Aduh, Survei Itu…
“MENGUATNYA nama Andika berbarengan dengan terpilihnya sebagai Panglima TNI,” bunyi penjelasan sebuah lembaga survei, akhir pekan lalu. Ini menjadi alasan kita untuk makin ragu dengan hasil sebuah survei.
Akhir pekan lalu itu, Lembaga Survei Y-Publica merilis hasil surveinya. Kira-kira, isinya teropong 2024. Dari elektabilitas partai politik hingga calon presiden. Kita, sejak awal, bersikap untuk tidak terlalu percaya terhadap hasil-hasil survei yang dilakukan banyak lembaga. Banyak hal yang membuat kita ragu.
Seumpama, dua lembaga menggelar survei dalam waktu hampir bersamaan. Hasilnya? Jauh beda. Maka, kita sampai pada kesimpulan, survei bukanlah teropong yang andal untuk menatap 2024 itu.
Survei adalah soal trend. Tapi, tak pernah ada trend yang kontradiktif di satu lokasi. Kan tidak mungkin misalnya dua survei dalam waktu hampir bersamaan tentang kecintaan warga Jawa Barat terhadap klub yang mereka sukai, jawabnya kontraktif. Satu survei menyebut Persib, satu lainnya menyebut PSKC Cimahi milsanya.
Keraguan kita terhadap keandalan hasil survei ditunjukkan oleh meningkatnya elektabilitas Andika Perkasa dalam bursa capres itu. Kita tak menutup kemungkinan Andika punya elektabilitas cukup diperhitungkan saat ini. Tapi, alasannya karena terpilih sebagai Panglima TNI? Mari kita cek fakta ini. Menurut Ketua DPR Puan Maharani, pihaknya baru menerima usulan Presiden Jokowi soal calon tunggal itu pada 3 November 2021. Artinya, sudah tiga hari survei berlangsung.
DPR baru memutuskan menyetujui usulan itu pada 8 November. Itu sehari setelah survei selesai. Survei digelar 1-7 November 2021.
Sekali lagi, tentu bisa saja elektabilitas Andika naik dan muncul dalam survei. Tapi, memberikan alasan karena dia jadi Panglima TNI, di tengah survei yang sudah mulai berlangsung, menurut kita kurang masuk akal.
Maka, tak salah jika makin tipis kepercayaan terhadap hasil-hasil survei yang bertebaran selama ini. Apalagi, jika kita kemudian menguping pula cerita-cerita kurang sedap terhadap latar belakang dilakukannya survei.
Kita berpandangan, cara-cara keliru sebagian lembaga survei, apalagi jika sudah diniatkan sejak awal, adalah pencederaan terhadap demokrasi itu sendiri. Apalagi jika betul ada survei-survei pesanan, seperti yang diduga sejumlah orang.
Lembaga survei sepatutnya menempatkan dirinya sebagai menara gading sistem demokrasi. Karena itu, kejujuran dan profesionalitasnya dibutuhkan. Jika tidak, maka bukan tak mungkin, suatu ketika, tak ada lagi yang percaya pada angka-angka yang mereka tebar itu.