu dengan analisa yang kuat. Jika memang hendak menerapkan restorative justice, sebaiknya dilakukan dengan cepat, terutama jika tak ada kerugian lagi yang diderita korban setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan. (*)